“Wah, seneng nih ada Psikolog di circle kita! Bisa curcol gratis!”
Sependek ingatanku, pernyataan ini muncul di pertemuan virtual perdana circle Ayyalah. Entah bercanda atau serius, pernyataan tersebut membawaku memaknai kegiatan circle lebih dalam. Fun fact-nya, biaya jasa Psikolog di Indonesia memang cukup mahal dan tidak semua asuransi kesehatan meng-cover hal tersebut. Syukurlah sekarang ada Psikolog di Puskesmas, jadi bisa gratis. Nah, lebih bersyukur lagi ada circle di Magis. Apa hubungannya?
Aspek yang membuat jasa konsultasi Psikolog mahal adalah adanya proses didengarkan oleh tenaga profesional. Ya, didengarkan itu mahal harganya! Kenapa? Karena mendengarkan bukanlah proses otomatis, namun memerlukan kehendak sadar (niat) dari seseorang. Mendengarkan (Eng: listening) lebih dari sekedar mendengar (Eng: hearing). Kita semua bisa mendengar suara atau cerita orang lain asal telinga dan organ telinga kita sehat. Kita bahkan bisa menggunakan alat bantu dengar. Nah, untuk mendengarkan orang lain, kita butuh lebih dari telinga yang sehat. Kita juga butuh hati yang terbuka, pikiran yang fokus, dan yang paling penting adalah kesediaan diri untuk mendengarkan. Bagi kita yang ingin didengarkan, kita pun butuh kesiapan untuk berbagi, rasa percaya kepada teman yang mendengarkan, dan kerendahan hati untuk berbagi cerita yang mungkin tak selamanya menyenangkan.
Pada Pertemuan Bulanan pertama kemarin, circle Ayyalah juga mendapat kesempatan untuk mendengarkan dan didengarkan. Kami berbagi kisah perjalanan dari Pamplona ke Manresa yang sangat personal. Aku mendengarkan kisah teman-temanku dan kisahku pun didengarkan. Seperti yang kupaparkan di awal, mendengarkan butuh niat dan usaha yang konsisten. Tentu bukan perkara mudah, apalagi kami berbagi secara daring. Ada banyak kesempatan untuk mendengar (hearing) saja. Istilah mudahnya: disambi. Aku pun merasakan banyak godaan untuk mematikan kamera dan pergi atau untuk berbagi fokus dengan suara lain di sekitarku. Tapi ketika aku menatap layar dan melihat mimik wajah serta intonasi teman-temanku yang sedang bercerita, aku menyadari betapa mereka menantikan kesempatan didengarkan. Rindu didengarkan. Apalagi di situasi pandemi seperti ini. Maka, aku memutuskan untuk mendengarkan (listening).
Ketika tiba giliranku bercerita, ada perasaan takut dan ragu. Aku takut dinilai. Aku juga ragu apakah pribadi-pribadi yang kutemui secara daring ini mau melakukan yang beyond hearing – mendengarkan kisahku.
Circle Ayyalah ini adalah pribadi-pribadi pertama di luar pembimbing rohaniku yang kuizinkan mendengar perjalanan Pamplona ke Manresaku. Bisa dibayangkan betapa jantungku berdegup kencang. Aku tak menyangka bahwa diriku yang biasanya mendengarkan orang, ternyata begitu gamang jika ada orang lain mendengarkanku. Namun Allah seperti berbisik di hati untuk meneguhkanku. Meneguhkanku untuk berbagi dan memiliki pengalaman didengarkan. Meyakinkanku juga untuk percaya pada orang lain, sebagaimana orang lain mempercayaiku.
Dalam prosesnya, ternyata aku dimampukan untuk berbagi kisah Pamplonaku yang menurutku mirip telenovela. Aku melihat ekspresi wajah teman-teman dan Frater pendampingku yang excited, tertawa, kemudian ikut bersedih ketika ada hal yang memang membuatku sedih di kisah itu. Berbagai ekspresi itu menunjukkan bahwa teman-temanku here and now bersamaku. Pada akhirnya, aku mengamini bahwa teman-teman circle mendengarkanku. Mendengarkan kisah perjalananku dari Pamplona ke Manresa yang begitu personal dan unik. Indra pendengaran Ayyalah melakukan tugasnya dengan baik, begitu pula hati dan pikiran Ayyalah. Hati mereka terbuka untukku dan kisahku, pikiran mereka terfokus padaku dan kisahku. Teman-teman circle-ku telah melakukan hal yang lebih dari sekedar mendengar. Mereka mendengarkanku, mereka memberiku pengalaman didengarkan. Rasa syukur, lega, dan bahagia meliputi hatiku.
Di luar sana, ada banyak pribadi yang rindu didengarkan kisahnya. Didengarkan oleh orang yang mau mendengarkan menjadi rahmat yang langka, bahkan mahal. Aku merasa bahwa kegiatan circle di Magis mengajarkan kita semua untuk melakukan yang beyond hearing, yaitu listening. Lebih dari menggunakan telinga kita yang sehat, kita pun secara sadar diminta Allah menggunakan hati dan pikiran kita sepenuhnya untuk menjadi rahmat yang langka bin mahal itu. Seperti Allah yang selalu mendengarkanku 24 jam, maukah aku juga belajar mendengarkan? Listening beyond hearing? Sebagai penutup, seorang Psikolog senior pernah berkata: “Ketika ada yang mau mendengarkan masalah kita, 80% masalah itu terselesaikan. 20% sisanya adalah usaha.”
AMDG