Skripsi sebagai Latihan Rohani

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Sudah satu semester ini saya berjuang dalam penulisan skripsi. Saya amat bersyukur dengan segala proses jatuh bangun menulis skripsi. Tidak disangka bahwa dalam proses pengerjaan tersebut bisa menjadi momen rohani, perjumpaan antara saya dengan diri saya sendiri secara autentik, dan juga relasi dengan Tuhan. Skripsi yang bagi banyak mahasiswa menjadi fenomena menegangkan di akhir kuliah, bagi saya menjadi momen mengolah hidup rohani. 

Apa itu latihan rohani?

Barangkali kita bisa bertanya, apa itu latihan rohani? St. Ignatius dalam buku Latihan Rohani menjelaskan bahwa sebagaimana tubuh memerlukan latihan fisik, jiwa juga membutuhkan latihan rohani (Latihan Rohani No. 1). Secara singkat, latihan rohani mirip seperti olahraga bagi tubuh supaya sehat. Bagi Ignatius jiwa kita perlu untuk diberi ‘olahraga’ agar tetap waras. 

Agaknya latihan bagi jiwa atau bagi kerohanian manusia itu mirip dengan ungkapan Yesus sendiri dalam beberapa kutipan Injil. Yesus menjelaskan bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, melainkan juga dari firman. Firman dalam hal ini bisa ditafsirkan sebagai sabda Tuhan yaitu Yesus sendiri. Kehidupan rohani orang Katolik dengan demikian adalah sebuah relasi dengan Yesus sendiri, melalui doa dan melaksanakan setiap sabda-Nya. (Mt 4:1-11; Lk 4:1-13 dan Mk 1:12-13). 

Mengapa jiwa perlu dilatih?

Dalam dunia dewasa ini, ada fenomena yang makin umum terjadi yakni masalah kesehatan mental yang disebabkan hustle culture, workaholic, bore out, burn out, dsb. Orang mengalami tingkat kecemasan yang tinggi, mudah panik, dan stres akibat beban pekerjaan. Kesibukan tidak jarang menjadi standar gaya hidup masyarakat urban. Tidak jarang orang lalu mengalami keletihan, yang barangkali tidak bisa disembuhkan hanya dengan memperbanyak liburan, hang out, scrolling gambar dan video lucu, bukan pula dengan menambah porsi tidur.

Bahkan keletihan mental ini tak jarang membawa orang jatuh pada adiksi yang tidak sehat. Bisa berupa kecanduan belanja online, game online, narkoba, pergaulan bebas, seks bebas, pornografi, dll. Mungkin ini adalah stress-coping yang paling gampang dilakukan oleh kita kebanyakan. Padahal, salah satu bentuk penyembuhan bisa dilakukan dengan mengubah gaya hidup kita dengan memberi waktu untuk hening dan bermeditasi.

Hal yang ingin saya katakan adalah bahwa hidup itu ternyata bukan sekadar memberi makan dan minum pada tubuh fisik, tetapi jiwa kita pun perlu diberi makan. Jiwa membutuhkan makanan rohani seperti waktu untuk menyendiri dalam keheningan, membaca buku-buku, sharing yang mendalam (percakapan rohani), berefleksi, jurnaling, dll. Latihan rohani dengan demikian membutuhkan ruang dan waktu tersendiri. Pada bagian selanjutnya, saya akan mencoba menceritakan mengapa hal-hal rohani ini penting, terkhusus selama saya menulis skripsi. 

Skripsi bisa menjadi latihan rohani?

Sebagai mahasiswa tingkat akhir, skripsi menjadi salah satu syarat wajib untuk kelulusan (meskipun bukan satu-satunya). Oleh karena jumlah SKS yang diambil sudah cukup, maka mata kuliah yang diambil pun semakin sedikit. Dengan demikian, banyak waktu kosong selama dua semester yang bisa dimanfaatkan untuk menulis skripsi. Dengan kata lain, waktu skripsi seperti meluangkan waktu untuk retret karena berjumpa dengan keheningan. 

Dari sinilah tantangan pertama dimulai. Tantangan ini adalah manajemen waktu. Bila setiap hari selama seminggu saya memiliki rutinitas untuk mengikuti kuliah, membaca, dan menulis paper, kini saya dihadapkan pada kebebasan untuk mengatur waktu semau gue selama hampir satu tahun. 

Mungkin hal ini terlihat aneh, diberi kebebasan kok malah mengeluh. Apa masalahnya? Masalahnya terletak pada tanggung jawab. Apakah seseorang bisa bertanggung jawab atas kebebasan yang ia miliki? Kebebasan selalu terkait dengan tanggung jawab. Dalam kasus saya, tanggung jawab yang harus saya pikul adalah bagaimana saya bisa menyelesaikan skripsi tepat waktu dengan nilai yang memuaskan. 

Tantangan kedua adalah komitmen. Setelah menyusun strategi dan jadwal untuk ‘bekerja’ tibalah saatnya untuk membangun habitus kerja itu sendiri. Saya merencanakan bekerja efektif selama 6 jam sehari untuk membaca dan menulis. Akan tetapi, komitmen ini tidak selalu bisa dilakukan. Bahkan ada saat-saat ketika saya tidak bisa menulis skripsi karena pikiran saya macet. Belum lagi momen-momen ketika jadwal tidur berubah karena terlalu banyak pikiran hingga perubahan pola makan. Ekspektasi dan rencana yang tidak bisa selalu berjalan dengan mulus. 

Pada momen-momen seperti ini, saya beruntung karena sejak awal saya diajak untuk membangun paradigma bahwa skripsi bisa menjadi latihan rohani. Dinamika naik maupun turun yaitu kelancaran maupun kemacetan ketika menulis tidak luput dari refleksi dan meditasi.

Saya mengalami bahwa selama menulis skripsi, saya berjumpa dengan diri saya yang autentik. Saya mengenal berbagai macam pelarian dari tugas utama, dari yang paling buruk hingga yang kelihatannya suci. Mulai dari game online, konsumtif terhadap barang-barang, eksesif terhadap makanan, hingga pelarian dengan memberi retret atau mengisi acara tertentu, dst. Namun, tidak jarang saya berani untuk mengorbankan kesenangan dan kenikmatan sesaat untuk skripsi, misalnya saja menolak untuk diajak ketemuan atau hang out, puasa terhadap media sosial, olahraga, dan mengatur pola makan. 

Di sini tampak bahwa ada proses pembedaan roh atau discernment. Saya makin memahami sifat-sifat roh jahat yang suka menggoda dan menjatuhkan, baik dalam rupa kesenangan sesaat, maupun hal-hal yang tampaknya saleh (roh jahat berwajah malaikat). Sering saya jatuh di lubang yang sama. Hingga saya akhirnya menerima bahwa itu adalah kelemahan terbesar. Syukur karena bisa mengenal kelemahan diri sehingga saya bisa tahu momen atau kejadian apa saja yang bisa membuat saya jatuh di masa depan.

Bisa dilihat pula terjadi momen refleksi. Melalui skripsi dan dinamikanya dalam keseharian, saya mulai belajar berefleksi tentang diri saya sendiri. Selain melihat jatuhnya saya dan bagaimana mengatasinya, saya mulai melihat roh baik yang senantiasa mengajak untuk bangkit dan meneruskan perjalanan menulis skripsi. Ia seperti penghibur dan penyemangat. Tidak jarang, memori masa lalu dan harapan akan masa depan yang lebih baik muncul. 

Salah satu memori yang masih terngiang-ngiang adalah ketika saya tinggal selama satu bulan di Wisma Rasida 15 A, Malang, Jawa Timur. Tahun 2018, saya pernah hidup serumah dengan anak-anak yang mengalami retardasi mental (down syndrom). Pada waktu itu, saya mengalami desolasi berkepanjangan karena saya stres dan bingung karena berada di posisi tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan anak-anak yang istimewa tersebut. Namun, dalam penulisan skripsi, wajah-wajah mereka tampak jelas di ingatan saya dan memberi saya semangat untuk meneruskan skripsi. Entah kenapa, saya ingin berjumpa dengan mereka untuk merawat mereka sehingga skripsi ini perlu diselesaikan. 

Selain itu, saya mengingat perjumpaan saya dengan orang-orang yang menjadi buruh di suatu pabrik pengepakan telur ayam di Sukabumi, Jawa Barat. Selama satu setengah bulan saya pernah menyamar menjadi buruh pengepakan telur dan berbaur dengan para buruh untuk mengenal realitas kemiskinan. Momen-momen bercanda bersama mereka, momen berbagi makanan, tidur di salah satu mess bersama mereka, hingga momen perpisahan yang mengharukan menjadi penyemangat lagi ketika menulis skripsi. 

Banyak ingatan yang muncul yang berasal dari perjumpaan saya dengan orang-orang yang sering kali tersingkir dan tidak masuk dalam hitungan kesuksesan. Akan tetapi, merekalah yang menjadi penyemangat ketika saya menulis sehingga ada dorongan untuk cepat-cepat selesai skripsi. Dalam refleksi saya, itulah Tuhan yang menggerakkan saya melalui ingatan-ingatan di masa lalu dan memberi harapan di masa depan untuk bisa berguna bagi orang lain. 

Saya menjadi teringat akan salah satu kutipan di Injil bahwa Tuhan hadir dalam diri orang-orang yang lapar, haus, telanjang, dan dalam penjara. Mereka yang miskin, tersingkir, dan tidak dalam hitungan ketenaran dan jabatan sering kali menjadi wajah Allah sendiri (Mt. 25: 31-46). Barangkali itulah mengapa ada konsolasi ketika mengingat orang-orang yang pernah berjumpa dengan saya. 

Kontemplatif dalam Bekerja 

Spiritualitas Ignatian tergolong kataphatik, yaitu spiritualitas yang menekankan dimensi personal, afektivitas, hasrat pribadi, harapan, kerinduan terdalam, dst dalam berdoa. Spiritualitas ini dibedakan dengan yang apophatik, yang lebih menekankan perhatian pada kalimat maupun pengulangan dengan tujuan pengosongan diri. Bagi sebagian orang, mereka tertolong dengan doa-doa model Ignatian karena doa ini memberi penekanan pada hasrat dan kerinduan manusiawi. Mereka dapat melihat bahwa relasi dengan Tuhan menjadi lebih afektif melalui meditasi dan kontemplasi.

Dalam penulisan skripsi saya, kesadaran bahwa pekerjaan saya adalah bagian dari doa atau latihan rohani memberikan salah satu keunggulan yaitu pengenalan akan diri dan pengenalan akan Tuhan yang makin konkret. Selain saya mengenal kerapuhan dan kelebihan saya sendiri, saya juga mengenali kehadiran Tuhan melalui mimpi, dambaan, dan kerinduan terdalam yang timbul melalui perjumpaan dengan orang-orang di masa lalu saya. Skripsi bukan sekadar kegiatan akademis belaka, tetapi dapat menjadi ruang perjumpaan dengan Tuhan sendiri.

Saya makin sadar bahwa pekerjaan sehari-hari dapat menjadi sarana latihan rohani. Semua itu tergantung pada diri masing-masing. St. Ignatius mengajarkan pentingnya hidup kontemplatif dalam aksi. Hal ini berarti kesadaran bahwa Tuhan dapat ditemukan dalam hidup sehari-hari. Tinggal apakah kita mau untuk memeluk kesadaran itu atau tidak. 

Bagaimana cara menemukannya? Spiritualitas Ignatian telah mewariskan metode yang tetap baik untuk terus diingat yaitu melalui examen harian, journaling, percakapan rohani dalam bimbingan rohani, dst.  

Saya bersyukur bahwa dalam proses menulis skripsi saya tetap memiliki seorang pembimbing rohani yang bisa saya temui satu bulan sekali, percakapan rohani dengan romo rektor, dengan romo delegat formasi, dengan teman seangkatan bersama Romo Sumarwan, dll. Saya juga menyediakan waktu setengah jam sebelum skripsi untuk journaling dan preparasi, dan beberapa kali menyediakan waktu satu jam untuk menyendiri di kapel untuk meditasi. Selain itu, ada waktu examen di sore hari dengan jalan kaki selama kurang lebih satu jam untuk melepaskan penat setelah seharian menulis skripsi.

Setelah bercerita panjang lebar tentang dinamika rohani saya menulis skripsi, saya menyadari bahwa penting bagi kita dalam keseharian memiliki cara bertindak yang kontemplatif (hidup sebagai doa). Kuncinya adalah bagaimana kita mengatur diri, terutama kesediaan untuk memberikan ruang dan waktu bagi Tuhan melalui refleksi harian, examen, sharing rohani, bimbungan rohani berkala, dsb. Saya merasa yakin, bahwa dengan membangun habitus yang demikian, membuat hidup kita tidak berlalu begitu saja. Bila skripsi dapat menjadi momen perjumpaan dengan Tuhan, barangkali pekerjaan kita bisa menjadi doa itu sendiri.

 


Fr. Yohanes Krisostomus Septian Kurniawan

Frater Yesuit lulusan STF Driyarkara Jakarta tahun 2023
Sempat terlibat dalam pelayanan di MAGIS periode 2020-2022
Saat ini sedang menempuh Tahun Orientasi Kerasulan (TOKER)

 

 

 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *