Judul Buku : Heroic Leadership
Penulis : Chris Lowney
Penerbit : Loyola Press
Tebal Buku : 336 halaman
Chris Lowney membagikan empat prinsip kepemimpinan yang berdaya. Pertama, kesadaran diri (self-awareness). Kedua, ingenuitas (ingenuity). Ketiga, cinta-kasih (love). Keempat, heroism (heroism). Walaupun secara eksplisit tidak banyak mengambil terminologi dalam Latihan Rohani, empat prinsip ini bersumber dalam Latihan Rohani. Penulis menarasikan karangannya secara gamblang, terutama dengan istilah-istilah managemen yang dekat dengan bidang yang digelutinya.
Buku ini terbagi menjadi 11 bab. Lowney mengantar karangannya dengan berkisah tentang pengalamannya bekerja sebagai eksekutif korporat di J.P Morgan, sebuah perusahaan besar di Amerika. Pengalamannya bekerja di perusahaan tersebut tak terlepas dari pengalamannya yang sarat makna di dalam sebuah “perusahan” bernama, “Compania de Jesu.” Selama tujuh tahun dia pernah menjadi bagian di dalam perusahan tersebut.
Lowney juga menceritakan tentang bagaimana Compania de Jesu ini terbentuk. Pembentukan ‘perusahaan’ ini tak terlepas dari pengalaman Ignatius dari Loyola, sang manager utama korporat beserta para sahabat pertamanya. Tak pernah terduga, ‘perusahaan’ ini masih berdiri hingga kurang lebih lima abad. Nilai yang amat dijunjung tinggi dari ‘perusahaan’ ini adalah berusaha mengabdikan diri bagi sesama di bawah ketaatan pada Gereja. “Menyelamatkan jiwa” adalah tujuan utama dan terutama ‘perusahaan’ ini.
Dari bab lima hingga sembilan, Lowney mengelaborasi penjelasan empat prinsip kepemimpinan, yang didasarkan oleh cara bertindak (modo de proceder) ‘perusahaan’ tersebut. Tentang kesadaran diri, Lowney menggarisbawahi pentingnya kita meyakini betapa berharganya diri kita. Setiap orang memiliki kekuatan dan kelemahan yang beragam dan khas. Beriringan dengannya, kita diyakinkan bahwa ada nilai dan tujuan yang ingin kita perjuangkan. Kesadaran diri tersebut adalah sebuah dasar kepemimpinan.
Dasar kemimpinan itu diharmonisasikan dengan sebuah proses penggemblengan diri, yang disebut Latihan Rohani. Latihan tersebut adalah sarana pengembangan diri seumur hidup, yang bertujuan supaya pilihan-pilihan seorang pemimpin tidak didasari oleh rasa lekat tak teratur (disordered attachment). Di tengah dunia yang terus berubah, eksamen dan diskresi sebagai cara-cara latihan tersebut memicu para pemimpin untuk terus berinovasi dan beradaptasi.
Belajar dari Ignatius, dorongan sebagai pemimpin pertama-tama timbul dalam diri sendiri. Setiap pribadi punya peluang untuk menyumbangkan sesuatu penuh makna bagi dunia. Bahkan, seorang pemimpin yang heroik berpersepsi bahwa dunia bergantung pada apa sedang dilakukannya. Seorang pemimpin tidak hanya terbekukan oleh kewajiban ritual belaka, tetapi cenderung gelisah dan berupaya menemukan sesuatu yang magis. Ia membayangkan yang tak mungkin dan mengambil tindakan. Penemuan ini bukan semata-mata untuk kepentingan diri, melainkan kebaikan banyak orang.
Semangat tersebut membangun harapan yang optimistis tentang dunia yang dilimpahi cinta kasih. Dengan demikian, seorang pemimpin tersedia untuk terlibat dan mengembangkan potensi diri, yang bahkan terpendam. Maka, tak mengherankan ‘perusahaan’ ini berjuang demi pertumbuhan dunia dan bukan malah tersekat dalam ‘tembok biara.’
Fransiskus Xaverius, Matheo Ricci, de Nobili, Adam Schall, dan banyak pegawai dalam ‘perusahaan’ tersebut adalah saksi-saksi nyata. Mereka berkeliling dunia untuk membakar dunia dengan cinta kasih lewat penjelajahan mereka dalam bidang yang ditekuni, bahkan tak sungkan menjadi pembuat peta, astronom, pembuat meriam, dan sebagainya dipilih demi keberhasilan perjuangan itu.
Sebagai kesimpulan, Lowney merepetisi penjelasannya tentang keempat prinsip kepemimpinan itu. Salah satu narasainya yang representif sebagai berikut;
The leader understands that his or her values and ways of working must form an integrated, self-reinforcing whole, or as Jesuits call it a modo de proceder. In the Jesuit’ case, their work and their life values of self awareness, ingenuity, love and heroism reinforced one another in a virtuous circle.
Empat nilai kepemimpinan tersebut adalah sebuah kesatuan integral. Lowney merefleksikan bahwa proses pembentukan keempat prinsip tersebut tidak sekali jadi. Keempat prinsip tersebut perlu dilatih terus-menerus dalam hidup sehari-hari. Dengan usaha tersebut, dapat terbetuk modo de proceder (cara bertindak) kita dalam mereguk hidup harian kita yang penuh warna dan tantangan.
Melihat konteks di tengah pandemi ini, tentu membuat bebagai pihak bersedih. Tidak sedikit perusahaan yang gulung tikar dan berimbas kepada para pekerjanya. Para pemimpin gundah gulana . Roda ekonomi tersedak, entah dalam tataran pribadi maupun komunal.
Kendati demikian, banyak orang juga mengambil peluang di tengah ketidakpastian ini. Muncul berbagai kebaruan, entah dalam bentuk usaha-usaha luring maupun daring. Lalu, apakah keempat prinsip kepemimpinan yang Lowney tawarkan dapat digunakan sebagai pegangan kita di dalam situasi seperti ini?
Dengan membaca buku ini, kita dapat belajar dan semakin yakin bahwa kepemimpinan itu berawal dari diri sendiri. Setiap orang adalah pemimpin, seminimal mungkin pemimpin bagi dirinya sendiri. Hanya orang yang dapat memimpin dirinya sendiri yang nantinya dapat memimpin orang lain. Kita tidak sekadar menjadi pengumbar kata-kata manis, tetapi teladan dengan apa yang kita pilih dan lakukan. Cinta lebih diamalkan dalam tindakan daripada kata-kata belaka, kata St. Ignatius.
Seperti apa yang Laksamana William H. Mcraven gemakan dalam pidatonya yang sempat viral, “Jika Anda ingin mengubah dunia, mulailah dengan menata tempat tidurmu.” Kepemimpinan itu dimulai dari sendiri, bahkan dimulai di saat kita bangun pagi. Dari tingkat yang amat sederhana, kita memimpin diri kita mau bangun atau tidak, mau melipat selimut atau tidak, dan seterusnya. Mulai dari hal-hal yang sederhana itulah perlahan-lahan kita membangun masa depan yang penuh harapan, yang terisi dengan sikap heroik kita bersama Tuhan, yang terwujud dalam pelayanan pada sesama.
Pada tahun 2021, bersama banyak rekan di dalamnya, “perusahaan” yang menggunakan nama Yesus ini membuka peringatan 500 tahun peristiwa pertobatan Ignasius, sang pemimpin korporasi. Pertobatan personal Ignatius ini menjadi titik pijak perubahan orientasi hidupnya. Seperti Inigo yang mulai mengalami pertobatan personal lewat membaca buku di Loyola, mungkin buku ini dapat membantu proses pertobatan pribadi kita secara berkesinambungan. Semoga empat prinsip kepemimpinan ini membentuk para pembaca sebagai pemimpin yang semakin penuh dalam cinta dan rahmat-Nya.