Berjalan Bersama Dunia, Ignatius dan Latihan Rohani (1)

1. Prolog : Perjalanan di Tengah Dunia

Perputaran roda kesibukan orang-orang muda di dunia masa kini, apalagi di ibu kota dan sekitarnya, memicu beragam gejala yang tidak sepele. Kelelahan, kepanikan, kecemasan, deadline kuliah maupun kantor menumpuk– yang singkatnya bikin pusing tujuh keliling merupakan rentetan ruji implikasi kesibukan  yang kadang  membuat kita hampir tidak bisa tidur. Tak dapat dipungkiri, justru kita terasing di tengah keramaian. Kadang kita berusaha tersenyum di balik beratnya pekerjaan yang kita emban. Kadang kita tersenyum manis di balik pahitnya hidup. Singkatnya, kalau kurang mawas diri, orang-orang masa kini sangat mudah “hilang –makna”, hidup bak rutinitas harian yang begitu-begitu saja. Pagi, siang, malam, berputar dan begitu-begitu saja, tanpa makna, tanpa tujuan.

Lantas mungkin kita merasionalisasi, “Lha mau gimana lagi? Ini namanya hidup, biar mengalir saja.” Akan tetapi, di balik kesibukan itu masihkah kita memperoleh makna? Masihkah kita dapat menjaga keseimbangan hidup kita, work-life balance atau study-life balance kita? Kabar baiknya, kita memiliki kehendak bebas untuk memilih hidup kita mau bagaimana, tidak sekadar mengalir bak air  yang mengikuti arus sungai. Bukan bermaksud untuk menjauh dari dunia, melainkan justru berjalan bersama dunia dengan kacamata pemaknaan yang baru.  Tulisan ini mencoba, atau setidaknya memantik kita untuk mawas diri kita, berjalan bersama dunia yang carut-marut dengan “berjalan bersama” Ignatius dalam tonggak-tonggak utama hidupnya serta memaknai arti-penting Latihan Rohani.

 

2. Berjalan bersama Ignatius : Roma Kiblat Kita

Tak habis-habisnya kita dapat belajar dari seorang tokoh bernama Ignatius Loyola. Mengapa tidak? Sepanjang  lima abad, banyak orang terinspirasi dengan kesaksian hidup St. Ignatius ini. Beberapa di antaranya Frans-Magnis Suseno, Yanuar Nugroho, Karlina Supelli, B. Herry-Priyono, Chris Lowney, James Martin, Kardinal Avery Dulles, hingga Paus Fransiskus, dan masih banyak lagi. Dalam sebuah audiensi, Paus Fransiskus pernah berkata bahwa kesaksisan hidup St. Ignatius menunjukan kepada kita “di dalam kisah-kisahnya, narasi dan caranya yang dapat dipahami, kita dapat melihat cara Tuhan berjalan di dalam hidup Ignatius itu tidaklah begitu berbeda dengan hidup kita”. St. Ignatius merupakan teladan yang sangat realistis, sebuah teks yang dapat hidup dalam konteks hidup kita masing-masing, sesuai kondisi dan situasi kita. Dalam buku “Wasiat dan Petuah St. Ignatius Loyola”, sebuah narasi otobiografi Ignatius yang ditulis oleh sekretaris pribadi Ignatius yaitu Luis Gonçalves da Camara, kita dapat merasa, melihat, dan mengambil sikap dari setiap perjalanan Ignatius Loyola. Berpijak dari dirinya yang masih serba duniawi, perlahan-lahan semakin mengenal dirinya, sesama, dan Tuhannya. Singkatnya, dalam kaca mata spiritualitas dalam kisah Ignatius Loyola kita juga dapat melihat tahapan kerohanian kita, baik beginner, intermediate, upper-intermediate hingga advance. 

Salah satu yang sangat menginspirasi dari Ignatius Loyola adalah sikapnya yang selalu visioner. Ia berani menatap masa depan dengan tajam bak rajawali yang terbang dari kejauhan siap memangsa mangsanya. Visi Ignatius Loyola yang memuncak di Roma tentu melalui proses jangka panjang, tidak instan. Di Roma, Ignatius diceritakan sudah menjadi pribadi yang matang dan secara spiritual dia sudah dapat membedakan roh dan melakukan kehendak Tuhan melampaui kehendak-kehendak pribadinya. Persis ini visi ter-ideal yang ingin kita tuju. Akan tetapi, secara realistis kita juga menyadari disposisi-disposisi kita yang tidak seideal itu—mungkin kita masih berada di Loyola, mungkin kita masih serba-beginner dalam hidup rohani. Mungkin juga kita masih ada di Manresa. Kalau sudah di Roma ya syukurlah, tapi nampaknya terlalu naif! Jadi, sekali lagi, akan ada visi yang kita arah, yakni Ignatius di Roma yang dasarnya ia peroleh dalam penampakan “Yesus yang memanggul salib dunia” di La Storta. Terlepas dari diri kita yang serba tidak ideal, kita bersama mengarah ke sana: Roma bak peribahasa populer “banyak jalan menuju Roma”. Kita berjalan bersama ke kiblat kita, yakni “Roma” dengan jalan-jalan hidup kita yang kita lalui secara khas dan personal.

 

3. Sekilas dari Inigo ke Ignatius 

Ilustrasi : https://www.youtube.com/watch?v=Y1Rl0twqTL4&t=7s (St. Ignatius Loyola- Loyola Press, 3:45 menit)

Di Roma, Ignatius digambarkan sebagai pribadi yang jauh sudah lebih mapan dengan dirinya, sesama, dan Tuhannya. Seperti dasar kata “Ignatius”, yakni ignis yang berarti api—Ignatius sendiri di tahap dirinya yang sudah advance dalam hidup rohani, nyala api rohaninya karena Tuhannya sudah membara dalam diri terdalamnya dan dapat disalurkan ke orang-orang sekitarnya. Ini dapat ditunjukan melalui buku Latihan Rohaninya yang diterima secara resmi oleh Gereja Roma dan dapat menginspirasi banyak orang untuk dapat berjalan bersama Tuhan, mengalami-Nya secara personal dan mendalam. Selain itu, Ia juga mendirikan Serikat Jesus, sebuah ordo religius yang bahkan sampai abad ke-21 ini masih bertahan dengan anggotanya sekitar 14 ribu di seluruh dunia. Tak terlupakan juga, kita dapat menggali kisah bagaimana Ignatius memimpin Fransiskus Xaverius untuk berjalan-jalan ke seluruh dunia mewartakan kabar gembira, Petrus Faber untuk menjadi bagian dalam Konsili Trento di tengah gempuran kritik terhadap Gereja Katolik kala itu. Singkatnya, Ignatius sudah menjadi pribadi yang keluar dari dirinya, berpartisipasi dalam Gereja dan dunia dalam terang Tuhan yang sudah dia latih dalam proses jangka panjang dalam tonggak-tonggak hidupnya.

Dari Ignatius kita menarik ke belakang menuju Inigo, nama panggilan yang diidentikkan oleh beberapa ahli, sebagai situasi dan kondisinya dirinya yang masih serba-beginner dalam hidup rohani. Di awal kisah dalam otobiografinya, ada kisah yang sangat disukai sebagian besar orang muda—titik pijak perubahan besar Inigo justru dimulai ketika dengan penuh kesadaran Inigo pernah hidup serba duniawi yang penuh dengan kelekatan tak teratur hingga akhirnya memuncak dalam hasrat-besarnya untuk menaklukkan Prancis dalam perang yang tujuan sebenarnya adalah untuk memenangkan hati si permaisuri idamannya, Catalina. Dengan kata lain, Inigo juga ingin panjat sosial, bermula dari dirinya sebagai ksatria kelas bawah. Akan tetapi, persis dalam dunia yang serba duniawi ini, Tuhan perlahan-perlahan menyapa Inigo justru dalam situasi dan kondisi yang tidak mengenakkan (yang sebenarnya ulah bodoh Inigo sendiri dengan ratusan tentara Spanyol, sudah tahu melawan belasan ribu tentara Prancis, tetap saja maju). Alhasil, peluru meriam menghantam kaki Inigo sampai terluka parah, sekarat hampir mati. Inigo pun mulai mereorientasikan hidupnya.

Di tengah perubahan Inigo menjadi Ignatius yang titik pijaknya peristiwa di Loyola itu, ada proses jangka panjang yang dilaluinya. Sekali lagi, perubahan Ignatius itu tidaklah instan seperti halnya memasak indomie. Sebagai peziarah (sebuah istilah yang sering dipakai da Camara menggambarkannya), ia berjalan dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu: Loyola, Montserrat, Manresa, Yerusalem, Barcelona, Salamanca, Paris, hingga memuncak di Roma. Bermodal dengan kedua kakinya yang salah satunya pincang, ia berjalan melewati lembah-lembah, memasuki kota-kota, menyusuri sungai, mengunjungi tempat-tempat penampungan, mengemis di jalan, menginap di tempat orang, belajar di universitas ternama kala itu, hingga akhirnya duduk sendiri dalam sunyi-senyap di kantornya di Roma. Dalam perjalanan itu, ia berproses jatuh-bangun, seperti kata Tan Malaka “(Inigo) terbentur… terbentur… terbentur… hingga akhirnya  terbentuk (menjadi Ignatius sebagaimana kita kenal saat ini).”  Tidak hanya perjalanan fisik yang dia lalui dan memang bukan pertama-tama itu, melainkan perjalanan spiritual Inigo alami sebagai beginner hingga menjadi advance sebagai Ignatius. Persis dalam proses jangka panjang inilah, sang peziarah menemukan sebuah ‘sarana’ luar biasa yang disebut sebagai Latihan Rohani. Lantas, bagaimana Latihan Rohani itu?

(bersambung..)

 

REFERENSI

A.Tetlow, Joseph. Choosing Christ in the World: Directing the spiritual exercises of St. Ignatius Loyola according to annotations eighteen and nineteen, Boston: The Institute of Jesuit Source, 2015.

Coleman, Gerarld. Walking with Inigo, Gujarat: Gujarat Sahitya Prakash, 2005.

Gonçalves Da Camara, Luis. Wasiat dan Petuah, Tom Jacobs (penerj.), Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996.

Martin, James. Jesuit Guide to (almost) everything: A spirituality for real life, New York: HarperCollins Publisher, 2012.

Sardi, L.A. Berani mengambil keputusan: 14 langkah berani ambil keputusan, Yogyakarta, Basis, 2020.

Sindhunata, Anak-Anak Ignatius: Kontemplasi dalam Aksi, Jakarta: Gramedia, 2022.

Sosa, Arturo. Walking with Ignatius, Boston: Loyola Press, 2021.

Pope Francis uses St. Ignatius of Loyola as an example of discernment, Youtube: Rome report in English, 7 September 2022, https://www.romereports.com/en/2022/09/07/pope-francis-uses-st-ignatius-of-loyola-as-an-example-of-discernment/

Martin, James. St. Ignatius of Loyola : A (very) brief bio, America Magazine, 31 Juli 2012, https://www.americamagazine.org/faith/2012/07/31/st-ignatius-loyola-very-brief-bio


A A Ferry Setiawan

Ferry adalah seorang skolastik Jesuit yang sekarang berkomunitas di Kolese Hermanum. Saat ini, Ferry bertugas sebagai pendamping di Magis Jakarta Formasi 2023. Sehari-hari, banyak waktu Ferry habiskan untuk membaca, menikmati musik jazz & menikmati pertandingan NBA.

 

 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *