Mater Dolorosa
Novel “Yesus” karya Walter Wangerin, Jr. hadir di tanganku pada masa Prapaskah tahun 2017. Bukannya aku ingat persis tanggalnya, hanya saja di halaman pertama buku itu tertulis penanda waktu di bawah tanda tangan yang jadi kebiasaanku setiap membeli novel. Aku ingat lagi novel ini, ketika dalam retret di awal Mei 2024 lalu. Saat itu aku menyimak penjelasan tentang Maria, Bunda yang Berdukacita, Mater Dolorosa. Tak butuh waktu lama mencari buku ini lagi di dalam lemari, meski lembarannya telah agak menguning. Tujuh tahun aku tidak membukanya.
Di lembar-lembar yang menguning itu, aku tengok kembali kisah yang dituangkan dari Injil, dengan unsur dramatis yang tidak perlu menjadi fokus utama, tentang kehidupan Yesus dari sudut pandang dua orang terdekatnya: Bunda Maria dan Yohanes rasul.
Dalam tradisi Katolik, Bunda Maria punya beberapa gelar oleh gereja. Namun, “Bunda Berdukacita” rasanya baru sekali ini kudengar—dan ternyata dalam liturgi diperingati setiap tanggal 15 September.
Apa yang membuat sang Bunda berduka?
Sukacita dan Dukacita
Dari novel “Yesus”, aku paling terkesan pada penggambaran momen hadirnya Yesus ke dunia dan betapa Maria sungguh sangat bersukacita di malam kelahiran itu. Kita tahu dari Injil bahwa bala tentara surga, para malaikat, berkidung penuh sukacita waktu itu. Berkat deskripsi dan emosi yang dikisahkan di novel, aku jadi bisa membayangkan kebahagiaan yang sama di hati para ibu yang telah mengandung dan melahirkan seorang bayi. Bahkan dalam Injil sendiri ada disebutkan dalam Yohanes 16:21 (TB), “Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia.”
Namun, sukacita yang meluap-luap yang dirasakan Maria setelah Putranya lahir itu tak berlangsung lama. Segera setelah Yesus lahir, mereka sekeluarga lari ke Mesir untuk menghindari perburuan oleh Herodes. Kemudian Maria seolah ditikam dukacita saat Simeon bernubuat tentang Yesus pada hari Dia dipersembahkan di Bait Allah: “… dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri.” Yesus kecil berumur dua belas tahun hilang dan dicari-cari, membuat Maria (dalam novel) sangat panik dan ingin marah. Dukacita lainnya beriringan dengan jalan salib Yesus ke Golgota, hingga saat Dia wafat, lambung-Nya ditikam, jenazah-Nya diturunkan, dan dikuburkan.
Bahkan sesungguhnya, lebih jauh lagi sebelum Yesus hadir ke dunia, kabar dari Malaikat Gabriel bisa dibilang adalah sebuah kabar dukacita bagi Bunda. Maria akan mengandung, padahal dia belum bersuami. Kalau kata orang zaman sekarang, berita itu bakal jadi viral nan sensasional! Apalagi ketika pada akhirnya, Maria memandang Yesus yang mati di kayu salib. Dukacita macam apa yang sebanding dengan melihat Putera yang dikandung harus mati secara begitu? Hidup Maria adalah hidup penuh dukacita.
Orang Terdekat
Sudut pandang lain dari Novel “Yesus” selain dari Bunda Maria adalah dari murid yang dikasihi-Nya. Yohanes, rasul dan penginjil, tidak menyebutkan namanya dalam cerita itu namun bisa diketahui dari kutipan-kutipan di sana-sini dan bahkan pamungkas yang serupa dengan Injil Yohanes tentang “akulah murid yang memberi kesaksian, dan kesaksian itu benar” serta “ada banyak hal lain yang dilakukan Yesus; tetapi jika semua yang dilakukan Yesus ditulis, aku tidak yakin dunia ini dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.” Bagian penutup Injil Yohanes ini, meski sudah dibaca berkali-kali, tetap selalu menghadirkan perasaan haru yang begitu agung di hatiku tiap membacanya lagi. Dan siapa yang bisa mengetahui semua hal lain yang dilakukan Yesus yang tidak termuat dalam Injil itu, kalau bukan orang-orang terdekat-Nya?
Mukjizat Yesus yang pertama terjadi pada pesta perkawinan di Kana, dan itu atas permintaan Bunda Maria yang sempat ditanggapi oleh Yesus, “saat-Ku belum tiba.” Maria sebagai ibu-Nya dan sebagai orang yang juga dekat dengan pihak keluarga pengantin yang dirayakan itu, telah menutupi sesuatu yang berpotensi jadi aib memalukan dengan kuasa Yesus.
Kematian orang yang dikasihi biasanya membawa dukacita. Itulah yang dirasakan Maria dan Yohanes, sepenanggungan menghadapi wafatnya Sang Putera dan Guru yang terkasih. Bisa dibilang dua orang ini memang yang paling dekat, paling intim relasinya dengan Yesus sepanjang hidup. Maria dalam novel itu memanggil Putranya dengan nama kesayangan, Yeshi. Bahkan saat Yesus meregang nyawa di salib, Maria dan Yohanes ditunjuk oleh-Nya menjadi ibu dan anak satu sama lain (Inilah anakmu – Inilah ibumu). Penggambaran kedekatan mereka terhadap Yesus dan satu sama lain inilah yang kemudian mengingatkanku lagi, apakah aku sudah dekat dengan Yesus?
Hampir setiap hari aku membaca Alkitab; tapi apakah aku sudah betul-betul paham akan firman-Nya? Mungkinkah aku hanya rutin membaca untuk menggugurkan rasa tanggung jawab baca Alkitab tanpa benar-benar mencoba dekat pada Tuhanku?
Apakah saat aku berdoa, aku benar-benar mendengarkan suara-Nya?
Apakah saat aku beraktivitas, aku benar-benar merasakan kehadiran-Nya?
Pertanyaan demi pertanyaan pun berlanjut bahkan setelah novelnya tamat kubaca.
Teladan
Ada disebut dalam Kitab Amsal, “hati yang gembira adalah obat yang manjur.”
Sepanjang hidupnya yang penuh dukacita, Bunda Maria adalah teladan kesetiaan dan kerendahan hati. Dalam hidup yang penuh lara, Bunda Maria bertahan oleh karena imannya. Iman itu adalah pelipur yang membuat hatinya bisa tetap gembira meski menjalani berbagai lara. Dia tetap setia menapaki jalan penderitaan sampai akhir, karena dia adalah hamba Tuhan yang percaya. Terjadilah pada Maria seperti yang telah dikatakan Malaikat Gabriel.
Bunda Maria adalah teladan dalam percaya pada kehendak Allah, dengan berani menjawab “Ya” baik pada saat bergembira maupun saat sedang menderita. Kita percaya bahwa dukacita mendahului kemenangan, sebagaimana Yesus yang akhirnya bangkit dari kematian.
Dengan sifat kemanusiaannya, bisa dikatakan Bunda Maria adalah sahabat seperjalanan kita, sama-sama pernah tahu rasanya sukacita dan dukacita. Marilah kita serahkan seluruh perjalanan hidup kita kepada Bunda, seolah mengulangi kata-kata Puteranya sendiri: ”Ibu, inilah kami anak(-anak)mu!”
Stefani Sisilia Handoyo
Stefani Sisilia Handoyo alias Sisil adalah seorang “pembelajar seumur hidup” yang senang menulis. Punya nama pena Roux Marlet di Wattpad dan platform menulis lainnya, sebagian besar fiksi penggemar. Manusia Joglosemar karena lahir di Semarang, pernah kuliah di Jogja, domisili saat ini dan paling lama tinggal di Solo.