“Semoga hati Maria ada di dalam setiap orang Kristen
untuk mewartakan kebesaran Tuhan;
semoga rohnya ada di dalam setiap orang
untuk bersukacita di dalam Tuhan.”
– St. Ambrose of Milan
***
Devosi kiranya bukan suatu hal yang asing di telinga orang Katolik pada umumnya. Dalam kesempatan-kesempatan katekese, khotbah, pelajaran agama, ataupun dalam buku-buku agama Katolik seringkali terdengar berbagai macam devosi. Devosi-devosi tersebut antara lain diarahkan kepada santo-santa ataupun kepada suatu aspek dalam diri Yesus (Hati Yesus yang Mahakudus). Dalam hal ini, Gereja melihat bahwa devosi memang merupakan suatu penghayatan religiusitas yang populer di tengah-tengah umat beriman. Demikian tata pelaksanaannya perlu melihat aturan dan norma Gereja (Sacrosanctum Concilium (SC), art. 13).
Dari berbagai macam devosi yang dimiliki oleh Gereja Katolik, devosi terhadap Bunda Maria memiliki jumlah terbanyak, baik dari segi ragamnya maupun dari segi implementasi penghayatannya (Marialis Cultus (MC), art. 24). Paus Paulus VI dalam dekrit yang mengatur tentang “Tata Tertib dan Pengembangan Devosi yang Benar kepada Santa Perawan Maria” atau dikenal dengan Marialis Cultus (MC), menerangkan dengan panjang lebar mengenai devosi terhadap Bunda Maria. Tidak hanya masuk dalam kalendarium liturgis dalam perayaan Ekaristi, namun juga melalui ibadat harian dan doa-doa personal.
Perlu dicatat bahwa devosi merupakan suatu bentuk doa syukur dan permohonan melalui perantaraan para kudus untuk mengantar umat beriman pada kesalehan dan penghormatan tertinggi terhadap Allah (cf. SC art. 12, MC. art 25). Maka, devosi berarti berdoa kepada Allah melalui perantaraan seorang pribadi yang dikuduskan oleh Gereja. Akan tetapi, apakah devosi memang sebuah doa yang hanya cukup untuk didaraskan saja?
SUATU UNGKAPAN HATI
Dalam bukunya yang berjudul, Imagining Mary: A Psychoanalytic Perspective on Devotion to the Virgin Mother of God, Daniel Rancour-Laferriere memberikan suatu penelusuran psikologis akan “maraknya” devosi terhadap Bunda Maria. Menurutnya, dengan melihat sisi keibuan Maria sebagai titik pangkal berdevosi, orang Katolik sedang melakukan proyeksi akan sosok ibu yang dirindukannya. Ini berlaku khususnya bagi orang-orang dewasa yang sudah lama merantau meninggalkan rumah.
Dalam kerinduan yang mendalam akan sosok seorang ibu, devosi terhadap Bunda Maria bisa menjadi tempat bersandar yang nyaman. Perlu dicatat bahwa fenomena semacam ini terjadi terutama dalam lingkungan yang memiliki budaya dengan rasa keterikatan yang kuat terhadap seorang ibu.
Jika dilihat dari sudut pandang psikologis semacam ini, dapat dipahami dan tereduksi devosi St. Ignatius Loyola yang kuat terhadap Bunda Maria sebagai hal yang manusiawi. Kehilangan ibu di usia 7 tahun, Inigo muda lebih banyak menghabiskan waktu dengan perawatnya (Maria Garin) dan Kakak Iparnya (Magdalena Araoz). Mereka berdua adalah sosok yang memperkenalkan Inigo pada Bunda Maria.
Bunda Maria lantas menjadi perantara devosinya kepada Bapa pada tahun-tahun berikutnya, terutama ketika melakukan tuguran di hadapan Our Lady of Arantzazu (Autobiografi No. 13) dan Our Lady of Montserrat (Autobiografi No. 17). Mungkin, memang benar bahwa sebagai ungkapan hati yang terdalam, devosi memuat suatu proyeksi akan kerinduan psikologis tertentu. Akan tetapi, apakah reduksi psikologis semacam ini saja yang menjadi motivasi seseorang untuk berdevosi?
Dalam pengantar Marialis Cultus, konsili menegaskan bahwa devosi terhadap Bunda Maria bukan hanya sebuah sentimen keagamaan ataupun ungkapan kecenderungan psikologis semata. Akan tetapi, “devosi ini merupakan bagian yang sangat mulia dari seluruh lingkup peribadatan suci yang di dalamnya bercampur ungkapan-ungkapan kebijaksanaan dan agama yang tertinggi dan karenanya merupakan tugas utama Umat Allah”.
Oleh karena itu, mungkin saja jika melihat motivasi terdalam dari diri masing-masing, devosi sebagai suatu aksi memiliki tujuan atau agenda dengan beragam warna psikologis. Akan tetapi secara perlahan dan pasti, maksud hati dalam berdevosi perlu terus diusahakan untuk melampaui motivasi psikologis kepada motivasi yang lebih spiritual.
MENGEJAWANTAH DALAM PERBUATAN
Salah satu motivasi yang memiliki makna spiritual terjadi ketika dalam berdevosi seseorang melantunkan permohonan dan permintaan supaya intensinya dikabulkan dan diikuti dengan hasrat-keinginannya untuk meneladani hidup Bunda Maria. Terlebih Gereja meyakini bahwa Bunda Maria bukan hanya teladan dalam doa namun juga teladan dalam cara hidupnya (MC art. 21).
Salah satu devosi yang dengan mudah bisa dijadikan contoh adalah Novena Tiga Salam Maria. Sebagai bentuk devosi yang cukup singkat, ada banyak tawaran nilai dalam hidup Bunda Maria yang bisa didaraskan dan mungkin untuk diejawantahkan. Beberapa nilai seperti penolong dalam kesulitan, bijaksana, berbelas kasih, lembut dan manis dapat dibaca dan dilihat dengan mata telanjang.
Lagipula, Paus Fransiskus dalam Seruan Apostolik Pasca Sinode, Christus Vivit (CV), menekankan bagaimana Maria perlu menjadi teladan hidup khususnya bagi orang muda masa kini (CV art. 43-48, cf. MC art. 16). Paus Fransiskus merujuk pada ungkapan kesediaan Maria, dalam kata “ya” yang diungkapkannya dan mengantarnya pada hidup yang sama sekali baru (CV art. 44, cf. MC art. 21). Meskipun demikian, teladan-teladan lain pun tetap memiliki tempat yang tidak kalah penting dalam hidup religius seorang Katolik.
Oleh karena itu, kembali pada pertanyaan di awal, “apakah devosi memang sebuah doa yang hanya cukup untuk didaraskan saja?” Kiranya, devosi tidak hanya cukup didaraskan sebagai sebuah doa. Namun juga perlu melihat bagaimana devosi tersebut memiliki pengaruh yang signifikan dalam diri seseorang. Maka, “sejauh mana devosi punya dampak dalam hidupku?” adalah suatu pertanyaan yang perlu untuk terus dilihat, khususnya pada bulan Mei di mana banyak lantunan doa terarah pada Bunda yang Terkasih, Perawan Maria.
BIBLIOGRAFI
Da Camara, Luis Goncalves. Wasiat & Petuah. Yogyakarta: Kanisius. 1996.
Fransiskus, Christus Vivit, Seruan Apostolik Pascasinode, 25 Maret 2019.
Paulus VI, Sacrosanctum Concilium, Konstitusi tentang Liturgi Suci, 4 Desember 1963.
Paulus VI. Marialis Cultus. Tata Tertib dan Pengembangan Devosi yang Benar kepada Santa Perawan Maria. 2 Februari 1974.
Rancour-Laferriere, Daniel. Imagining Mary: A Psychoanalytic Perspective on Devotion to the Virgin Mother of God. New York & London: Routledge Taylor & Francis Group. 2018.
Yosephus Bayu Aji Prasetyo, SJ
Yosephus Bayu Aji Prasetyo SJ adalah seorang calon imam dalam Ordo Serikat Yesus. Setelah menempuh pendidikan di Seminari Menengah St. Petrus Canisius, Mertoyudan, Jawa Tengah selama empat tahun pada 2012-2016, ia melanjutkan pembinaan sebagai calon imam Serikat Yesus di Novisiat St. Stanislaus, Girisonta, Ungaran selama dua tahun (2016-2018). Selesai dengan formasi awal dalam Serikat Yesus, pria yang akrab dipanggil Bayu ini melanjutkan Pendidikan Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta (2018-2022). Setelah selesai dengan pendidikan Filsafat, ia ditugaskan untuk berkarya selama satu tahun di Paroki St. Maria, Botong, Keuskupan Ketapang (2022-2023) dan selanjutnya selama satu tahun di Catholic Center St. Paulus, Payak Kumang, Keuskupan Ketapang (2023-2024). Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan Teologi di Loyola School of Theology, Manila, Filipina.