From God’s Hands to My Hands

Berfoto bersama sebelum menuju lokasi immersion

Dalam doa kuserukan, “jadikan aku perpanjangan tanganMu Tuhan.”
Tuhan pun berseru, “lakukanlah apa yang bisa kau perbuat dengan tanganmu!”

 

Day 1 – 12 April 2018
Hari yang dinantikan sekaligus aku cemaskan tiba juga hari ini. Tapi sejak dini hari di Pulo Nangka, tidurku tak nyenyak. Beberapa kali aku terbangun melihat jam dan merasa sudah tidur cukup lama, namun waktu berjalan sangat lambat. Mungkinkah aku tak bersabar untuk live in? Entahlah! Tak cukup ruang untuk menceritakan bagaimana perasaanku tentang ini.

Sampai tiba waktunya, aku mendapat tempat live in di Susteran Puteri Kasih – Cilincing bersama Tata dan Arya. Aku tak dapat membayangkan kondisi tempat di sana, tapi semoga saja segala ketakutanku tak terjadi.
Akhirnya kami tiba di Susteran Puteri Kasih dan bersiap diantar ke rumah Ibu Asuh masing-masing. Sebelum itu, terjadilah beberapa percakapan awal yang membuat hatiku bergejolak. Sebenarnya aku ingin melaut, namun sepertinya yang dibutuhkan adalah pria, maka Arya terpilih dengan Ibu Nurlela karena suaminya seorang pelaut. Sementara aku dan Tata, diundi lebih dulu tentang siapa yang lebih tahan banting, seharusnya mendapat Ibu Bania.
Aku berpikir dan berkata dalam hati, “hmm..menyiksakah atau?? Ah sudahlah, siapapun yang dapat, Tuhan tahu yang terbaik untukku.”


Jeng-jeng..*drumroll*

Ya, Tata mendapat Ibu Bania dan aku mendapat Ibu Casmi. Tak ada perasaan lega, sama saja.

Singkat cerita aku dan Arya diantar oleh Ibu Nurlela menuju rumahnya dan rumah Ibu Casmi. Melihat kondisi rumah Ibu Nurlela yang lumayan luas dan bersih, tadinya membuatku sedikit tenang. Tapi kenyataannya berbeda saat tiba di depan rumah Ibu Casmi. Rumah yang kecil dan kumuh. Aku langsung bergumam dalam hati, “kenapa aku ditempatkan di sini, Tuhan?”. Tapi satu hal yang kuyakini, Tuhan pasti punya rencana dan baik untukku.

Sapaan hangat Ibu Casmi yang sudah separuh baya itu, spontan membuatku langsung mendekat padanya. Aku pun dipersilahkan masuk ke dalam dengan badan sedikit membungkuk karena batas atap rumah yang rendah. Ibu memberikanku remote TV supaya aku bisa nyaman menonton TV, sementara di depan pintu rumah Ibu sambil memasak untuk makan siang. Ibu tak punya dapur, maka perlengkapan masak sekedarnya itu ada di depan rumah. Aku tak mungkin membiarkan Ibu memasak sendiri, memangnya tujuan live in-ku untuk santai-santai. Maka kuputuskan membantu Ibu dan merasakan proses memasak yang membuatku jadi enggan untuk makan. Bagaimana tidak, seluruh bahan makanan dicuci dengan air yang sepertinya kurang bersih, penggunaan penyedap rasa dan mecin yang sangat banyak serta yang lebih ekstrim lagi, nasi ditempatkan dalam wadah ember. “Ah, bagaimana bisa aku makan makanan ini”, pikirku. Tapi aku bisa merasakan bagaimana Ibu berusaha memberikan yang terbaik dengan tulus. Maka aku pun dengan rasa haru dan syukur, makan bersama Ibu.

Sambil makan Ibu bercerita tentang kehidupannya, biasanya berdagang gorengan namun karena kondisinya yang sakit Ibu tidak berdagang lagi. Ibu tinggal bersama Bapak Umar suaminya yang bekerja sebagai nelayan serta anak, menantu dan cucu-cucunya yang masih kecil. Karena Ibu tidak lagi berdagang, maka aku menanyakan tentang pekerjaan pengupas kulit kerang. Sudah lama aku ingin tahu tentang kehidupan pekerjaan ini, walaupun yang akan kuhadapi pasti lingkungan yang jorok dan bau.

Benar saja, aku diajak oleh Ibu ke pemukiman dekat laut tempat berkumpulnya Ibu-Ibu PKK (Bukan, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga melainkan Pengupas Kulit Kerang). Tempat yang baru saja beberapa menit aku menginjakkan kaki, tapi ingin rasanya langsung segera pergi dari sana. Tapi aku seperti mendengar Tuhan berkata, “bukankah ini yang kau mau?”. Ya, aku pun memohon rahmat Tuhan untuk memampukanku mengalahkan segala ketakutanku. Karena kalau tidak, bagaimana mungkin aku bisa bertahan mengupas kulit kerang selama 3 jam di tempat seperti itu, membiarkan semua lalat menghinggapi wajah, rambut dan tubuhku serta mendengar berbagai percakapan yang kasar dan kata-kata tidak baik (kotor) diantara mereka.

Tuhan pun punya cara yang sangat tepat menyentuh hatiku dengan mengizinkan aku melihat dan merasakan keadaan ini. Saat itu ada jurnalis TV sedang meliput kehidupan Pengupas Kulit Kerang serta anak-anak yang mengangkut besi-besi bangunan. Aku melihat bagaimana anak-anak itu  begitu bersemangat saat didokumentasikan, terutama karena mendapat imbalan 100.000/3orang. Wajah-wajah yang penuh keringat namun dipenuhi senyum lebar, menyadarkanku bahwa rasa syukur yang begitu besar bisa didapat walau hanya dalam hal kecil.

Entah bagaimana raut wajahku saat itu hingga seorang Ibu sambil tersenyum berkata kepadaku, “belajar kupas kulit kerang ya Dek, biar ngerasain ya beginilah jadi orang susah, hidupnya ya begini-begini saja.”. Hatiku seketika bergejolak dan tak mampu berkata-kata, aku sedikit tahu tentang bagaimana kemiskinan struktural tersebut, tapi lebih daripada itu ada sesuatu yang tak sampai pada mereka.  Aku pun merasa, saat aku hadir bersama mereka, jangan sampai mereka merasa hanya sebagai subjek observasi, melainkan mereka juga harus merasakan kasih dari sesama yang menganggap bahwa mereka atau kita semua manusia itu sama. Tak ada perbedaan dalam hal mengasihi, apapun latarbelakang kita. Dalam hal ini, aku memohon dengan sangat Rahmat Tuhan untuk diberikan kerendahan hati yang mendalam, sehingga aku bisa mengesampingkan rasa jijik dan ketakutanku.

Segala perasaanku itu ku ceritakan saat sharing circle. Mendengar cerita Tata dan Arya yang tidak sedramatis kisahku, membuatku menangis, entah perasaan haru yang lebih besar atau perasaan lain, tapi ku sampaikan “aku ingin pulang, bisa gak ya aku bertahan tinggal di tempat seperti itu.” Tapi sepertinya Roh Baik dan Panji Kristus mendorongku untuk tetap bertahan dan berharap setelahnya merasakan lebih lagi sapaan Tuhan.

Sepulang dari circle, aku bertemu Bapak yang pulang dari melaut. Sebelumnya aku merasa takut dengan sosok Bapak, takut juga tidak diterima. Tapi ketakutanku pun pudar saat berbincang dengan Bapak. Kami bisa langsung akrab dan bercerita banyak hal. Saat bicara terkait rumah, Bapak menunjukkan kepadaku sertifikat rumah yang baru saja diterima dari Pemda setempat. Bapak menanyakan benar bukan sertifikat ini asli. Aku tidak tahu, apakah Bapak bisa baca tulis atau tidak, yang ku tahu Ibu tidak bisa baca tulis. Tapi dari hal tersebut, aku merasa Bapak percaya padaku dan aku merasa senang akan hal itu.

Rumah berukuran 27m itu diisi oleh sembilan orang dengan tiga kasur tanpa sekat yang sedikit tempatnya sudah disediakan untukku. Kondisi tempat yang sudah tentu tak nyaman itu, tapi ternyata membuat perasaanku senang. Suasana sebelum tidur sambil menonton TV diawali dengan banyak obrolan, membuatku merindukan saat seperti itu dalam keluargaku. Suasana yang mungkin tidak bisa didapat oleh keluarga-keluarga dengan kamar yang terpisah  atau yang biasa sibuk dengan gadget masing-masing. Tanpa gadget di tangan mereka, mereka jadi fokus membicarakan banyak hal tentang satu dan lainnya. Malam itu pun tidurku menjadi cukup nyenyak dan berharap di hari berikutnya mendapatkan sesuatu lagi yang Tuhan siapkan untukku.

***

Day 2 – 13 April 2018

Pagi ini bisa kubilang indah dan aku sangat bersyukur. Ibu yang sudah membelikanku nasi uduk yang kurasakan sangat nikmat, kemudian Bapak yang mengajakku ke laut. Awalnya Bapak hanya ingin mengecek perahu, karena hari ini (Jumat) Bapak  tidak melaut. Tapi kemudian Bapak mengajakku naik perahu jalan-jalan di lautan. Spontan aku seperti anak kecil kegirangan dan aku merasakan  seorang Bapak yang mengasihi anaknya. Aku bertanya banyak tentang ini itu dan menunjuk berbagai arah hanya sekedar ingin tahu. Namun Bapak menjelaskan dengan sabar dan mengajakku melihat lebih dekat ke arah tersebut. Saat di tengah laut, tiba-tiba mesin perahu mati dan aku yang merasa takut tapi saat itu juga teringat tentang Yesus yang meredakan angin ribut. Yesus berkata, “mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”. Seketika itu juga aku percaya dan berserah pada Tuhan, pasti tidak akan terjadi sesuatu apapun padaku di laut ini.

Setelah berkeliling laut, Bapak mengajakku ke pelelangan ikan. Aku seperti live in dengan dua kondisi yaitu PKK dan Nelayan, sehingga merasa dipuaskan ‘kehausan’ tentang banyak hal. Dalam hati kecilku berharap semoga kehadiranku juga dapat memuaskan ‘dahaga’ keluarga ini walaupun aku tak tahu tentang apa.

Satu hal lain yang tak kusukai terkait kamar mandi. Di rumah ada tempat mandi tanpa closet, yang letaknya di samping rumah di pinggir jalan gang dengan kondisi terbuka hanya tertutup kain. Tentu saja hal ini membuatku enggan mandi. Tak perlu diceritakan di sini bagaimana drama tentang mandi. Satu yang pasti Ibu sangat baik memberikanku lebih daripada apa yang bisa dia berikan.

Ada hal lain lagi cara Tuhan menyentuh hatiku. Hari itu juga aku bersama Tata berkesempatan membantu nenek yang bekerja di Susteran untuk membagikan makanan ke para lansia di sekitar. Aku lihat ada beberapa lansia yang sebenarnya tinggal cukup layak, tapi mungkin kita tidak tahu bagaimana perasaan mereka di rumah tersebut. Aku pun merefleksikan, bahwa memberi adalah salah satu bentuk perhatian dan kepedulian bahwa mereka ada.

Aku juga tersentuh dengan cerita nenek yang hidup sendiri  membesarkan anak dari suaminya yang sudah tiada, namun anak ini karena menganggap bukan ibu kandung sehingga  tidak pernah memberi apapun tapi justru masih membebani nenek dengan mengurusi cucu dan memenuhi kehidupan harian. Dari nenek aku belajar, kelak sekalipun aku tidak bisa selalu membahagiakan orang tua, semoga aku tidak mengecewakan mereka.

Malam harinya ditutup dengan kepolosan anak-anak karena Agil (salah satu cucu) berulang tahun dan orangtuanya membelikan sekotak donat. Melihat cara makan anak-anak itu memang terkesan jorok, tapi siapa mampu menolak pelukan tulus anak kecil yang riang walaupun badan penuh coklat donat. Setidaknya hal tersebut mengobati ketakutanku karena melihat tikus besar yang berkeliaran di kayu atap rumah.

***

Day 3 – 14 April 2018

Pagi ini tak seperti kemarin, karena ternyata tikus besar itu mempengaruhi pikiranku juga sehingga aku tidak tidur semalaman. Aku berharap malam segera berlalu dan saat pagi datang aku bisa segera bergegas pamit. Aku punya alasan pulang lebih awal karena bersiap membantu Susteran membagi sembako, terlebih juga karena tidak ada pekerjaan yang bisa kulakukan di rumah.

Tapi ternyata Semesta memintaku untuk tidak terburu-buru meninggalkan mereka. Sebenarnya aku tidak merasakan ‘keromantisan’ dalam kemiskinan dan keharuan saat akan meninggalkan mereka. Karena justru di hari ini, aku merasakan bahwa pada dasarnya keluarga ini tidak miskin secara finansial, melainkan pola pikir dan pola asuh yang mungkin menjadi dasar adanya kemiskinan struktural.

Ah, tak akan kubahas panjang tentang ini. Yang pasti aku bahagia saat pamit untuk pisah, adik-adik memelukku riang dan Bapak minta dicetakkan foto saat kemarin Bang Wens dan Mas Toro datang mengunjungi kami. Itu artinya sesuai dengan harapanku, aku bisa berarti dan meninggalkan kesan yang baik pada setiap orang yang kujumpai.

Perasaan sangat luar biasa, aku merasakan kehadiran Tuhan sepanjang hari ini dalam banyak hal. Perjumpaan dengan wajah-wajah yang penuh harapan saat membagikan sembako, memberikan pengharapan tersendiri bagiku terutama tentang makan siang.

Ini sungguh kebaikan Tuhan yang nyata. Begitu banyak rahmat Tuhan yang luar biasa boleh kuterima sepanjang proses live in ini.

Karena tangan Tuhan yang lebih dulu mengulurkan kasihNya, maka aku pun berani mengulurkan tanganku memberikan kasih lewat sentuhan, pelukan dan pemberian yang nyata terutama bagi mereka yang terasing, terkucilkan dan terpinggirkan.

Semoga aku dan semakin banyak lagi orang-orang merasakan uluran tangan cinta Tuhan dan boleh bergandeng tangan berbagi cinta dengan lainnya. Siapkah kita? (DE) 

***



Dian Elysa

Pejalan yang selalu rindu berjalan kemanapun Tuhan sediakan jalan. Berjalan dalam kata-kata ataupun berjalan menyusuri pelosok guna mencari Dia. Bergabung dengan MaGis 2017, karena membutuhkan sarana “finding GOD in all things”.

 


 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *