Beberapa pekan yang lalu, tepatnya sebelum misa Minggu Palma, aku memutuskan untuk menonton film berjudul ‘Silence’. Saat itu menjadi kali keduaku menonton film tersebut. Film tersebut menceritakan tentang perjalanan misionaris Jesuit dari Portugal ke Jepang untuk mencari mentor mereka yang dirumorkan telah murtad dari agama Katolik. Di sisi lain, mereka juga sekaligus menjalankan misi untuk menyebarkan agama Katolik di Jepang. Sepanjang film tersebut, atensiku terfokus pada salah satu tokoh bernama ‘Kichijiro’. Diceritakan melalui film tersebut bahwa ia mengantar kedua misionaris tersebut dari Portugal hingga ke Jepang. Pada awal adegan, ia digambarkan sebagai seorang peminum berat yang tinggal sebatang kara dan tidak mengurus dirinya sendiri. Kichijiro dahulunya adalah seorang Katolik namun digambarkan di awal cerita bahwa ia telah murtad sedangkan seluruh anggota keluarganya yang memilih setia pada iman Kristiani berakhir dieksekusi oleh para inkuisitor Jepang. Aku sendiri merasakan bahwa di bagian awal scene, kehadiran kedua misionaris tersebut kepada Kichijiro nampak menggerakkannya untuk kembali lagi beriman kepada Kristus.
Dua Sisi Koin
Sepanjang cerita, ditampakkan bahwa Kichijiro beberapa kali menyangkal imannya (murtad) di depan para eksekutor Jepang. Ia berulang kali melarikan diri. Hal lain yang membuatku kesal terhadap perbuatan penyangkalan Kichijiro ini adalah karena ia telah berulang kali memohon pengampunan dosa dari salah seorang misionaris bernama Rodrigues, tetapi setelah mendapatkan pengampunan, ia justru mengulangi kembali perbuatannya (menyangkal imannya). Aku menggambarkannya sebagai sebuah siklus: berdosa – mohon pengampunan – berdosa lagi – mohon pengampunan lagi – berdosa lagi, dan seterusnya. Bahkan Kichijiro juga mengkhianati Rodrigues demi uang dan menyelamatkan dirinya sendiri sehingga menyebabkan misionaris tersebut pada akhirnya tertangkap oleh pihak Jepang. Jujur sekali, aku sangat kesal dengan sosok Kichijiro dalam film tersebut. Bagiku, ia adalah sosok yang tidak konsisten dan juga seorang pengecut. Namun, ada hal yang aku anggap sebagai suatu ‘keanehan’ dari sosok Kichijiro: bagaimana ia bisa tidak tahu malu? Ia beberapa kali menyangkal dan mengkhianati imannya, juga kepada Padre Rodrigues. Tetapi mengapa Kichijiro dengan gigih masih terus mengikutinya dan mengejarnya hingga mengelilingi Jepang bahkan hingga Padre Rodrigues tertangkap dan dipenjara? Aku menggambarkannya seperti dua sisi koin. Pada satu sisi Kichijiro bisa dibilang sebagai seorang pengikut yang setia. Namun di sisi lain, ironisnya, ia juga merupakan seorang pendosa— seorang pengkhianat.
Kichijiro dan peristiwa Minggu Palma merupakan cerminan diriku
Aku merefleksikan kisah tersebut hingga hari Minggu Palma tiba. Ketika perarakan masuk, umat mengangkat daun palma sambil menyanyikan, “Yerusalem, lihatlah Rajamu” Namun ada perasaan ‘nyesek’ yang timbul dalam hatiku. Aku tiba-tiba teringat pada refleksiku tentang Kichijiro. Bagiku kisah Kichijiro dan Minggu Palma adalah sebuah ironi; mengenai bagaimana orang banyak yang digambarkan menyambut Yesus sebagai Raja ketika memasuki Yerusalem dengan menyorakkan ‘Hosana’, kemudian dengan cepatnya berubah menyorakkan ‘Salibkan Dia’ hanya dalam jarak beberapa hari. Saat itu aku menyadari, bahwa Kichijiro dan peristiwa di Minggu Palma adalah cerminan diriku. Sama seperti Kichijiro, aku adalah seorang pendosa, yang merindukan pertobatan. Lalu setelah mendapatkan pengampunan, aku tergoda lagi untuk berbuat dosa. Begitu mudahnya manusia berpaling dari Tuhan. Selama memasuki Pekan Suci, aku merefleksikan kembali tentang kisah Kichijiro: sebenarnya apa yang membuatnya kembali lagi kepada Tuhan setelah berulang kali berpaling dari-Nya? Aku mengembalikan pertanyaan tersebut ke dalam diriku, ‘apakah aku takut masuk neraka ataukah aku merasa tidak tenang sehingga aku menginginkan validasi dengan ingin segera melakukan pertobatan?’ Melalui pertanyaan tersebut, timbul sebuah permenungan dalam diriku hingga di mana ketika memasuki Tri Hari Suci, aku mulai bisa menemukan dan menyambungkan puzle-puzle tersebut.
Mengizinkan-Nya untuk membasuh diriku
Ibadat Kamis Putih merupakan salah satu dari rangkaian Tri Hari Suci yang paling bermakna buatku pribadi. Peristiwa pembasuhan kaki oleh Yesus mengajarkanku untuk memberikan diri sepenuhnya dengan rendah hati dan melepaskan kesombongan serta keagungan diri. Melalui peristiwa tersebut pula, Ia juga mengajarkan untuk memberikan pengampunan melalui peristiwa Yesus yang turut membasuh kaki Yudas Iskariot, murid yang mengkhianati-Nya. Apakah Tuhan kecewa dengan umat-Nya yang berulang kali memohon pertobatan namun kembali berbuat dosa? Pertanyaan refleksi tersebut pada satu titik membuat diriku merasa malu dan bersalah. Perasaan tidak berdaya membuatku merasa tidak layak menerima pengampunan terus-menerus. Namun, sebuah homili dari seorang romo mengenai peristiwa pembasuhan kaki pada perjamuan malam terakhir telah berhasil menguatkan dan membuka pandanganku. Kaki kerap kali diasosiasikan sebagai bagian tubuh yang kotor karena menapak pada tanah atau lantai. Peristiwa pembasuhan kaki yang dilakukan oleh Yesus berarti membiarkan Yesus masuk ke dalam bagian hidup yang ingin kita sembunyikan—yang sering kita anggap ‘kotor’ tersebut. Kita kerap kali merasa malu pada dosa-dosa, pengalaman luka, kerentanan, bagian gelap dalam hidup kita. Akan tetapi, Yesus ‘memaksa’ masuk ke dalam bagian yang kita sembunyikan dan membangun relasi dengan diri kita. Mengizinkan Tuhan untuk masuk ke dalam bagian tersembunyi dari hidup kita dan membiarkan-Nya membasuh serta mensucikan ‘kembali’ diri kita.
Bangkit bagiku adalah sebuah pembaharuan hidup
Pengendapan tersebut juga kembali mengingatkanku lagi tentang refleksiku terkait Kichijiro yang telah beberapa kali berbuat dosa namun tetap setia mengikuti Padre Rodrigues dalam perjalanannya. Mengapa Kichijiro dengan gigih masih terus mengikutinya dan mengejarnya hingga mengelilingi Jepang bahkan hingga Padre Rodrigues tertangkap? Aku dan seorang teman saling membagikan pemikiran kami terkait hal ini. Sosok Kichijiro yang dengan kelemahan dan kerapuhannya ‘berusaha’ untuk menemani kemanapun misionaris tersebut pergi. Ia mungkin telah berulang kali berbuat dosa, juga telah berulang kali diampuni. Sama seperti diriku ketika pada malam tuguran dan dalam jalan salib, ada keinginan dan niat untuk menemani Yesus menjalani sengsara-Nya hingga wafat di salib. Memandang diriku sebagai pribadi yang tidak luput dari dosa dan merindukan pertobatan. Mungkinkah apa yang ada di dalam hati tokoh Kichijiro juga demikian? Wafat dan kebangkitan-Nya telah membawaku kepada sebuah kerinduan akan pertobatan sejati yang membuka hatiku untuk tetap setia mengikuti-Nya. Lantas, apa makna ‘bangkit’ bagiku? Bagiku bangkit adalah pembaharuan hidup. Sebuah niat dan aksi personal untuk meninggalkan cara hidup lama dan dengan penuh iman pengharapan menjalani cara ‘hidup baru’. Makna ‘bangkit’ untukku juga ditunjukkan melalui keberanian untuk mau menghindari dosa dan tetap setia kepada-Nya. Dalam kenyataannya, mungkin hal ini akan sulit untuk dilakukan, sama seperti tokoh Kichijiro, aku pun juga demikian kembali berdosa walaupun sudah mendapatkan pertobatan. Namun bagiku, disitulah kesetiaan kita pada-Nya diuji. ‘Semakin kita dekat pada-Nya, semakin kesetiaan kita akan diuji,” ujar seorang teman. Maka, terdapat pertanyaan refleksi untuk kita semua sebagai penutup: Maukah kita meninggalkan cara hidup lama dan bangkit dari dosa serta situasi kedosaan kita? Bersediakah kita untuk dibasuh kembali oleh-Nya?
Yogyakarta, 8 April 2024
Ditulis oleh Patricia
Patricia Nastiti Dewi (Patricia)
Magis Yogyakarta Formasi 2022
Seorang mahasiswa Psikologi yang akhir-akhir ini suka mendengarkan lagu-lagu Hindia sebagai salah satu koping stres 😀