dalam semilirnya angin yang menepis
ia bertelut pada Bapa : Bapa, lepaskan cawan ini dari padaku
kemudian ia merunduk dan berdoa teramat pasrah:
Bapa, kehendakMu jualah yang jadi
(Weinata Sairin, dalam bagian pertama dari sebuah refleksi tentang kematian Yesus)
Jika kita membaca, barang 2-3 kali kutipan puisi di atas, kita akan merasakan bahwa sosok yang sedang berdoa dengan penuh kepasrahan itu adalah manusia yang sedang dalam ketakutan luar biasa. Dalam doanya, Ia bahkan seolah hendak mengingkari takdir dengan memohon agar ketakutan-Nya tidak terjadi. Ia tergambar begitu lemah dan rapuh. Ia penuh kepasrahan. Akhirnya, Ia tak punya pilihan selain untuk berserah secara total. Ia menyerahkan kebebasan-Nya. Ya, sosok itu adalah Yesus Kristus.
Pernahkah kita bertanya : mengapa Yesus memilih menyerahkan kebebasan-Nya? Bukankah Ia sangat mungkin membuat kematian-Nya tak terjadi? Lalu, bagaimana kita memaknai kebebasan yang kita miliki?
Perayaan Tri Hari Suci Paskah telah kita lewati. Kita mengenang bagaimana peristiwa-peristiwa penting dalam hari-hari terakhir Yesus terjadi. Mulai dari perjamuan malam terakhir ketika Ia dikhianati, kemudian Ia ditangkap, diadili, diolok, disalibkan, dan bangkit pada hari ketiga setelah kematian-Nya. Gereja mengajak kita untuk merenungi sengsara Yesus yang dijalani atas nama penebusan dosa. Penebusan ini bukanlah penebusan biasa. Sebab, kita meyakini bahwa penebusan Allah dalam diri Anak yang turun ke dunia terjadi dengan jalan kematian. Benarkan demikian? Dalam Roma 6:23 tertulis, sebab kematian adalah upah dari dosa. Santo Paulus mengajarkan kita bahwa bahaya dosa sungguh membawa kita kepada suatu keadaan yang melampaui kesengsaraan. Keadaan yang membuat kita tak bisa lagi berbuat apapun, termasuk berpengharapan. Kematian juga menjadi puncak peristiwa kehidupan manusia (Gaudium et Spes : 18). Kematian digambarkan sungguh-sungguh mengerikan, bahkan untuk Yesus sekalipun.
Dosa menggambarkan telah rusaknya relasi Allah dengan manusia. Manusia memberontak dan manusia enggan mengakui mengenai ketergantungannya kepada Sang Ilahi. Iblis dalam rupa ular telah berhasil mempengaruhi Hawa dan Adam untuk melanggar perintah Allah. Kemudian, kita mengenal dosa karena mereka sebagai dosa asali. Agustinus juga meyakini bahwa kematian yang kini diwarisi oleh semua manusia adalah akibat pewarisan oleh Adam dan Hawa atas dosa yang mereka perbuat. Perlu sebuah terobosan bagi Allah untuk berupaya mengembalikan relasi-Nya dengan ciptaan yang paling mulia, yaitu manusia. Ia menjelma sebagai sosok Anak Manusia yang datang dengan penebusan. Penebusan inilah upaya perbaikan relasi yang dikehendaki Allah. Namun, lagi-lagi dengan kesombongannya, manusia menolak upaya Allah tersebut dan malah menjerumuskan Anak Manusia kepada sebuah penderitaan yang keji.
Yesus yang kita percayai sebagai wujud kemanusiaan Allah, harus rela menanggung siksaan manusia dan melewati kematian. Melalui ke-Maha Kuasa-an-Nya, Yesus tentu dapat mengubah apapun yang Ia inginkan saat itu, termasuk membatalkan kematian-Nya. Namun, Ia menyadari bahwa kematian-Nya mampu menggantikan kematian yang seharusnya ditanggung manusia karena dosa. Yesus, dalam pemahaman saya paling dasar, rela memaknai ke-Maha Kuasa-an-Nya justru untuk terus berada dalam kuasa dosa manusia. Yesus rela didera sedemikian rupa tanpa menunjukkan kekuasaan-Nya bahkan untuk secuil saja. Ia dengan kebebasan memilih demikian untuk manusia. Ini adalah bentuk kerahiman yang mulia yang ditunjukkan Allah. Tapi, bukan berarti kerahiman dan kekuasaan Allah yang tak terbatas itu kita maknai dengan prasyarat pengorbanan yang dilakukan Yesus. Allah adalah Maharahim dan Maha Kuasa jauh sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Demikian juga yang dikatakan seorang filsuf Fransiskan bernama Scotus yang meyakini, bahwa ada atau tidaknya dosa, Allah tetap akan hadir dalam kerahiman dan kekuasaanNya.
Kini, sebagai manusia, bagaimana kita memaknai kebebasan?
Kebebasan bisa kita maknai sebagai sebuah upaya menyempurnakan eksistensi manusia itu sendiri (Nico Syukur, Filsafat Kebebasan). Kebebasan inilah yang selalu diupayakan sebagai kecenderungan manusia untuk merealisasikan diri. Ini juga menjadi penanda, bahwa manusia berbeda dengan benda-benda lain yang tidak memiliki kebebasan. Kebebasan yang diupayakan dalam mewujudkan eksistensi manusia perlu kita pahami dalam kerangka kemanusiaan. Kemanusiaan hadir seiring sejalan dengan makin mendalamnya kesadaran dan pengetahuan kita mengenai eksistensi manusia.
Kita dihadapkan kepada beragam realitas kehidupan manusia, baik buruk ataupun baik. Pun kita juga mengalami sebagian di antaranya. Dalam realitas tersebut, kemanusiaan dapat diupayakan dengan keterlibatan yang tak bersyarat. Sebagian realitas yang kita hadapi mungkin tak kita ketahui, sebagian lagi kita ketahui betul. Misalnya saja perang yang tak berkesudahan disertai derita para korban, anak-anak yang kelaparan, pengungsi yang terkatung-katung di laut, rusaknya lingkungan hidup, gereja-gereja yang dibakar, kemiskinan yang terus meningkat, maraknya korupsi pejabat pemerintah, dan lain sebagainya. Kebebasan yang kita pahami dalam kerangka kemanusiaan seharusnya memampukan kita melihat persoalan-persoalan itu melampaui daya pikir kita, meskipun kita juga diselimuti keterbatasan.
Dengan kebebasan, manusia mampu mendera Yesus yang juga dengan kebebasanNya memilih setia dalam penderitaan. Maka, kita memerlukan pemahaman radikal bahwa melalui kebebasan, kita memilih menghidupi realitas kita dalam derita dunia. Ini saya sebut sebagai penggilan kemanusiaan. Kita dipanggil untuk wajah-wajah Yesus yang dalam masa ini juga didera, disiksa, tersingkir, miskin, dan merasa tak ada harapan lagi. Yesus mengajarkan dengan sempurna untuk menggunakan kebebasan demi baiknya relasi manusia dengan Allah yang rusak karena dosa. Maka, kita pun perlu melibatkan dan bahkan menyerahkan diri (sama seperti Yesus) demi kemanusiaan kita. Ingatkah peristiwa seorang perempuan menyeka wajah Yesus saat perjalananNya ke Golgota? Ia mencintai Yesus dalam wajahya yang berlumur darah. Kita pun diundang mencintai Yesus dalam wajah-wajah-Nya di dunia ini dengan kehendak bebas. Pada akhirnya, kebangkitan Yesus dapat kita maknai sebagai kebangkitan kemanusiaan kita yang luhur.