Memahami “Panggilan Raja” dalam Latihan-Latihan Rohani juga mengajak kita untuk memahami konteks penulisnya, Ignatius Loyola. Dengan latar belakangnya sebagai ksatria, tak jarang istilah-istilah dalam Latihan-Latihan Rohani yang dipilih Ignatius bernuansa ksatria, seperti “Panggilan Raja” — menggambarkan Ignatius yang pernah mengabdi raja sebagai ksatria waktu hidup di Puri Loyola. Dengan demikian, kita dapat memahami teks-teks Latihan-Latihan Rohani lebih kontekstual dan dapat mengena di dalam konteks hidup kita masing-masing.
Logika Panggilan Raja
Ignatius memulai “Panggilan Raja” dengan sebuah logika yang sederhana. Kita diajak untuk merenungkan diri kita di hadapan raja duniawi. “Raja duniawi” dapat diimajinasikan sebagai pemimpin-pemimpin tertentu, seperti presiden, CEO, pemimpin agama, kepala direksi, kepala sekolah, moderator komunitas, atau siapapun yang bernuansa “raja”. Kalau saya pribadi pernah mengimajinasikan di hadapan saya adalah “Paus Fransiskus” sebagai pemimpin Gereja Katolik. Dia juga “raja duniawi”. Intinya, bagian permulaan ini mengajak kita untuk berimajinasi mengenai diri kita di hadapan “raja duniawi” sesuai konteks kita atau siapapun yang dapat kita pilih dan bagaimana kita membangun relasi dengannya.
Setelah kita mengimajinasikan “raja duniawi”, Ignatius mengajak kita untuk mengimajinasikan dan merenungkan “Raja Abadi”. Raja Abadi inilah Raja segala raja duniawi, Raja Tertinggi. Pernyataan Ignatius sederhana, “Jika di hadapan raja duniawi, kita menaruh hormat…., seharusnya di hadapan Raja Abadi kita jauh lebih dapat hormat kepada-Nya.” Bagi Ignatius dan kita sebagai umat beriman, Raja Abadi ini adalah Tuhan Yesus Kristus, yang setiap bulan 20 November kita peringati dalam Hari Raya Kristus Raja Alam Semesta. Raja ini bahkan kita imani sebagai Pencipta segala sesuatu. Untuk lebih detail, menerawang karakteristik Raja Abadi yang ingin kita kenal, cintai, dan ikuti, kita diajak untuk merenungkannya dalam “Meditasi Dua Panji”.
Dua Macam Mentalitas
Panji Kristus |
Panji Setan |
Kemiskinan Rohani | Kekayaan |
Perendahan diri | Penghormatan |
Kerendahan hati | Keangkuhan |
dan keutamaan-keutamaan lainnya | dan kedurhakaan-kedurhakaan lainnya |
Dalam kacamata iman kita, manakah yang menjadi karakteristik Raja Abadi? Tentu perbedaan kedua panji – atau saya lebih terbantu dengan terjemahan bahasa Inggris “standard” = standar hidup atau bagi saya lebih tajam lagi “mentalitas” –, dapat kita lihat dengan jelas. Namun manakah yang menjadi mentalitas Raja Abadi dalam diri Yesus Kristus? Kita perlu memahami dan merenungkannya baik-baik dan tidak ditelan mentah-mentah!
Orang yang pertama kali merenungkan “meditasi dua panji/ standar/ mentalitas” biasanya langsung menyoroti perihal “kekayaan”. Siapa sih yang tidak mau hidup kaya? Saya sudah bekerja keras pagi, siang, malam, di kantor, perusahaan, sekolah, atau institusi manapun, ya bukankah supaya kaya, punya harta berlimpah? Ignatius mengajak kita masuk lebih dalam. Persoalannya bukan soal kaya materi saja, tetapi bagaimana kita memaknai kekayaan di dunia ini. Sekalipun kaya akan materi, pernahkah kita mengimani kekayaan material kita sebagai anugerah dari Allah dalam seluruh perjuangan kita? Di lain sisi, kita menyimak bagaimana kekayaan material ini dapat membuat orang lebih besar tergoda. Ekstrimnya, data sudah membuktikan bahwa banyak kejahatan, seperti korupsi, dilakukan karena godaan pada kekayaan: jadi orang kaya baru?
Saya semakin terbantu memahami Panji Setan ini ketika membaca ulang narasi sejarah Revolusi Perancis (1789-1799). Revolusi Perancis ini berakar dari keadaan keuangan Perancis yang kolaps karena biaya besar perebutan wilayah-wilayah jajahan yang tidak kunjung usai. Keadaan ini membuat Raja Louis XIV yang menganggap diri sebagai “titisan Allah” memberlakukan pajak yang tinggi untuk rakyat. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya penyelewengan, bahkan korupsi. Rakyat semakin melarat, sedangkan raja malah menjadi bangsat! Diprakarsai kelompok elit, bermodal, terdidik, amarah rakyat dinyalakan untuk memakzulkan, bahkan menghukum mati raja itu dengan guillotine (pemenggal kepala). Raja mati sia-sia, tak bermakna karena hidup dalam pusaran panji atau standar atau mentalitas setan. Akan tetapi, ini dapat menjadi pembelajaran sejarah yang sangat berharga.
Kekalahan raja, runtuhnya pemerintahan monarki absolut (pemerintahan mutlak oleh raja karena anggapan “dipilih langsung Allah”), menimbulkan pemerintahan baru di bawah Napoleon Bonaparte. Rasa-rasanya setelah lama menjabat, mulai dari kekayaan, lalu penghormatan, dan penghargaan diri karena memiliki kekuasaan, Bonaparte pun tergoda. Perancis kolaps lagi melalui peristiwa teror Jacobin dan rakyatlah yang menjadi bukti pemakzulan Bonaparte dan hukuman guillotine lagi. Dengan kisah Revolusi Perancis dan/atau sejarah-sejarah dunia atau nasional, kita dapat merefleksikan bagaimana raja/pemimpin jatuh karena godaan kekayaan, penghormatan, dan penghargaan diri. Kita dapat belajar lebih jauh bagaimana karakteristik setan ini dalam skala lebih luas dan besar melalui rentetan sejarah. Bagaimana sejarah di Indonesia, seperti dalam peristiwa Reformasi 1998?
Lalu, bagaimana dengan mentalitas Kristus? Pertama-tama, “kemiskinan” yang dimaksudkan Ignatius ini adalah kemiskinan rohani. Kemiskinan rohani ini bukan semata-mata tentang kemiskinan material atau ekstrimnya “tidak memiliki harta milik sama sekali”. Apabila kita seringkali melihat orang-orang miskin di trotoar jalan di Jakarta, bukan kemiskinan semacam ini yang dimaksud Ignatius. Kemiskinan semacam ini yang justru perlu kita ‘perangi’! Kemiskinan yang dimaksudkan Ignatius ialah kondisi diri (state of being) untuk mengosongkan diri dan menyerahkan seluruh hidup “di tangan Tuhan”. Tentu Ignatius, sebagaimana ia alami sendiri, membuka peluang bagi mereka yang ingin hidup miskin secara jasmani sejauh itu lebih membantu pengabdian dan pujian kepada Allah, tantum quantum. Akhirnya, ketika kita merenungkan mentalitas Raja Abadi kita seharusnya langsung menatap (gazing upon) Yesus Kristus. Yesus Kristuslah, Sang Raja Abadi yang Ignatius ingin kenal, cintai, dan ikuti. Maka, tak mengherankan apabila Ignatius mengajak kita memohon rahmat “hasrat mendalam untuk mengenal, mencintai, dan mengikuti Yesus Kristus lebih dekat dan lebih dalam” (Latihan Rohani 104).
Kita teringat Peristiwa Natal, peristiwa kelahiran, yang kita peringati setiap tahunnya sebagai umat Kristiani. Pernahkah kita menepi sejenak, mengimajinasikan dan mendoakan betapa luar biasanya peristiwa iman ini? Di balik gemerlap Natal yang kita peringati, sesungguhnya peristiwa Natal 20 abad yang lalu itu malah ditandai dengan situasi yang sunyi-senyap. Hening. Bahkan dalam ancaman yang mematikan karena Herodes menyuruh pasukannya membunuh bayi-bayi lelaki sulung dan Yesus sendiri terancam karena dia juga bayi lelaki sulung (bdk. Mat 2:16). Nah, dari imajinasi ini kita menatap sosok bayi yang rapuh, yang dalam iman kita, menjadi Raja Abadi bernama Yesus Kristus. Dari Peristiwa Natal ini kita dapat mengidentifikasi mana mentalitas Kristus dan mentalitas setan. Mentalitas Kristus sudah terbentuk sejak kelahiran-Nya. Raja kita, Raja Abadi dalam diri Yesus Kristus itulah Raja yang memilih untuk lahir di puncak kemiskinan. Ia juga mengambil rupa seorang hamba, merendahkan diri-Nya demi keselamatan kita (bdk. Flp 2:6-7). Dan kerendahan hati menjadi semacam keutamaan kunci Yesus di dalam kisah-kisah-Nya yang dapat kita kontemplasikan (dalam misteri hidup-Nya sehari-hari, perjalanan bersama para murid, wafat, dan kebangkitan-Nya). Yesus Kristus itu sendiri teladan utama dalam perjuangan menghidupi mentalitas Raja Abadi.
Hasrat Mendalam dan Tiga Golongan Orang
Apa ‘’hasrat terdalam’’ yang paling ingin Anda perjuangkan dalam hidup ini? Ignatius juga menggarisbawahi arti penting “hasrat” (desire). Bahkan, tak jarang, Ignatius mengingatkan supaya kita memiliki hasrat untuk hasrat (desire to desire). Mengapa hasrat ini penting? Nampaknya, Ignatius mengenang bagaimana Misteri Keselamatan ini bermula dari hasrat Allah untuk berkenan menjelma menjadi manusia. Dalam kontemplasi penjelmaan, Ignatius melihat bagaimana Allah dalam kekekalan-Nya memiliki hasrat yang mendalam untuk mengutus Pribadi Kedua masuk ke dalam dunia karena carut-marut dunia (bdk. Latihan Rohani 106). Dengan hasrat ini, makna keselamatan tergenapi. Melalui hasrat terdalam ini, Ignatius terinspirasi dari Raja Abadi sendiri bahwa dalam segala sesuatu itu selalu ada 100% usaha manusiawi kita, sekaligus 100% penyerahan diri pada rahmat Allah semata.
Setelah memahami dan bahkan memohon hasrat mendalam, atau setidaknya hasrat untuk hasrat, kita juga merenungkan tiga golongan yang Ignatius tuliskan dalam Latihan-Latihan Rohani. Ini yang akan membantu kita untuk memahami bagaimana seharusnya kita mengambil langkah.
Tiga golongan orang menurut Ignatius bermula dari deskripsi imajiner, “Jika Anda diberi uang 1000 ducat (dalam konteks hidup Ignatius di abad ke-16, 1000 ducat itu merupakan jumlah uang yang sangat besar), apa yang Anda lakukan? Untuk lebih memahaminya, mungkin Anda dapat membayangkan ketika Anda tiba-tiba mendapatkan uang 271 triliun rupiah dari orang baik yang mewariskannya kepada Anda. Apa yang Anda lakukan?
David L. Flemming, seorang ahli spiritualitas Ignasian, membahasakan secara sederhana tiga golongan orang dalam menanggapi 1000 ducat atau 271 T itu. Orang golongan pertama akan banyak omong dan tidak melakukan apa-apa demi kemuliaan Allah yang lebih besar. Yang pertama-tama dipenuhi adalah keinginannya sendiri dan tidak peduli dengan sesamanya. Orang golongan kedua akan bernegosiasi, semacam ingin mempersembahkan sebagian atau seluruh uang itu tapi masih terjadi tarik-ulur atau masih terlalu hitung-hitungan. Orang golongan ketiga, orang yang paling sempurna, akan menggunakan seluruh uang itu demi hasrat mendalam untuk pengabdian dan pelayanan kepada Allah. Mengerjakan kehendak Allah adalah hasrat utamanya. Lantas golongan manakah Anda?

Salah satu banner perayaan 500 tahun St. Ignatius yang mengangkat tema, “To see all things new in Christ”
Jalan Ignatius: Jalan Iman sebagai Peziarah Harapan
Senada dengan Tahun Yubileum 2025 “Peziarah Harapan”, Ignatius ingin menekankan bahwa jalan yang Ignatius pilih adalah jalan iman sebagai peziarah harapan. Dalam autobiografinya, bukan sebuah kebetulan, Luís Gonçalves da Câmara menyebut Ignatius sebagai peziarah. Iman dan harapan adalah salah dua keutamaan pokok Kristiani, selain keutamaan utama: cinta kasih. Menjadi peziarah yang beriman dan berpengharapan inilah yang harus kita pilih atau kita mohonkan. Pedro Arrupe pernah mengajak, “Mohonlah rahmat untuk melihat segala sesuatu bukan hanya dengan mata jasmani, melainkan dengan mata iman.” Mata iman sebagai peziarah inilah yang membantu kita untuk dapat melihat segala sesuatu secara baru di dalam Kristus —Seeing all things new in Christ.
Inspirasi Ignatius mengajak kita untuk tidak hanya memikirkan, membayangkan, atau memproyeksikan hidup ini sebatas pemenuhan sandang, pangan, dan papan ataupun materi-materi duniawi belaka. Itu semua diperlukan sejauh membantu sebagai sarana, tetapi bukan merupakan tujuan pada dirinya sendiri (ingat Asas dan Dasar!). Toh ketika kita “sudah selesai”, ketika kita mati, segala materi duniawi itu tidak kita bawa mati kan ya? Ignatius mengajak kita untuk punya visi ke depan. Sebuah visi yang pertama-tama terinspirasi dari Raja Abadi, Allah yang menjelma dalam diri Yesus Kristus. Kita diajak pula untuk memaknai bahwa kita dilahirkan untuk hal-hal yang lebih besar (ad maiora natus sum, seperti diungkapkan St. Stanislaus Kostka). Panggilan Raja memberikan kita cakrawala pandang untuk mengimani dan memperjuangkan cita-cita, bahkan melampaui diri kita.
Dengan demikian, Panggilan Raja ini memberikan kita harapan akan masa depan. Di tengah konteks hidup kita masing-masing, kita masih beriman dan berharap bahwa kita dapat ‘mengerjakan’ tugas atau pekerjaan kita dengan kacamata baru. Kita tidak hanya sampai pada penghayatan pekerjaan dan tugas kita secara biasa-biasa saja, tetapi melihatnya secara lebih (magis) daripada yang kita bayangkan. Ketika menghadapi situasi tidak ideal, konflik dengan rekan sekerja atau perendahan diri oleh sesama, bukankah dari kacamata iman Latihan Rohani ini, kacamata Ignatius sendiri, Anda sedang diajak untuk ‘masuk’ dalam perendahan diri Kristus? Ketika kita mendedikasikan seluruh diri kita pada tugas dan pekerjaan kita, bukankah kita melakukan penyerahan total sebagaimana kita menghidupi kemiskinan rohani? Bukan karena kehebatan atau keunggulan kita semata, melainkan Allah sendiri yang berkarya dalam diri kita. Bukankah itu kerendahan hati? Sebuah kesadaran bahwa kita hanyalah alat di tangan-Nya (instrumentum coniuctum cum Deo). Akhirnya, panggilan personal kita datang pertama-tama dari relasi personal kita dengan Yesus Kristus. Dengan demikian, jangan takut, jangan lelah membangun harapan!
Panggilan Perjumpaan Paus Fransiskus
Sebagai pengalaman personal memaknai “Panggilan Raja”, saya menutup penjelasan mengenai Panggilan Raja ini dengan pengalaman saya berjumpa dengan Paus Fransiskus pada hari Rabu, 4 September 2024 di Nuntiatura atau Kedutaan Besar Vatikan. Saya ingin bercerita bahwa 4 tahun sebelum saya mengalami perjumpaan ini, saya mendoakan Panggilan Raja dan persis muncul sedemikian kuat sosok Paus Fransiskus sebagai raja duniawi. Saya merefleksikan juga, “Paus Fransiskus sebagai Wakil Kristus saja saya hormati, apalagi Kristus itu sendiri.” Persis di sinilah, saya lebih mengenal Raja Abadi, serta terus belajar mencintai dan mengikuti-Nya. Semisal Paus Fransiskus dibandingkan dengan raja-raja duniawi lain, kita dapat mengidentifikasi mana yang memiliki mentalitas Kristus dan mana yang memiliki mentalitas setan. Dengan pilihan dan sikap konkretnya, setidaknya bagi saya secara personal, Paus Fransiskus adalah salah satu pemimpin yang berjuang dengan mentalitas Kristus.
Bukan sebuah kebetulan di tengah kabar yang begitu deras mengenai kunjungan Paus Fransiskus, Pater Provinsial, Benedictus Hari Juliawan, SJ mengutus saya untuk berbicara di depan Paus Fransiskus dalam audiensi privatnya dengan sekitar 200 Jesuit. Peristiwa ini seketika mengingatkan saya akan pengalaman mendoakan “Panggilan Raja” 4 tahun lalu, yakni ketika saya mengimajinasikan ‘’raja duniawi’’ saya adalah Paus Fransiskus. Saya berjumpa secara langsung dan ditugaskan untuk berbicara di depan Paus Fransiskus yang juga seorang Jesuit. Saya merinding dan berusaha menyiapkan seoptimal mungkin apa yang dapat saya sampaikan di hadapan Paus. Terutama concern saya dan Serikat dalam menyuarakan pesan Ibu Sumarsih mengenai korban-korban pelanggaran HAM berat dan ketidakadilan melalui Aksi Kamisan, yang terinspirasi dari Plaza de Mayo. Paus Fransiskus pada masanya ketika masih di Argentina juga turut terlibat di dalamnya.
Pada hari H-nya, di hadapan Paus Fransiskus saya menyampaikan pesan Ibu Sumarsih mengenai Aksi Kamisan. Paus mendengarkan dan mendukung pesan tersebut kendati tidak dapat menerima undangan untuk hadir di Aksi Kamisan pada hari Kamis, 5 September. Ada harapan, setidaknya Paus melewati lokasi Aksi Kamisan dalam perjalanan menuju ke Gelora Bung Karno, Jakarta untuk misa akbar. Akan tetapi, ya sudah: tidak dapat terjadi dengan berbagai alasan di baliknya. Akhirnya, kesan mendalam perjumpaan Paus Fransiskus bagi saya tidak hanya selesai di permukaan. Saya harus mengambil tindak lanjut konkret. Di tengah banyak undangan untuk saya menghadiri misa akbar, saya lebih memilih untuk hadir di Aksi Kamisan. Saya ingin menjadi ‘simbol’ Gereja Katolik yang tetap hadir di tengah perjuangan umat-Nya dalam memperjuangkan HAM dan keadilan. Inilah panggilan Raja Abadi beserta mentalitas yang saya hidupi!
Selamat semakin mengenal, mencintai, dan mengikuti Raja Abadi masing-masing!
Pertanyaan-Pertanyaan reflektif:
- Bagaimana aku memaknai “Panggilan Raja” dalam seluruh hidupku (dalam profesi, pekerjaan, tugas, keluarga)?
- Apa “hasrat terdalam” dalam hidupmu ini yang ingin kamu perjuangkan ‘mati-matian’? Mengapa demikian?
- Dalam hidupku sejauh ini, mana yang lebih aku hidupi: mentalitas Kristus atau mentalitas setan? Golongan orang I, II, atau III? Lalu, apa refleksiku dan tindak-lanjut konkretku daripadanya?
REFERENSI:
Tetlow, Joseph. Choosing Christ in the World: Directing the spiritual exercises of St. Ignatius Loyola according to annotations eighteen and nineteen, Boston: The Institute of Jesuit Source, 2015.
Coleman, Gerald SJ. Walking with Inigo: A Commentary on the Autobiography of St. Ignatius. Gujarat: Gujarat Sahitya Prakash, 2001.
Fleming, David. Draw Me into Your Friendship: The Spiritual Exercises A Literal Translation and a Contemporary Reading, Missouri: The Institute of Jesuit Resource, 1996.
Martin, James. Jesuit Guide to (almost) everything: A spirituality for real life, New York: HarperCollins Publisher, 2012.
Pingback: URL