Hari ini kami dipanggil “kembali pulang” ke Kolese Kanisius, Jakarta. Tempat ini merupakan titik pijak awal kami dalam memulai jalan baru untuk mengarungi perjalan hidup kami saat ini dan ke depan. Ketika pagi ini aku sampai di Kolese Kanisius, aku sungguh merasa gembira. Aku merasa ada kerinduan untuk mengalami perjumpaan dengan keluarga baruku, yakni circle Imago Anjai yang anggotanya berisi Mas Khrisna, Mas Okta, Mbak Linda, Kevin, Dida, Opi, Kirana, dan Laurent. Dan tepat sekali, perasaan itu sungguh kusadari dan kurasakan saat aku berjumpa dengan mereka di Kolese Kanisius.
Perasaan gembira dan rindu menjadi buah awalku memulai perbul pada kali ini, yakni Sejarah Hidup 2. Kendatipun perbul kali ini tema-nya tidak berbeda dari perbul sebelumnya yakni Sejarah Hidup 1, aku tetap merasa tergugah untuk berproses bersama circle-ku, circle Imago Anjai. Momen yang paling kutunggu dalam perbul adalah sharing tiga putaran bersama circle. Saat waktu sharing itu pun tiba, aku merasa makin tergugah dan gembira. Namun tepat saat aku dan teman-teman mulai berkumpul kemudian Mbak Linda memberikan pengantar sebelum sharing, tiba-tiba suasana circle terasa membeku. Perasaanku pun ikut terdiam, membeku sejenak. Aku merasa seperti ada reaksi energi yang melelahkan untuk melihat kembali pengalaman masa lalu. Apalagi pada perbul sebelumnya, teman-temanku sudah mencurahkan energi sampai menitihkan air mata ketika menceritakan pengalaman masa lalu yang penuh dengan luka. Aku pun memahami perasaan yang kutangkap dalam circleku.
Kami pun memulai bercerita mengenai perjalanan sejarah hidup yang pernah kami lalui. Rasanya berat. Bahkan tanpa disadari air mata menetes dan menjadi bagian dinamika kami. Ketika aku mendengarkan setiap cerita dari teman circle-ku: Mbak Linda, Opi, Dinda, Kirana, Kevin, Mas Okta, dan Mas Krishna. Aku merasa bersyukur sekali boleh menjadi bagian dari circle ini. Apalagi aku boleh ikut merasakan setiap rasa sakit yang dirasakan oleh teman-temanku, yang terwujud melalui setiap tetesan air matanya. Saat itu, aku seperti melihat diriku di masa lampau. Di saat aku juga menangis ketika menceritakan perjalanan sejarah hidupku di masa lalu. Aku menyadari bahwa membuka luka apalagi yang sudah dikubur lama merupakan sebuah tindakan yang begitu menyakitkan. Pun juga harus melawan rasa takut yang begitu besar. Maka hal inilah yang kusyukuri dalam perjalanan kali ini bahwa aku boleh menjadi bagian dari perjalanan pengolahan mereka, ikut merasakan rasa sakit yang dialami oleh teman-teman circle-ku. Aku juga bersyukur bahwa teman-teman circle-ku mau terbuka untuk bercerita perjalanan hidupnya. Ini yang akhirnya membuatku juga terdorong menceritakan perjalanan hidupku.
Setelah Mbak Linda, Opi, Dinda, Kirana, Kevin, Mas Okta, Mas Krishna, dan aku mencurahkan energinya untuk bercerita, aku merasa penuh dan bahagia. Aku merasakan ada ikatan emosional yang tumbuh diantara kami. Kemudian aku teringat momen-momen perjumpaan kami. Khususnya di tempat ini, di Kolese Kanisius, aku ingat sekali bagaimana Laurent menceritakan sebuah pergulatan hati yang bagiku sangat confidential dan berat dengan berani. Ada juga Opi dan Kirana yang menceritakan perjalanan luka dalam sejarah hidupnya. Selain itu, ada juga Dinda dan Kevin yang bercerita pergulatan batinnya. Serta Mbak Linda, Mas Okta, dan Mas Krishna yang juga terbuka atas pengalaman pengolahan mereka dan pergulatan batinnya. Hari ini pun, perasaan untuk berbagi dan berproses kembali hadir di tengah kami.
Melalui perbul kali ini, aku semakin diteguhkan bahwa apa yang kami lalui dan perjalanan proses pengolahan di MAGIS merupakan rahmat Allah. Rahmat-Nya itu hidup dalam diriku, diri Dinda, diri Opi, diri Laurent, diri Kirana, diri Kevin, diri Mbak Linda, diri Mas Okta, dan diri Mas Khrisna. Karenanya kami menjadi berani melangkah untuk mengolah perjalanan hidup kami. Bahkan tak harus menunggu perbul kali ini, kami sudah mau dan percaya untuk menceritakan pengalaman luka kepada setiap pribadi di circle Imago Anjai. Pengalaman ini yang membuatku semakin bersyukur boleh hadir dan berjumpa dengan setiap pribadi di circle ini.
Berproses dan berdinamika bersama mereka mengajarkanku untuk terus berani mengolah hidupku (On Going Formation), untuk berani terbuka dan menyadari rahmat Allah yang hadir dalam diriku. Akhirnya aku sampai pada kesadaran bahwa hidup adalah perjalananku untuk kembali pulang. Life is the way back home. Aku yang merasakan pengalaman penolakan karena orang melihat juga dirasakan oleh Yesus yang hadir di dunia. Dia yang adalah anak seorang tukang kayu juga merasakan hujatan, penghakiman bahkan dibenci. Puncaknya ialah peristiwa salib yang menjadi titik akhir perjalanan hidup-Nya untuk kembali pulang bersama Allah. Aku pun berharap bahwa diriku, Mas Krishna, Mbak Linda, Mas Okta, Opi, Kevin, Kirana, Dinda, dan Laurent juga dapat memaknai bahwa hidup kami adalah perjalanan kembali pulang bersama Allah. Apapun yang kami lalui saat ini akan berujung pada sukacita yang penuh bersama Allah pada saat kami semua kembali pulang.
Hingga akhirnya pertanyaan yang muncul adalah, “Lalu, ketika hidup adalah perjalanan kembali pulang, apakah hidupku dijalani dengan sekedar aku ada?” Melalui pengalaman hari ini, aku belajar bahwa hidup tidak hanya sekedar “aku ada”. Bukan semata-mata eksistensi diri. Melainkan menjalani hidup adalah persoalan bagaimana cara aku berada di dunia. Dari Yesus dan perjalanan dinamika bersama circle Imago Anjai, secara khusus pada perbul sejarah hidup ini, aku diteguhkan bahwa keterbukaan diri atas rahmat-Nya dalam pengalaman sejarah hidupku menjadi salah satu cara untuk “berpijak” di dunia ini. Caraku berada di dunia. Hingga akhirnya nanti, aku menemukan apa yang menjadi misi Tuhan untukku, yang membuatku berada di dunia ini.
Ad Maiora Natus Sum.
Laurentius Rakhas B.
Seorang pendosa yang yang dicintai Yesus. Menemani anak-anak muda adalah jalan saat ini yang sedang dihidupi. Pernah menjadi Formandi MAGIS Jakarta 2023