“Our hearts are an arena where many different movements stir (Spiritual Exercise 32), movements that we must prayerfully sift if we would follow those that lead to God and resist that do not.”
– Timothy Gallagher, OMV –
Kalau kau ditanya “Seberapa dalam kau mengenal dirimu?”, apa yang menjadi jawabannya? Atau pernahkah kau merasa bahwa hidupmu berjalan begitu saja, mengalir rutin: bangun tidur, buru-buru mandi, makan, pergi ke tempat kerja, bertemu teman, pulang, makan lagi, nonton TV, balas WA, buka Instagram, setelah itu tidur lagi, besoknya bangun lagi untuk melakukan rutinitas yang sama? Hari ganti hari, bulan ganti bulan, tahun ganti tahun. Hidup seakan-akan seperti sungai yang airnya mengalir begitu saja tanpa pernah kita sadari ‘ikan-ikan’ yang pernah hidup, mampir, dan berenang-renang di kedalaman airnya.
Spiritualitas Ignatian tidak mengizinkan kita hidup secara demikian ini. Bagi Ignatius, dinamika hidup harian kita yang biasa-biasa saja, monoton, mungkin kadang menjemukan, tetapi juga yang ruwet dan berisi berbagai perasaan yang campuraduk ini adalah “locus” (tempat) Tuhan hadir dan dapat ditemukan. Dalam salah satu suratnya, Ignatius menghimbau untuk “Berlatih mencari kehadiran Tuhan dalam segala, dalam percakapan, saat berjalan, dalam segala yang dilihat, dirasakan, didengar, dipahami, dan dalam seluruh tindakan…” Karena Tuhan ditemukan dalam segala, maka Ia juga ditemukan dalam diriku ini, dalam perasaan-perasaan terdalamku dan dalam pikiran-pikiran yang muncul dalam benakku hari ini. Karena itu pula, semakin dalam aku mengenal diriku beserta perasaan dan pikirannya, maka semakin aku kenal Tuhan yang bekerja dalam dan melalui diriku.
Mencermati Perasaan dan Pikiran
Dalam menulis jurnal, kebanyakan orang jatuh pada penulisan kronologi peristiwa harian. “Jam sekian aku bangun; berangkat kerja jam sekian; di kantor sedang ada kejadian ini-itu; sampai di rumah jam sekian; examen dan tidur jam sekian.” Beberapa jatuh pada menceritakan pengalaman teman, kenalan, atau orang terdekatnya. “Si bos hari ini marah-marah karena hal ini dan hal itu; temanku sedang stres dan kacau karena masalah keluarganya.” Beberapa lagi berhenti pada menuliskan sebuah perasaan yang ia alami tanpa mencari apa sebab-sebab di baliknya. “Hari ini aku malas; pagi hari aku bosan sekali; Aku marah pada temanku; sore hari aku merasa capek tapi senang.”
Menulis jurnal tidak sama dengan menulis diary harian. Journaling ditempatkan dalam salah satu poin formasi MAGIS supaya kita belajar untuk menyadari dan mengenali apa yang sebetulnya setiap hari bergerak di kedalaman batinku tetapi amat jarang kusadari karena tertimbun rutinitas harian. Karena itulah, kita tidak sekedar menuliskan kronologi peristiwa harian dalam jurnal, atau apa yang sedang dialami dan dirasakan oleh orang lain, tetapi apa yang sesungguhnya aku rasakan di kedalaman hatiku berhadapan dengan peristiwa-peristiwa hari ini. Lebih jauh lagi kita mencermati mengapa perasaan ini dan perasaan itu muncul dalam hatiku: “Apa yang membuatku senang hari ini? Mengapa siang tadi aku merasa begitu stres dan kacau?” Begitu pula terhadap pikiran-pikiran yang begitu sering muncul hari itu, kita mencermati: “Mengapa pikiran-pikiran semacam ini begitu menginspirasiku, atau begitu menyedot perhatianku, atau begitu menghantuiku hari ini? Pikiran-pikiran semacam ini membuatku merasa apa?”
“Berdasarkan pengalaman, ia mulai menyadari bahwa dari pikiran yang satu ia menjadi murung, dan dari yang lain gembira. Sedikit demi sedikit ia mulai menyadari perbedaan roh-roh yang menggerakkannya: satu dari setan, yang lain dari Allah.” (Autobiografi St. Ignatius no.6). Perasaan dan pikiran; keduanya adalah medan gerak-gerak roh dalam diri kita. Betapa ngerinya jika kita tidak sadar kalau ternyata roh jahat menggiring kita ke kekacauan batin dan kekeringan rohani selama berhari-hari atau berminggu-minggu. Atau betapa sayangnya jika kita tidak sadar akan sapaan roh baik, yang mungkin berulang-ulang datang dan hendak membawa kita ke suatu sukacita rohani. Langkah awal untuk sadar akan gerak roh baik dan roh jahat yang tersembunyi ini simpel saja: menyadari dan mencermati setiap perasaan dan pikiranku hari ini, lalu menuangkannya dalam bentuk jurnal.
Apakah Bisa Mengenal Gerak-Gerak Tersebut Tanpa Harus Menulis Jurnal?“
“Jawabannya: bisa!”
“Lalu apa gunanya menulis jurnal, kalau begitu?”
“Bukankah dengan examen kita juga bisa menyadari gerak-gerak batin itu?”
Masalahnya adalah memori kita amat terbatas. Betul bahwa doa examen (terkhusus langkah ketiga: me-review hariku dari jam ke jam atau dari waktu ke waktu) juga bisa menjadi sarana menyadari gerak-gerak roh dalam diri kita. Akan tetapi, jelas ada bedanya antara “sekedar menyadari” dan “menyadari serta menuliskannya.” Selain mengatasi keterbatasan memori kita, dengan menuliskannya kita mengambil jarak dari pikiran dan perasaan itu. Baru setelah mengambil jarak dengan perasaan dan pikiran kita, kita bisa melihat dan mencermatinya dengan lebih objektif. Bila itu adalah perasaan-perasaan negatif, menuliskannya membantu kita untuk release dari yang negatif itu. Apalagi bila dalam preparasi jurnal kita mau lebih dulu menyadari Tuhan yang hadir di sampingku; bersama Dia aku mau menuliskan jurnalku hari ini.
Menyadari gerak-gerak roh dalam diri kita bukanlah simsalabim sekali jadi. Dengan menulis jurnal setiap hari, kita bisa melihat pola-pola dari perasaan, pikiran, dan gerak-gerak batin kita. Ambillah waktu luang di akhir pekan untuk sekedar membaca jurnalmu selama seminggu. Ambillah waktu luang di akhir bulan untuk sekedar membaca jurnalmu selama sebulan yang lalu. Lihat bagaimana kamu akan menemukan pola-pola yang tak pernah kamu sadari sebelumnya dari perasaan, pikiran, gerak-gerak batinmu, dan pola-pola Tuhan menyapamu dlm hidup harianmu (Tidak percaya? Silahkan dicoba dan dibuktikan sendiri😉)
Semoga kau menemukan: “Hal-hal apa yang kok selalu sama, membuatku merasa kacau, merasa depresi, merasa tidak bebas? Atau hal-hal apa yang kok selalu bisa aja membuatku begitu gembira dan bergairah menjalani hari?”
Penutup: Undangan Hidup di Kedalaman
Dengan journaling, kita semakin mengenal diri kita sendiri. Ini sangat positif. Dengan journaling, kita mengenal gerak-gerak roh yang tidak akan pernah kita sadari jika tidak mengambil waktu sejenak untuk me-review hari kita (bisa dengan bantuan doa examen), lalu menuliskannya. Dengan journaling, kita mengenal pola-pola roh jahat menggiring kita sehingga kita lebih siap sedia untuk menolaknya di kemudian hari.
Spiritualitas Ignatian tidak mengizinkan kita untuk hidup sekedar di ranah superficial/kedangkalan. Kita mau menyelam di kedalaman karena di sanalah Tuhan senantiasa hadir. Menulis jurnal adalah sebuah cara bertolak ke tempat yang lebih dalam.
Rowing Into The Deep,
Leo P. Tanjung SJ
Leo Perkasa Tanjung, SJ