Januari dan Teman Berbicara

Untuk kesekian kalinya, aku memutuskan tidak menghabiskan waktu natalku di Jakarta. Berbeda dengan kakakku yang berencana sebaliknya. Selain karena permintaan orang tua, aku memang sudah muak dengan keramaian ibu kota ini. Aku meninggalkan Jakarta dengan banyak agenda yang tidak dapat ku hadiri, agenda dari orang-orang yang cukup berarti dalam hidupku belakangan ini. Tapi itulah, aku selalu memahami bahwa kebanyakan keputusan memang memerlukan pengorbanan, entah besar atau kecil. Ini bukanlah hal saklek, tapi mungkin karena aku mengamininya sedemikian, jadi hampir setiap keputusan yang ku ambil ada  konsekuensinya.

Aku meninggalkan Depok, Jakarta, dan acara pelepasan direktur kantorku serta agenda bersama teman-teman sekitar pukul delapan malam menuju bandara, karena mengejar jadwal kereta bandara. Perjalanan itu berbekal kelegaan karena aku hampir menyelesaikan semua pekerjaanku dan juga sedikit kekecewaan karena tidak dapat hadir pada acara-acara tersebut. Aku menenangkan diriku dalam pemahaman bahwa perpisahan adalah hal yang biasa. Aku bisa mengucapkan selamat tinggal lewat pesan WhatsApp atau media sosial semacamnya, teman-temanku juga tidak akan hilang hanya karena aku melewatkan tahun ini tanpa menghadiri segala yang sudah direncanakan.

Memang terkadang diri sendiri bukanlah pendengar yang baik, juga ternyata sangat sulit mengontrol diri sendiri. Kegelisahan itu tetap ada, bahkan setelah semua alternatif itu ku lakukan. Mengucapkan selamat tinggal lewat pesan elektronik ternyata tidak sebanding dengan arti orang tersebut, serta betapa meriah dan hangat potret acara tersebut. Juga di sisi lain, jarak semakin terlihat antara diriku dan teman-temanku karena kejadian di masa lalu dan kali ini juga aku tidak memberikan waktu untuk bersama mereka.

Konsekuensi itu kutelan, tepat menginjakkan kaki di bandara tujuan. Aku berharap melalui ini, Tuhan lebih mendewasakan hatiku.

Bau asin yang dibawa angin laut memutar kembali masa kecil dan segala hal yang ku tinggalkan dalam pelarianku ke ibu kota. Hal ini selalu terjadi bagi seorang perantau, namun kepulangan tahun ini entah mengapa membuatku lebih melankolis daripada para peziarah yang merindukan rumah dalam pencarian mereka akan arti hidup.

-“Apakah aku melupakan sesuatu?” aku mencoba menggali ke dalam diri.

Liburanku kali ini ditemani beberapa buku karya Paulo Coelho dan pengarang lain yang secara acak aku beli. Sang Alkemis dan  Lelaki Tua dan Laut milik Ernerst Hemingway telah selesai menyiramiku dengan semangat menjalani hidup yang sekali ini dan memberiku ambisi untuk menaklukan tujuanku. Novel yang mengangkat isu klise, namun  tidak menyangka akan begitu berdampak dalam ingatanku.

“Manusia bisa dihancurkan namun tidak bisa ditaklukan” kata Pak Tua yang dengan ego dan ambisi dalam penaklukannya melawan ikan besar di hari senjanya itu. Sedangkan di lain kertas Paulo mengatakan bahwa “Setiap jamnya merupakan bagian dari impian menemui harta karun”. Kau bisa berhenti sekarang jika takut akan penderitaan dari perjuangan mencapai itu semua, namun hati dan imajinasimu akan terus berandai-andai tentang bagaimana jika kau berjuang dan mencoba lebih keras untuk mencapai itu semua. Sebab rasa takut akan penderitaan justru lebih menyiksa daripada penderitaan itu sendiri.

Aku sempat terjebak cukup dalam di perjuangan menggapai tujuan pada pertengahan tahun. Ada beberapa rencana yang sudah aku siapkan harus terwujud. Namun seperti kabar angin, bahwa memang manusia hanya mampu berencana dan berjuang. Hampir semua tujuan yang aku tetapkan tidak terwujud di tahun kemarin,   2023. Aku harap bisa melunasi itu semua di pertempuran tahun ini, agar tidak ada perandaian dan penyesalan pada hatiku di lain hari kelak.

Perjalananku hampir mencapai rumah setelah mengekang sedikit waktu untuk bersua dengan adikku. Kami masih canggung seperti biasa, namun kali ini lebih baik. Aku memang tidak sedekat itu dengan saudaraku yang lain kecuali kakak perempuanku, mungkin karena ayahku tidak pernah memberi contoh bagaimana kedekatan antarlelaki itu dibentuk. Apalagi di mataku, kedua adikku hanya segumpalan makhluk menyebalkan.

Aku datang dengan beberapa hal yang harus  terselesaikan dengan mereka. Tapi kali ini aku telah berjanji pada segenap hati, pikiran dan jiwaku bahwa tidak akan menjadi emosional. Aku mengambil sesi dalam beberapa kesempatan untuk berbicara kepada adikku yang paling kecil, karena memang dia yang sejauh ini paling bermasalah. Aku tau bagaimana pergaulannya di luar dan lingkungan tempatnya bergaul, bagaimana sering kali dia mengecewakan orang tuaku dan aduan-aduan itu diberitahukan padaku.

Terkadang, aku ternyata masih lepas kendali dan memarahinya secara berlebihan, terkadang aku berbicara dengannya lebih terbuka, dan mendengarkan beberapa cerita menarik darinya. Aku mengerti bagaimana betapa kesepiannya dia di rumah sejak kecil karena kedua orang tua kami bekerja dan dia sering dititipkan di rumah tetangga, sehingga teman dan pergaulannya sekarang adalah ruang paling menyenangkan yang dia punya. Jadi wajar sesekali lemah imannya dan terpengaruh dengan gelombang buruk dari pergaulannya.

Dalam satu sesi tanpa sengaja aku duduk dengannya yang kemudian dilengkapi dengan ibuku yang turut bergabung. Aku berdoa untuk kebijaksanaan hati dan pikiran pada Tuhan kali ini, semoga aku tidak menjadi emosional dan pembicaraan ini bisa mengubah dia menjadi lebih baik meskipun sedikit.

Di depan ibu, aku membicarakan tentang beberapa hal yang belum ibuku ketahui. Dan, ya, ibuku menjadi marah. Namun aku bisa membuatnya lebih reda dan cukup mendengarkan saja pembicaraan kami. Aku mencoba memvalidasi langsung semua hal  yang masih menjadi isu di kepalaku itu kepada adikku. Memang hal yang paling menyebalkan adalah dia seorang pendebat ulung seperti kakak perempuanku dan bapak. Itu yang sering membuat aku jengkel dan marah. Tapi kali ini aku tanggapi dengan santai namun menggunakan beberapa kata yang lebih tajam,

‘Matamu menunjukkan kekuatan jiwamu’-sang alkemis

Aku mencari kejujuran pada matanya, sambil menyerang hatinya. Begitulah yang aku pelajari selama dalam pelarian di ibukota. Kali ini dia lebih sedikit diam, aku melihat beberapa penyesalan dalam matanya, namun dia masih sedikit tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Lalu aku menusuk perasaannya dengan membahas bagian yang paling berarti baginya, teman-temannya. Dia mulai tidak mengelak, aku kemudian mulai mengajaknya berdamai dengan mengatakan bahwa aku tidak menyalahkan pergaulannya tapi aku menyalahkan dia yang menjadi lebih buruk karena pergaulannya. Aku menyalahkan dia, bukan teman-temannya. Kemudian dia mulai mendengarkan.

Aku melanjutkan sisanya ketika meyakini dia akan menyerapnya dengan baik.

Di akhir sesi, seperti yang diceritakan dalam Sang Alkemis aku perlu memastikan hatinya baik-baik saja. Aku bertanya apakah dia marah kepadaku karena pembicaraan ini, dan apakah dia menyimpan kekesalan.

Matanya berkaca-kaca sambil menggeleng pelan. Lalu aku mengizinkannya untuk merenungkan semua itu di kamarnya.

Itu adalah sesi terbaik milikku dan dia.

Di hari keberangkatanku kembali ke ibu kota, aku meminta izin ibuku untuk membiarkan adikku  yang mengantar diriku ke bandara. Hari itu aku memberi beberapa sentuhan di hatinya. Dia berterimakasih.

Kami melanjutkan perjalanan dengan sedikit pembicaraan terkait cerita kesehariannya. Di bandara, aku memberinya sedikit pengingat, kemudian pelukan dari seorang kakak laki-laki yang tidak pernah terjadi di masa remajanya. Dia pulang dengan ucapan terimakasih sekali lagi, namun kali ini dia tersenyum. Aku bangga pada diriku untuk saat-saat ini.

Aku pulang ke Jakarta, kali ini buku yang telah selesai kubaca adalah karya Paulo Coelho Di Tepi Sungai Piedra Aku Menangis dan Tersedu. Cukup indah dan menyayat, namun hatiku mengajakku berdiskusi mengenai rencana tahun ini. Aku meminta waktu pada-Nya, karena aku belum siap.

Kali ini aku berdoa untuk kebijaksanaan, kematangan, keteguhan, dan sedikit keberuntungan pada Tuhan untuk menghadapi Januari dan teman berbicaraku itu.

 


Stepanus Igo Kewa

Merupakan seorang dari kalangan pekerja. Menyukai novel, musik dan sastra yang berbau lawas.

 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *