Dari Paskah ke Pentakosta, Dari Guncangan ke Kobaran

Kota-kota besar seolah tak pernah tidur. Lampu-lampu menyala sepanjang malam, pekerjaan terus menuntut, notifikasi tak henti berdenting, dan dunia seperti berlari tanpa jeda. Setelah beberapa tahun layar gawai kita dipenuhi dengan ragam berita pandemi Covid-19, kini kita terus disuguhkan rentetan berita dinamika tahun politik hingga resesi ekonomi dalam atau luar negeri. Untuk beberapa dari kita, berita itu mungkin terasa jauh dari konteks kehidupan. Untuk sebagian orang, berita itu begitu berdampak karena sulitnya situasi ekonomi yang tak menentu (PHK, sulit mencari kerja, pengurangan upah, dagangan tidak laku, dll). 

Tentu saja tetap ada kabar baik di sekitar kita, entah itu kabar dari keluarga atau kabar baik di tengah masyarakat. Ketika kita mendapatkan kabar baik yang sangat penting, mungkin hati kita terasa berdebar-debar karena bersukacita. Namun secara psikologis, rasanya hati kita lebih mudah terguncang ketika menerima berita-berita yang membuat cemas. Sampai tahun ini, kita seolah tak diberi waktu istirahat dari gelombang kabar cemas. Mulai dari pandemi Covid-19 hingga tahun-tahun politik dan ekonomi. Hati kita terus berdebar dan terguncang. 

Kalau boleh digambarkan, mungkin debaran dan guncangan hati seperti itulah yang dirasakan para murid Yesus ketika menerima kabar bertubi-tubi, setelah Yesus disidang, disesah, wafat di kayu salib, lalu diakhiri dengan makam Yesus kosong! Apakah arti ini semua? Semua terjadi begitu cepat. Ketika beberapa perempuan membawa wewangian ke kubur Yesus, mereka tidak mendapati jenazah Yesus. Yang mereka jumpai justru dua orang dengan pakaian berkilau yang mengatakan, “Ia tidak ada di sini. Ia telah bangkit!” Bersama dengan berbagai kecemasan dan keraguan yang mungkin melingkupi hati, kita akan menyelami guncangan dan kegalauan yang juga dialami murid-murid Yesus. 

Ikon Makam Kosong

Guncangan Menuju Kobaran

Para murid Yesus waktu itu adalah orang-orang biasa, bukan orang yang sejak awal hebat. Mereka pernah lari, bingung, bahkan takut menghadapi dunia yang berubah begitu cepat setelah Yesus wafat. Setelah kebangkitan, para murid tidak langsung bersukacita. Mereka justru sembunyi di balik pintu yang terkunci. Tercekam oleh rasa takut, bingung, dan kehilangan arah. 

Bahkan setelah mendengar kabar kebangkitan, hati mereka masih penuh keraguan. Mereka tahu kubur itu telah kosong. Namun jiwa mereka masih tertutup. Kita bisa melihatnya dari Kleopas dan seorang murid yang pergi ke Emaus dengan harapan yang hampir patah. Selain itu, Tomas bahkan menuntut bukti fisik (mencucukan jari). Lalu juga Petrus, yang setelah kebangkitan kembali ke kehidupan lamanya: mencari ikan di danau Tiberias. 

Ikon Yesus dan dua orang murid yang pergi ke Emmaus

Guncangan hati yang membingungkan para murid ini bukan sekadar kisah masa lalu—ini juga cermin hidup banyak dari kita hari ini-. Kita tahu bahwa Yesus telah bangkit. Kita percaya akan kemenangan-Nya. Tetapi hati kita tetap gelisah karena tekanan pekerjaan, ketidakpastian masa depan, dan luka-luka yang belum pulih. Kita hidup di antara “waktu” Paskah dan Pentakosta: sudah mendengar kabar baik, tapi belum mengalami keberanian untuk keluar dan bersaksi.

Yesus tidak menunggu para murid menjadi kuat untuk datang kepada mereka. Ia masuk ke tengah-tengah ketakutan mereka dan berkata, “Damai sejahtera bagi kamu.” Ia hadir dalam ruang yang terkunci dan menyapa mereka bukan dengan teguran tetapi dengan damai. Ia menunjukkan luka-Nya bukan untuk mengungkit masa lalu, tetapi untuk meyakinkan bahwa kasih-Nya tetap nyata. Namun, meski Yesus hadir, para murid tetap membutuhkan waktu untuk dipulihkan sepenuhnya. Mereka tetap menanti, berharap, berdoa. Sampai akhirnya datanglah hari Pentakosta.

Bahasa Hati Yang Berkobar

Pada hari Pentakosta, Roh Kudus dicurahkan. Dan saat itu segalanya berubah. Ketakutan digantikan keberanian, kebingungan berubah menjadi kejelasan, keraguan sirna menjadi kesaksian. Para murid yang dahulu bersembunyi, kini keluar ke jalan-jalan. Mereka berbicara dengan kuasa dan menyentuh hati banyak orang. Ini semua bukan karena mereka hebat. Roh Kudus-lah yang menguatkan dan menyalakan hati mereka. Hati yang dulunya tertutup kini berkobar-kobar oleh nyala Roh Kudus.

Demikian juga kita hari ini. Di tengah dunia yang cepat dan menekan, mungkin kita masih merasa seperti para murid: belum siap, masih lemah, masih ragu. Tetapi Tuhan yang sama datang juga kepada kita, masuk ke ruang hati yang terkunci, dan membawa damai. Ia tidak menuntut kita langsung kuat. Tetapi Ia mengundang kita untuk terbuka, menanti, dan percaya. Sebab ketika waktunya tiba, Roh Kudus akan dicurahkan juga ke atas kita. Pada waktu itu, hati kita pun akan menyala: siap melangkah, bersaksi, dan menjadi terang di tengah dunia yang gelap.

Pentakosta: Roh yang menggerakan dan menggetarkan hati

Suasana hati yang berkobar itulah gambaran Pentakosta. Kita sering mendengar khotbah yang mengartikan secara literer bahwa “lidah-lidah api” menjadi kuasa yang membuat para murid dapat berbicara dalam berbagai bahasa. Seolah-olah para murid menjadi polyglot dengan seketika. Nyatanya tidak demikian.  

Pada hari Pentakosta, para murid tidak tiba-tiba menjadi ahli berbagai bahasa asing, seperti polyglot yang bisa berbicara lancar dalam puluhan bahasa. Mereka tidak sedang mempertontonkan keajaiban lidah. Melainkan mereka sedang menyampaikan sesuatu yang jauh lebih dalam: pemahaman batin yang telah terolah matang oleh pengalaman iman mereka bersama Yesus. 

Kata-kata yang keluar dari mulut mereka hari itu adalah bahasa biasa. Tetapi kata-kata itu juga sarat makna dan menyentuh hati banyak orang karena berasal dari kedalaman jiwa yang telah disentuh oleh Roh Kudus. Yang membuat hati orang-orang tergetar hari itu bukanlah keanehan kata-kata. Melainkan kebenaran yang disampaikan dengan Roh yang menyala: kebenaran yang menjangkau hati, bukan hanya telinga. Hal ini mungkin dapat diumpamakan ketika kita memiliki sahabat yang dari hati ke hati saling memahami. Terkadang tanpa berbicara pun kita bisa saling memahami apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh sahabat kita. Demikian juga sebaliknya. 

Sekarang, marilah kita merefleksikan berbagai guncangan dan kobaran dalam hidup kita: 

  1. Apa saja “ruang terkunci” dalam hidupku hari ini—rasa takut, kegagalan, atau luka—yang membuatku sulit merasakan sukacita kebangkitan Tuhan?
  2. Kapan terakhir kali aku benar-benar merasa hatiku “berkobar” karena iman kepada Kristus, dan apa yang menyulut api itu?
  3. Bagaimana caraku mendengarkan suara Roh Kudus dalam keseharian—di tengah kesibukan, media sosial, ambisi, dan tekanan hidup?
  4. Siapa saja orang di sekitarku yang sedang butuh dikuatkan, dan bagaimana aku bisa menjadi “lidah api” kecil yang menerangi mereka?

Ishak Jacques Cavin, SJ

Ishak Jacques Cavin SJ (Cavin) adalah seorang frater skolastik Serikat Yesus. Saat ini sedang menempuh studi teologi di Fakultas Teologi Wedabhakti, Universitas Sanata Dharma. Sebelumnya menjalani Tahap Orientasi Kerasulan (TOK) di Jesuit Refugee Service (JRS) Jakarta dan Aceh. Berasal dari Muntilan, ia pernah menjadi pendamping MAGIS 2018-2020.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *