Judul : Pengakuan Maria Magdalena: Saat-saat Intim bersama Sang Guru
Penulis : Lie Chung Yen
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta, 2015
Tebal : 236 hlm
Maria Magdalena. Sosok inilah yang kerap menjadi pergunjingan di antara banyak orang (termasuk umat Kristiani) karena banyaknya interpretasi tentangnya. Meskipun demikian, Paus Fransiskus telah menetapkan 22 Juli 2016 sebagai Pesta St. Maria Magdalena sebagai patron ‘murid Kristus’ yang penuh iman. Berkaitan dengan itu, Lie Chung Yen mengungkapkan relasi Maria bersama Rabboni [Sang Guru, Yesus] dalam sebuah buku dengan bahasa percakapan sehari-hari dan tetap menyajikan unsur ilmiah mendalam.
Gaya centil, keimut-imutan, dan banyak celetuknya. Begitulah Lie Chung Yen menunjukkan karakteristik Maria Magdalena dalam buku ini. “Inilah aku: Maria Magdalena! Namaku manis, bukan? Orangnya jauh lebih manis, lho!”
“Saat-saat Intim bersama Sang Guru”
Saat-saat intim. Itulah ungkapan yang Lie Chung Yen pakai untuk menggambarkan relasi Maria Magdalena dengan Rabboni dalam banyak perjumpaan. Ada banyak macam ungkapan yang menunjukkan betapa besarnya Iman Maria terhadap Yesus sebagai seorang murid perempuan.
Kisah Maria bersama Rabboni bermula dari perjumpaan pertama di kediaman Simon (bdk. Luk 7:36-50). Maria menyadari bahwa tatapan-Nya tidak seperti lelaki pada umumnya. Tatapan-Nya membuat Maria merasa “diterima, dihargai, diteguhkan, dikasihi, dihidupkan kembali, dan ditransformasi, bagaikan menerima Ciuman Kudus HaShem [Sang Nama, Yang Mahakuasa].” Sorotan mata-Nya membuat Maria berani mengungkapkan “I love Him, I love Him, I love Him! And wherever He goes I’ll follow, I’ll follow.”
Perjumpaan selanjutnya adalah ketika Rabboni berkunjung ke Magdala bersama murid-murid-Nya. Maria mengungkapkan, “Rabboni, perkenankanlah aku mengikuti Rabboni, ke mana pun Rabboni pergi!” Jawab-Nya, “serigala punya liang, burung punya sarang, tetapi Anak Manusia tidak punya tempat untuk berbaring (bdk. Luk 9:57-58).” Maria langsung menyahut, “bersama Rabboni, langit adalah tenda kita (Yes 40:22), padang rumput hijau pembaringan kita (Mzm 23:2), pohon aras tiang rumah kita dan pohon cemara langit-langitnya (Kid 1:17).” Dia tertawa lepas sambil berkata, “Amin, Amin, Amin, Aku berkata kepada kalian: tekad sebesar ini belum pernah kutemui di antara kalian!” Dengan begitu, Maria bergabung menjadi pengikut Yesus dalam segala karya-Nya. Perjumpaan itu menjadi “Cinta Pertama dan Terakhir Maria” kepada-Nya.
Perjumpaan Maria Magdalena di hadapan Rabboni yang tersalib menjadi momen puncak relasi itu. Bersama Bunda Maria dan Yohanes (murid yang dikasiahi-Nya), Maria menyaksikan Dia yang menyerahkan nyawa-Nya bukan sebagai suatu kegagalan. Justru Maria melihat hembusan terakhir-Nya (Yoh 19:30) itu sebagai hembusan untuk “menyerahkan, meneruskan Ruah-Nya kepada kami, agar kami teruskan kepada siapa saja yang bersedia mengikuti Rabboni.”
Itulah yang dimaknai Maria Magdalena sebagai “Ciuman Terakhir Rabboni” kepadanya, kepada umat manusia, kepada seluruh alam semesta. Ciuman itu memberi daya kuasa untuk membuat Maria dan orang-orang yang percaya pada-Nya menjadi saksi kasih Rabboni kepada dunia. Ciuman itu menjadikan Maria sebagai “Rasul Kebangkitan” untuk mewartakan sukacita Injil ke seluruh penjuru dunia.
Relasi Mendalam: Keterbukaan Hati, Kesetiaan Penuh, dan Merasul
Poin utama buku ini adalah bahwa setiap manusia membutuhkan relasi mendalam dengan Sang Penciptanya, tidak hanya sekadar relasi superficial saja. Untuk mengalami relasi mendalam dengan Tuhan, diperlukan sikap keterbukaan hati. Keterbukaan hati pertama-tama membawa seseorang pada pengenalan dirinya apa adanya. Dia mampu melihat dengan jelas dan menamai kelebihan dan kekurangannya, persepsi dan perasaannya tentang dirinya, aneka peristiwa dalam sejarah hidupnya–baik yang menggembirakan, maupun yang menyakitkan/traumatis, dan kenyataan diri saat ini yang dibentuk oleh aspek eksternal (keluarga dan lingkungan sosial-budaya tertentu).
Yang tak kalah pentingnya, dia mampu menerima itu semua, sehingga dia mengalami kemerdekaan batin dan “tidak akan haus untuk selama-lamanya” (bdk. Yoh 4:1-45 tentang Percakapan dengan Perempuan Samaria). Dari situlah, dia mampu mengalami Tuhan yang berkarya dalam dirinya. Momen seperti inilah yang Maria Magdalena alami, tepat ketika Ciuman Kudus HaShem datang kepadanya dalam rupa tatapan Rabboni.
Peristiwa Rabboni yang telah menyentuh sisi terdalam karena keterbukaan hati inilah yang membuat Maria Magdalena setia mengikuti-Nya sampai pada momen hembusan nafas terakhir-Nya di kayu salib. Maria tidak berpaling pada siapapun kecuali hanya pada Rabboni, Pribadi yang paling mengenalnya. Di sini kita bisa melihat bahwa ketika seseorang sanggup membuka hati di hadapan Tuhan dan membiarkan Tuhan menyentuh sisi terdalamnya, dia tidak akan berpaling kepada siapapun selain Tuhan yang mengenalnya lebih dari siapapun juga. Dari sinilah, orang berpotensi lebih untuk setia mengikuti Tuhan ke mana pun dia diutus.
Relasi mendalam seseorang dengan Tuhannya tentu akan berbuah dalam relasinya dengan sesama manusia dan alam ciptaan lainnya, sebagaimana Maria Magdalena yang menjadi ‘rasul kebangkitan’. Ia dapat mewartakan Kristus bangkit yang mengalirkan daya kehidupan baru bagi setiap orang yang percaya pada-Nya.
Semoga dengan belajar dari Maria Magdalena yang dengan segala keutuhan dirinya percaya, dan berserah pada Tuhan, setiap kita dimampukan membangun keintiman relasi dengan Yesus, bukan pertama-tama sebagai seorang guru dan murid, melainkan lebih sebagai sahabat yang saling mengenal, mendukung, mencintai, dan menerima satu sama lain.
Fr. Agustinus Lanang Panji Cahyo, SJ
Agustinus Lanang Panji Cahyo adalah frater skolastik Serikat Yesus yang saat ini sedang belajar filsafat di STF Driyarkara dan tinggal di Kolese Hermanum. Dia berasal dari Paroki Santo Antonius, Muntilan. Bergabung dengan Serikat Yesus pada tahun 2018. Frater Cahyo berminat pada bidang ekologi dan dunia psikologi. Pertanyaan “Apakah Engkau Mengasihi Aku? (Yoh 21:16)” selalu menemani perjalanannya sebagai pengikut Kristus.