Berjalan bersama MAGIS Jakarta

Circle Carica – Formasi 2020

Bertemu muda-mudi Jakarta. Itu hal yang pertama kali muncul di benak saya ketika mendapatkan perutusan di MAGIS. Bagi saya, muda-mudi Jakarta itu seperti pekerja kantoran, orang yang suka pergi ke mall dan cafe untuk nongkrong kemudian punya ketergantungan pada gadget, dst. Pernah muncul juga gambaran yang agak judgmental seperti mereka hidup tanpa arah dan tujuan hidup. Barangkali mereka masuk MAGIS karena merasa hidupnya tidak tenang dan butuh komunitas yang dapat membawa mereka pada kebahagiaan yang sesungguhnya, bukan sekadar senang-senang saja, pikir saya.

Tentu, saya merasa gembira dan bersemangat untuk terlibat di MAGIS karena saya juga orang muda. Selain menawarkan kedalaman hidup lewat spiritualitas Ignatian, tujuan saya adalah berelasi dengan perempuan dan laki-laki secara dewasa. Ada keinginan dari dalam diri untuk belajar percaya diri meskipun saya masih muda dibandingkan dengan mereka yang akan saya temui.

Berbekal pengalaman olah rohani di Novisiat selama dua tahun, serta studi filsafat, saya merasa punya pegangan untuk masuk dalam dunia orang muda. Di satu sisi saya merasa pengalaman di novisiat dapat membantu saya untuk berbagi pengalaman doa, pengolahan hidup, olah rasa, dan relasi dengan Tuhan. Di sisi lain, studi filsafat dapat membantu saya untuk membantu berpikir kritis, memperluas sudut pandang, berpikir rasional dan sistematis.

Meskipun sudah memiliki bekal-bekal tersebut, kerap muncul beberapa pertanyaan.  Salah satunya, apakah saya dapat menemani orang yang lebih berpengalaman daripada saya? Saya sadar bahwa pengetahuan dan bahasa saya terbatas pada hal-hal yang rohani dan filsatat yang kurang awam, bagi orang muda kebanyakan. Sementara itu, pengetahuan mereka tentang realitas mengenai sulitnya hidup di Jakarta demi mencari secangkir kopi dan sesuap nasi pun belum banyak saya ketahui. Di sini saya sadar ada jurang yang membentang antara saya dan mereka. Karenanya ketika masuk MAGIS, saya mohon rahmat kerendahan hati pada Tuhan untuk belajar tentang realitas hidup dari kacamata orang muda sendiri.

Ketika diminta menjadi pendamping MAGIS dan harus menjalaninya secara online, saya awalnya bingung. Bingung karena dinamika MAGIS secara offline pun saya belum pernah saya rasakan. Kendati demikian, saya merasa bahwa kegiatan yang dijalankan secara offline maupun online sebenarnya adalah sarana saja. Saya teringat akan Asas Dasar mengenai tidak memilih satu hal tertentu lebih daripada yang sebaliknya. Artinya, kalau memang online adalah jalan yang dapat memuliakan Tuhan dengan lebih besar pada saat ini, maka itulah yang saya pilih.

Suka duka tentu saya rasakan seiring berjalannya waktu. Perasaan gembira muncul ketika saya tetap bisa berkomunikasi dengan teman-teman, baik dalam kepengurusan maupun circle, entah dalam perjumpaan vitual maupun fisik. Meski demikian, tidak bisa disangkal bahwa pertemuan online itu sangat melelahkan, apalagi ketika mengikuti perbul dari pagi dan dilanjutkan circle-an sampai sore di depan komputer. Capek? Iya. Tapi ada hal baik dan meneguhkan yang didapat entah itu mendengarkan sharing dari teman-teman maupun mencecap-cecap kembali materi yang dibawakan.

Pengalaman terbesar dan paling mengesan bagi saya adalah pengalaman menjadi penanggung jawab dalam persiapan MAGIS Action Day (MAD) yang digelar secara online pada bulan Mei 2021 lalu. Saat itu saya mengalami desolasi (merasa jauh dari Tuhan). Saya belum pernah membuat sebuah event seperti itu. Yang saya rasakan ketika itu adalah merasa bekerja sendirian hingga bingung untuk membagi waktu dengan pendampingan retret online dan riset. Namun, saya bersyukur ada beberapa orang yang mau membantu secara sukarela. Kadang pula ada rasa jengkel karena beberapa orang tidak memiliki kepekaan untuk bertanggung jawab atas kegiatan tersebut.

Ada pengalaman menarik lain ketika saya menjadi pendamping MAGIS. Suatu sore, saya bersepeda keliling Jakarta. Saya merasa diteguhkan ketika bertemu dengan Yesus yang memanggul salib di dalam batin. Gambaran itu muncul tiba-tiba di batin saya. Yesus yang sendirian memanggul salib itu menoleh kepada saya dan berterima kasih karena telah ikut merasakan rasanya sepi dan kelelahan menanggung beban hidup saya sendiri.

Lewat perjumpaan singkat itu, saya merasa bahwa saya ditemani dan diperhatikan. Saya belajar semangat kerendahan hati di mana karena pandemi, tidak semua bisa berjalan sesuai ekspektasi dan tidak semua orang ada dalam kondisi yang baik. Saya belajar untuk bersolider juga bahwa barangkali beban pekerjaan teman-teman yang lain lebih berat daripada apa yang saya rasakan. Lewat MAGIS saya belajar pentingnya memahami keadaan orang lain, baik yang saya layani maupun mereka yang membantu saya.

Melihat-lihat lagi pengalaman selama satu tahun ke belakang, rahmat terbesar yang saya alami adalah pengetahuan yang lebih dalam mengenai sikap lepas bebas dalam Asas Dasar. Lepas bebas dalam Asas dan Dasar dalam Latihan Rohani St. Ignatius Loyola mengajak saya untuk membedakan mana tujuan dan mana sarana. Di masa pandemi ini, saya belajar untuk melihat bahwa tidak semua orang bisa mengikuti kegiatan MAGIS secara penuh. Beberapa diantaranya adalah ada seorang teman yang sedang kesulitan dalam pekerjaan. Ada pula yang kesulitan dalam sinyal sehingga tidak bisa menyalakan kamera. Bahkan ada pula yang terpaksa bekerja di hari Minggu sehingga tidak dapat mengikuti pertemuan bulanan. Maka dari itu, saya belajar untuk memberikan teman-teman kebebasan mau mengikuti kegiatan MAGIS sesuai kemampuan mereka. Saya merasa bahwa MAGIS hanyalah sarana. Barangkali formasi yang diberikan Tuhan kepada orang-orang tertentu untuk saat ini adalah bagaimana bertahan hidup. Meskipun tidak aktif dalam kelompok, saya bersyukur ada komunikasi yang diperjuangkan, baik lewat pendamping dalam circle atau animator maupun orang tersebut.

Saya melihat selama satu tahun ke belakang bahwa ada rahmat-rahmat tertentu yang dialami oleh teman-teman. Rahmat yang didapat setiap orang berbeda. Ada yang mendapatkan satu rahmat yaitu rahmat komunitas, tetapi ada juga yang mendapatkan rahmat kedalaman, komunitas dan pelayanan. Saya disadarkan bahwa semua itu adalah pemberian Tuhan sesuai dengan keadaan setiap orang.

Saya meyakini bahwa MAGIS bukan satu-satunya tempat bagi seseorang untuk berkembang. Saya yakin MAGIS dapat menjadi awal bagi seseorang untuk memulai perkembangan spiritualitas, komunitas, dan pelayanannya. Saya teringat akan sebuah perumpaan tentang jenis-jenis tanah dalam Injil Mat 13:1-9. Bagi saya, MAGIS merupakan benih yang disebarkan oleh sang penabur dan tugas kita adalah menjadi tanah yang baik. Meskipun sadar akan kekurangan-kekurangan pribadi, namun jikalau ada sedikit tanah saja yang baik, benih itu dapat tumbuh dan berbuah.  Saya berharap bahwa MAGIS dapat menjadi tempat bagi setiap orang untuk menemukan siapa dirinya, sadar apa tujuan hidupnya, dan mengapa dia mau untuk hidup sehingga dapat mengembangkan diri sesuai dengan panggilan personalnya. Sebab dengan merenungkan dan mencari jawaban itu, seseorang dapat berjalan di tengah berbagai situasi hidup yang kadang lebih banyak tantangan dan kesulitannya.

Mengutip kata-kata dari Nietzsche, seorang filsuf eksistensialisme dari Jerman, seseorang perlu untuk mengetahui mengapa ia hidup, tanpa itu, ia tidak dapat menanggung beban hidup yang seringkali absurd dan berjalan begitu saja tanpa makna. Semoga MAGIS dapat menjadi tempat bagi seseorang untuk menemukan tujuan hidupnya.

“He who has a why to live for can bear almost any how.”

Friedrich Nietzsche

 


Yohanes Krisostomus Septian Kurniawan

Yohanes Krisostomus Septian Kurniawan adalah frater skolastik Serikat Yesus. Berasal dari Kartasura, Sukoharjo. Masuk Novisiat SJ tahun 2017. Mengucapkan kaul pertama dalam Serikat Yesus tahun 2019. Saat ini, ia sedang belajar filsafat di STF Driyarkara dan tinggal di Komunitas Kolese Hermanum, Unit Pulo Nangka.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *