Menolong Jiwa-jiwa (Meski) di Ujung Tanduk: Refleksi Novel “Negeri di Ujung Tanduk”

Judul Buku Negeri di Ujung Tanduk
Tahun Terbit 2013
Penulis Tere Liye
Penerbit Gramedia Pustaka Utama

 

Dalam novel Negeri di Ujung Tanduk, Tere Liye menempatkan pembacanya di tengah kegelapan sistem yang korup dan penuh intrik. Tokoh utamanya, Thomas, konsultan keuangan yang banting setir ke ranah politik, bukan seorang yang sempurna. Di saat yang penuh tekanan, ketika ia nyaris kehilangan segalanya, pertolongan datang dari arah yang tidak disangka-sangka: seorang pemuda bernama Lee, yang kemudian diketahui sebagai cucu dari seseorang yang pernah ditolong oleh kakek Thomas puluhan tahun sebelumnya.

Pertolongan dari Masa Lalu

Kakek Thomas dan kakek Lee, sewaktu masih muda, sama-sama perantau di atas sebuah perahu. Cuaca buruk membuat banyak penumpang sakit. Sedangkan ancaman perang membuat bahan makanan dan minuman menjadi terbatas. Di tengah semua kesulitan itu, kakek Thomas, yang masih cukup sehat, merelakan bagian makanan dan minumannya untuk kakek Lee yang sakit dan hampir meninggal. Mereka berdua bertahan hidup, kemudian berpisah di daratan yang berbeda.

Puluhan tahun berlalu, kakek Lee yang ditolong saat sekarat itu tidak melupakan kejadian tersebut. Ia pun berkeluarga dan mempunyai seorang cucu laki-laki yang diberi nama Lee. Lee bertemu dengan Thomas pada suatu kesempatan dan menolong Thomas di saat ia sangat membutuhkannya. Baru belakangan Thomas sendiri tahu bahwa penolongnya itu merupakan cucu dari laki-laki yang pernah ditolong kakeknya di masa lampau. Sebuah benih kebaikan yang ditanam di masa lampau, kini berbuah dalam bentuk keselamatan bagi cucu sang kakek.

Meski genre utamanya adalah aksi dan politik, bagiku novel ini menarik karena justru  mampu membawa pada permenungan: apakah saat melakukan kebaikan, kita berpikir bahwa kebaikan yang kita lakukan akan kembali kepada kita? Berbuat baik seharusnya tidak perlu hitung-hitungan seperti itu. Tak jarang kebaikan itu justru akan menjadi berkat bagi orang-orang yang kita kasihi, jauh di masa depan.

Giving to others

Kasih yang Sempurna

Kakek Thomas mungkin tidak akan mengira perbuatannya untuk menolong seorang teman di atas perahu itu akan menjadi hal besar: sebuah balasan pertolongan untuk keturunannya kelak. Saat itu, dia hanya melihat temannya sakit dan tergerak untuk menolong. Padahal kondisinya pun juga kesulitan. 

Menolong jiwa bisa hadir dalam bentuk paling sederhana dan tersembunyi: menjadi telinga yang mau mendengarkan, menjadi tangan yang tak lelah membantu, atau menjadi hati yang tetap sabar dan terbuka. Bahkan di tengah luka dan kekurangan kita sendiri.

Refleksi ini menamparku secara pribadi. Aku bekerja di rumah sakit, sebuah tempat yang sarat dengan penderitaan dan kesempatan untuk membantu sesama. Mudah bagiku berpikir bahwa aku sudah cukup “berbagi kasih” dan “menolong jiwa-jiwa”. Bahwa aku adalah orang yang “helpful” melalui pekerjaanku. Bukankah merawat pasien dan membantu yang sakit adalah bentuk pelayanan kemanusiaan yang mulia? Namun, justru di rumah sendiri, di hadapan keluarga yang paling dekat, aku belum sungguh hadir dengan kasih. Aku kadang-kadang kehilangan kesabaran menghadapi kakak perempuanku, yang bisa dikatakan memiliki kebutuhan khusus. Di tengah kesulitan kami bersama, aku malah kadang menarik diri atau bersikap dingin. Ironisnya, aku bisa sabar menghadapi pasien yang tidak kukenal, tetapi tidak pada darah dagingku sendiri. Sambil berefleksi dan menulis ini pun, aku disadarkan bahwa kasih sejati diuji dalam kesulitan dan jiwa-jiwa yang paling dekat pun tak boleh diabaikan.

Dalam misa inisiasi umat berkebutuhan khusus yang bertepatan dengan hari Minggu Panggilan tanggal 11 Mei 2025 lalu, aku juga diingatkan bahwa mereka yang berkekurangan itu pun bisa menolong sesama. Kakakku ikut melayani dalam misa tersebut dengan menyanyikan Mazmur dan Alleluya. Lektor yang bertugas juga seorang anak dengan kebutuhan khusus. Ada juga seorang gadis tunanetra yang mempersembahkan lagu komuni dengan permainan piano dan nyanyiannya.

Untuk menolong, kita tidak harus menunggu diri kita berada dalam kondisi ideal. Tidak menunggu diri kita “penuh” untuk mampu memberi, atau menunggu sembuh dulu untuk bisa menyembuhkan. Bahkan dalam kekurangan, kita bisa tetap berbagi.

Dalam novel Tere Liye, Lee yang menolong Thomas bukanlah sosok superhero atau penguasa dunia. Dia juga sedang berproses dengan bisnis keluarganya dan menghadapi ancaman di negara yang berbeda. Kakek Thomas di waktu dahulu juga belum jadi orang kaya dan berpengaruh. Tapi tokoh-tokoh tak sempurna ini tetap mengulurkan tangan untuk menolong.

Mengulurkan tangan untuk menolong sesama

Kepedulian

Salah satu kutipan yang paling menyentuh dari novel ini -dan membuatku akhirnya menuliskannya dalam refleksi- berbunyi demikian:

“Jarak antara akhir yang baik dan akhir yang buruk dari semua cerita hari ini hanya dipisahkan oleh sesuatu yang kecil saja, yaitu kepedulian. Kepedulian kita hari ini akan memberikan perbedaan berarti pada masa depan. Kecil saja, sepertinya sepele, tapi bisa besar dampaknya pada masa mendatang. Apalagi jika kepedulian itu besar.”

Jika kasih dan pertolongan kita adalah untuk Kristus yang hadir dalam sesama, maka tak ada kasih yang sia-sia. Bahkan jika tidak ada balasan langsung, kasih itu menjadi benih kekal. Mungkin bukan kita yang akan menuai buahnya, tetapi orang-orang yang kita kasihi.

Yesus sendiri berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Bdk. Matius 25:40)

Maka hari ini, aku ingin belajar ulang untuk peduli dan menolong jiwa—bukan hanya di tempat kerja, tetapi terutama di rumah. Untuk sabar, untuk hadir, dan untuk terus percaya bahwa kasih yang ditabur tidak pernah hilang.

Santo Ignatius mengajak kita untuk melihat Tuhan dalam segala sesuatu dan mencintai serta melayani dalam segala hal. Novel Tere Liye mengingatkan kita: pertolongan kecil bisa menjadi rantai kasih yang panjang dan tak terputus. Maka marilah kita terus berlatih menolong, bukan hanya di tempat kerja, bukan hanya kepada orang-orang yang menghargai kita, tapi terutama kepada mereka yang sulit kita kasihi. Sebab kasih sejati diuji justru saat ia harus tetap hadir di tengah ketidaksempurnaan.


Stefani Sisilia Handoyo

Stefani Sisilia Handoyo alias Sisil adalah seorang “pembelajar seumur hidup” yang senang menulis. Punya nama pena Roux Marlet di Wattpad dan platform menulis lainnya, sebagian besar fiksi penggemar. Manusia Joglosemar karena lahir di Semarang, pernah kuliah di Jogja, domisili saat ini dan paling lama tinggal di Solo. Saat ini menjadi pengurus MAGIS Yogyakarta setelah sebelumnya menjadi formandi MAGIS Yogyakarta 2023. 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *