Menjenguk Ulang dan Mendengar Lagi Pesan dari Leluhur

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tulisan dan refleksi ini lahir setelah sebulan penuh tenggelam di dalam buku bacaan “Panggil Saja Aku Lopez: Menyelam Sampai ke Lubuk Hati Ignatius Loyola”. Cerita di dalamnya sungguh tidak asing tapi tepat rasanya diulang dalam format yang disajikan Margaret Silf sebagai penulisnya. Ignatius yang pernah ada 500 tahun lalu muncul dengan jubah dan sepatu khas pejalan (peziarah) miliknya di abad 21 bertemu seorang perempuan modern bernama Rachel, menunjukkan bahwa Ignatius masih terhubung dengan dunia sampai abad ini. Ia leluhur yang masih nyambung diajak bicara dengan dunia yang berkembang tanpa henti seperti hari-hari ini.  Ia, panjang umur.

Ignatius sungguh manusia biasa
Aku senang sekali menemukan kenyataan bahwa Ignatius adalah manusia biasa, itu seperti membuka peluang bagiku untuk berjalan dekat dengannya. Selama ini aku mendengar ia dinamai sebagai seorang pendosa yang dikasihi Allah atau ksatria dunia yang bertobat lalu menjadi ksatria Allah, aku personal melihat kekudusan dari nama-nama itu walau ada kata pendosa dan ksatria dunia. Namun, nama itu segera dipadankan dengan nama yang yang besar seperti dikasihi atau ksatria Tuhan. Aku tidak menolak bahkan setuju, itu memang dia, Ignatius pendosa yang menjadi ksatria Allah tapi saat membaca kisah Lopez ini, aku menemukan gambaran lain, Ignatius sebagai manusia biasa.

Manusia biasa ini terpotret dari raut-raut emosi dan perasaannya yang tampak jelas, sungguh ia termasuk ke dalam golongan makhluk yang beremosi, seperti aku, kamu, kita. Ia marah, sedih, putus asa, ingin menyerah, ingin balik menyerang, ia terinspirasi, kebingungan, merasa puas, kecewa, penasaran, merasa hambar, terkejut, takut, bahkan ia punya tembok dan pagar pertahanan. Perasaan, emosi dan suasana-suasana ini adalah bagian dari kealamian seorang manusia, dan yang mekanismenya sudah diatur di otak (neuro) manusia. Ini adalah sebuah pengetahuan penting karena kita juga adalah manusia, manusia biasa seperti Ignatius.

Atas dasar inilah, kenapa mengalami bentuk emosi-emosi tadi perlu menjadi sesuatu yang biasa sehingga diharapkan bisa menjadi tidak sesulit sebelumnya untuk merasakannya, memilikinya, mengakuinya, dan mempersembahkannya. Mengakui bahwa sekarang saya sedang merasa hambar dan takut adalah tanda penting bahwa saya adalah manusia biasa. Karena ini adalah tanda penting dan hadir bersama penciptaan Allah yang alami pada manusia, Ignatius juga memberi perhatian yang besar pada hal ini terutama saat ingin menentukan bagaimana cara kita mencari mana gerakan-gerakan di hati kita yang benar-benar berasal dari Allah dan yang tidak. ‘’Barangkali gerakan-gerakan ini bekerja seiring dengan suasana hati dan perasaan-perasaan kita sendiri. Suasana dan perasaan masih merupakan petunjuk pertama dari apa yang berlangsung dalam hati kita‘’. Jika cukup terampil melihat emosi dan perasaan-perasaan tadi, sangat mungkin latihan atau cara yang ditawarkan Ignatius untuk mencari dan menemukan gerakan yang berasal dari Allah bisa kita gunakan. Ingat kita ini adalah manusia biasa, dan rasanya Allah memang akan bekerja lewat bagian-bagian yang sudah ada di dalam diri kita, bagian yang Ia anugerahkan sendiri.

Selain menjadi mau menerima dan mengakui perasaan serta emosi yang ada di dalam diri secara jujur, kenyataan manusia adalah makhluk dengan emosi, mestinya mengajak kita menjadi mau untuk mengenal ini lebih cukup, karena emosi dan perasaan tadi adalah tanda penting bahwa kita manusia (biasa). Dalam refleksiku Ignatius bisa menjalani perjalanan panjang yang berbuah, beresonansi dengan Rahmat Allah karena ia cukup berkehendak mengenali dirinya secara mendalam, termasuk mengenali bagaimana emosi dan perasaan itu bekerja. 

Di dalam penjelasan neuroscience yang sederhana, pada otak manusia terdapat bagian otak khusus yang mengatur emosi, ia dinamai amygdala. Tidak hanya amygdala yang dibutuhkan manusia untuk dapat hidup seimbang, ada pula bagian otak bernama neocortex (otak berpikir) dan reptilian brain (otak yang bekerja dengan insting otomatis) dan bagian otak lain. Itulah kenapa Ignatius mengajar kita untuk tidak buru-buru membuat atau mengubah keputusan penting atau besar. Bayangkan jika kita mengubah keputusan penting hanya karena sedang merasa sangat marah, sedangkan perlu waktu agar otak emosi dan otak berpikir bisa bekerja sama sesuai dengan sistemnya. Ingat soal Ignatius dan bagal/keledainya).  Tampaknya saat keledai membawa Ignatius berjalan ke arah lain sehingga lebih berjarak dari musuhnya, Ignatius juga punya waktu untuk mempertimbangkan kembali, apakah ia akan membunuh orang yang membuatnya marah dan sakit hati itu. Aku merasa bagal atau keledai juga bisa dipandang sebagai simbol bahwa manusia membutuhkan jeda atau waktu berhenti untuk membuat keputusan penting di hidupnya. ‘’Barangkali setiap orang memerlukan seekor bagal’’, ujar Lopez dalam percakapannya. Tidak hanya untuk membuat dan mengubah keputusan penting saja, memiliki waktu berhenti/jeda sendiri adalah Latihan yang ditinggalkan Ignatius secara khas. Dengan berhenti secara teratur di waktu yang sudah ditentukan, dengan rahmat Allah, kita dimungkinkan untuk mengatasi pola-pola hidup yang merusak sebelum pola itu menjadi lekat kuat. Kita dapat memilah perilaku dan pikiran yang membuat kita jauh dari Allah, kita dapat mengatur ulang diri kita. RahmatNya, di dalam kehendak kita untuk berhenti secara teratur tadi membantu kita melihat apa pun yang tidak menuntun lebih dekat dengan siapa kita sejati di hadapan Allah. 

Dengan gambaran proses hanya tentang manusia sebagai makhluk dengan emosi dan rasa tadi saja, juga melalui perjalanan eksplorasi Ignatius sebagai mana yang telah kita ketahui, menjadi manusia biasa bukan tak bermakna. Ia bermakna, dan butuh dikenali. Setelah dikenali baru mungkinlah itu bisa diatasi bahkan dipersembahkan pada Allah. Bagaimana bisa aku mempersembahkan kekecewaanku padaNya, jika aku tidak tahu dan tidak menyadari bahwa aku kecewa?

Mengetahui bahwa Ignatius adalah manusia biasa memberiku harapan, bahwa relasiku dengan Allah bisa saja seindah hubungan Ignatius denganNya. Mengetahui bahwa Ignatius adalah manusia biasa memberiku harapan bahwa Mimpi Allah atas diriku tersedia.

 

Menguduskan yang papa

Sungguh Ignatius dipimpin oleh Allah sendiri sehingga Impian Allah bagi Ignatius boleh terjadi baginya. Jika berulang mendengar autobiografi rohaninya, sungguh aku melihat hidupnya serupa jalan salib. Ia sungguh Sahabat Yesus, ia meneladan Sang Guru itu. Ini tentang mengambil rupa yang papa, yang miskin, yang tak berdaya. Lopez yang datang kepada Rachel di dalam kisah “Panggil Saja Aku Lopez”, hampir seluruh adegannya datang dengan wujud seorang pengemis. Baru kali ini mata dan hatiku memandang bulat dan besar pada sosoknya sebagai pengemis, ia meminta-minta di jalan. 

 

Kubayangkan pasti sulit sekali memutuskan untuk menjadi peminta-minta, aku mungkin butuh keberanian besar dan latihan berulang-ulang sebelum sanggup menengadah tangan di jalanan pada orang lain, orang tak kukenal, dan orang yang mungkin saja akan menolakku. Belum lagi kalau ingat latar belakang kehidupannya. Iya, menjadi pengemis itu tidak mudah, pun pengemis-pengemis yang mudah kita jumpai di jalanan kota-kota. Ia tidak sesederhana malas bekerja, berapa benteng pertahanan yang dipanjat seorang yang meminta-minta di jalan agar kebal dari rasa malu?


Berapa panjang kaki yang ditempuh, berapa suhu panas matahari yang ditanggung? Memang lebih mudah menuduh seseorang malas bekerja dari pada memikirkan bagaimana tindakan itu bisa terjadi? Bagaimana orang bisa menjadi pengemis? Apa yang mereka alami? Sumbangan kolektif apa yang menjadikan seorang tidak dapat bekerja layak sehingga menjadi demikian?

Ignatius di dalam Lopez mengajakku untuk memandang ini. Aku jadi melihat sesuatu yang kudus di dalam diri seorang pengemis. Sejak memandang ini, bertemu pengemis mungkin akan jadi pengalaman yang berbeda, aku akan memperhatikan gerak-gerak hatiku dan bertanya, ‘’Leluhur, Engkaukah itu?’’


 

Tiara Silalahi

Di Jakarta biasa dipanggil Tiara, perempuan mungil yang mudah merasa senang dengan hal-hal kecil tapi juga mudah kaget dengan yang kecil-kecil tersebut. Haha.Tujuh tahun mencintai dan dicintai semesta Jakarta dan bertemu Magis adalah salah satu hadiah terbaik yang diterimanya.

 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *