Pengarang : Henri J.M. Nouwen
Judul Buku : Diambil, Diberkati, Dipecah, Dibagikan: Spritualitas Ekaristi Dalam Dunia Sekuler (Life of The Beloved)
Penerbit : Kanisius (2008)
Membaca buku Henri J.M. Nouwen “Diambil, Diberkati, Dipecah, Dibagikan: Spiritualitas Ekaristi Dalam Dunia Sekuler (Life of The Beloved) sejatinya adalah menyimak perjalanan kedewasaan spiritual seorang manusia. Kedewasaan spiritual itulah yang akhirnya mengantarkan seorang manusia kepada hakikat kehidupan, yaitu hidup sebagai pribadi yang dikasihi oleh Tuhan bagaimanapun rupa pengalaman hidup kita.
Buku ini mengambil latar kehidupan urban masyarakat Barat yang barangkali mirip dengan kisah kita yang tinggal di ibu kota, Jakarta, yaitu terjebak dalam rutinitas pekerjaan sehari-hari sehingga kerap melupakan apa yang sesungguhnya membuat hati lepas bebas.
Cerita dibuka oleh Nouwen yang diwawancarai seorang wartawan bernama Fred. Selama proses wawancara, Nouwen menangkap adanya kebosanan dan kesan “sekadar menjalankan rutinitas pekerjaan” dalam” diri Fred. Fred sendiri mengakuinya dan hasrat terpendamnya adalah menjadi seorang penulis novel.
Nouwen begitu paham bagaimana kerasnya kehidupan urban seringkali membuat manusia menggebu-gebu mengejar keberhasilan, popularitas, dan kekuasaan. Ketika semua tuntutan tersebut tidak berhasil dicapai, manusia cenderung menyalahkan serta menolak diri sendiri.
“Namun perangkap yang sesungguhnya adalah penolakan diri….Sebaliknya saya cenderung untuk menyalahkan diri saya sendiri – bukan sekedar menyalahkan apa yang saya lakukan, tetapi menyalahkan diri…” (hal.48)
Pembuktian prestasi, popularitas, dan kekuasaan kerap menjadi acuan agar seseorang bisa “dicintai” dunia. Tidak jarang setelah mendapatkan semuanya itu, masih ada orang yang mencerca. Di sinilah, Nouwen mengajak pembaca untuk mendengarkan suara “Engkau Kukasihi”.
“Aku memanggilmu dengan namamu, sejak awal. Engkau adalah milikKu dan Aku adalah milikmu…Aku membentukmu di haribaan bumi dan menenunmu dalam kandungan ibumu.” (hal.52-53)
Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang yang lebih tua dari usia kita seringkali menyarankan kita agar berani menghadapi kenyataan sepahit apapun. Sementara itu, kita anak muda lebih suka menonjolkan idealisme, mengejar ini itu demi menjadi pribadi “yang dicintai”, tetapi sebetulnya takut akan penolakan orang lain.
Menjadi tua adalah sebuah kepastian, sedangkan menjadi dewasa merupakan sebuah pilihan. Ketika sudah masuk fase hidup “Engkau Kukasihi”, maka kita seolah “dipaksa” melepaskan romantisme atau idealisme kita dan menghadapi kenyataan hidup kita sehari-hari yang amat nyata. Nouwen menjelaskan, hal itu membutuhkan proses pembatinan atau inkarnasi yang panjang dan menyakitkan.
Setelah menyadari bahwa setiap manusia lahir karena Tuhan lebih dulu mengasihi kita, Nouwen melanjutkan perjalanan kedewasaan spiritualnya untuk menjadi pribadi yang dikasihi.
Untuk menjadi pribadi yang dikasihi, ada empat langkah kesadaran yaitu “diambil”, “diberkati”, “dipecah-pecahkan”, dan “diberikan”. Langkah pertama dalam kehidupan rohani adalah mengakui dengan sepenuh hati bahwa setiap manusia itu diambil/dipilih Tuhan. Setiap peristiwa menuntut suatu ucapan syukur karena selalu ada campur tangan Ilahi dan bukan kebetulan belaka.
Langkah kedua “diberkati”. Artinya, kehadiran manusia sebagai pribadi yang dipilih Allah sudah seharusnya kita sadari sebagai berkat untuk dibagi-bagikan kepada sesama.
Akan tetapi, Nouwen mengakui bahwa suasana hati kita ini begitu mudah berubah. Suatu hari hati merasa hebat, tetapi hari berikutnya rasanya suram.Terpecah-pecah. Kesibukan orang modern menyebabkan manusia – seperti kita pembaca perkotaan – tidak sadar bahwa sudah terberkati.
…Dengan mengakrabi dan menempatkan keterpecahan kita dalam rangka berkat,rasa sakit kita tidak dengan sendirinya menjadi lebih ringan. Bahkan seringkali itu membuat kita semakin sadar betapa dalam luka-luka kita dan betapa tidak realistis kalau kita mengharapkan luka-luka itu akan hilang. (hal.120)
Langkah terakhir adalah diberikan. Menurut Nouwen, aneka rupa pengalaman hidup seharusnya mendorong manusia menjadi “siapa” bagi satu sama lain. Dengan kata lain, seseorang tidak perlu terlalu memikirkan apa yang bisa diberikan kepada sesamanya. Kesejatian atau kedewasaan spiritual masing-masing pribadi merupakan sumbangsih terbesar dalam kehidupan bermasyarakat.
Buku ini cocok dibaca bagi siapa saja yang sedang mengalami kebimbangan arah hidup ataupun bagi mereka yang sedang berusaha menjadi pribadi dewasa. Juga, cocok bagi pribadi yang sedang mencari jati diri.
Bagi saya, Nouwen berhasil mengurai satu demi satu hasil refleksinya tentang bagaimana menjadi pribadi yang dikasihi Tuhan. Barangkali, Nouwen memang pernah tinggal di kawasan urban, seperti New York. Lokasi hunian saya berada di Jakarta, salah satu kota besar di Indonesia.
