Mampukah Kita Menjadi Terbuka


Bulan lalu saya membaca sebuah buku berjudul “Jalan Hati Yesuit” yang banyak menggambarkan bagaimana kerasulan para anggota Serikat Yesus diarahkan dan dihidupi. Kebetulan, saya tidak menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan isinya. Jadi, kata “diarahkan” dan “dihidupi” saya rasa paling mendekati makna yang saya maksud.

Dalam buku yang ditulis Romo Sindhunata, SJ tersebut, terdapat sub-bab yang menarik bagi saya, berjudul “Naif tapi Benar”. Sub-bab ini merupakan sebuah catatan singkat dari Pastor Timo Masar SJ, yang melakoni perutusannya sebagai Yesuit di tengah-tengah wilayah yang tak menginginkan keberadaan Serikat. Ya, di wilayahnya, Serikat Yesus menjadi organisasi terlarang dan para anggotanya ditindas, dipenjara, serta dihukum kerja paksa. 

Keputusan Pastor Timo untuk masuk Serikat terbilang gila. Ia rela meninggalkan semuanya pada saat-saat yang mengerikan di tengah segregasi politik yang kuat antara Jerman Timur dan Jerman Barat. Ia meyakini bahwa masa depannya adalah masa depan yang penuh penyerahan diri kepada Allah. 

Dituliskan bahwa ia merasa selalu diteguhkan dengan doa Rupert Mayer SJ yang ditulis dari balik penjara untuk ibunya; sekarang sungguh saya tidak mempunyai apa-apa dan tidak memiliki siapa-siapa, kecuali Tuhan yang tercinta. Bagi saya itu cukup, bahkan lebih dari cukup sekali.

Judul sub-bab ini selaras dengan tema sebuah acara berjudul “Iman yang Naif tapi Benar” yang merupakan satu dari rangkaian acara bertajuk “Ziarah dalam Gelisah: Berdamai dengan Diri dalam Perspektif Spiritualitas Ignatian”. Acara ini digagas oleh Gramedia Pustaka Utama, Yayasan Basis, dan Serikat Yesus Provinsi Indonesia (Provindo).

Rangkaian acara ini diselenggarakan dalam rangka terbitnya buku Jalan Hati Yesuit, Anak-Anak Ignatius, dan Sisi Sepasang Sayap. Ketiganya merupakan karangan Romo Sindhu.  Oiya, belum lama ini Romo Sindhu meraih penghargaan Kategori Budayawan dalam Penghargaan Seniman dan Budayawan Kota Yogyakarta Tahun 2022. Penghargaan serupa sering ia dapatkan tahun-tahun sebelumnya.

Melalui “Naif tapi Benar”, Romo Sindhu ingin menggambarkan bahwa panggilan para Yesuit bukanlah panggilan yang mewah dan elit. Panggilan Yesuit layaknya panggilan Ignatius yang sungguh merakyat. Pun bagaimana seorang Yesuit menjalani kerasulannya, bukan merupakan kerasulan yang jauh dari awam, melainkan menjadi bagian dari padanya. Catatan Pastor Timo, panggilannya sungguh nyata hadir di tengah-tengah persoalan dan keprihatinan dunia. 

Romo Sindhu kembali menegaskan dalam acara diskusi “Iman yang Naif tapi Benar”, bahwa kerasulan Yesuit merupakan bentuk dari sebuah spiritualitas jalan hati yang oleh dan untuk siapa pun spiritualitas ini sangat bisa dijalani. Jadi, sangatlah terbuka.

Dalam diskusi yang diselenggarakan di Gereja Santo Antonius Padua, Kotabaru, Yogyakarta itu, Romo Sindhu juga berkesempatan menunjukkan–saya menyebutnya–“lokalitas kerasulan” yang tercermin dari beragam benda, patung, dan bangunan di Omah Petroek.

OP (begitu saya menyebutnya dulu), adalah rangkaian bangunan yang terletak di dekat lereng Gunung Merapi yang biasa digunakan untuk beragam aktivitas rohani sekaligus menjadi tempat doa. Tempatnya terbuka, sunyi, rindang, teduh, dan sangat asri.

Oleh karena itu, acara tersebut menjadi sangat berkesan bagi saya, sebab OP menjadi saksi bagaimana saya pernah mendapat “gemblengan” dari seorang Romo Yesuit. OP juga menjadi tempat di mana kami kerap mencari wangsit tentang kehidupan zaman perkuliahan sekitar tahun 2015-2017. Plus, Gereja Kotabaru adalah gereja pertama di Jogja yang saya datangi untuk merayakan ekaristi, kalau tidak salah pada tahun 2011. 

Tak pelak, saya bergairah ketika mengikuti diskusi ini. Hujan lebat dan tanah sedikit berlumpur di dekat perbatasan Indonesia-Malaysia saat itu pun tak jadi soal demi menjangkau sinyal untuk menonton.

Kembali ke intisarinya. 

Baik buku maupun dalam diskusi, hendak digambarkan bahwa spiritualitas Ignatian yang melandasi panggilan dan kerasulan Yesuit bukanlah spiritualitas yang mewah dan elit. Melainkan spiritualitas yang sangat menyatu dengan sisi kemanusiaan sekaligus ke-ilahi-an.

Keraguan, kemarahan, kesedihan, kesendirian, sampai suka cita dapat menyelimuti spiritualitas ini. Pun, Ignatius belum menjadi seorang imam saat spiritualitas ini mulai ada. Artinya, sisi kemanusiaan yang lemah lebih dominan dalam spiritualitas ini.

Terjebak

Sering kali, kita yang sedang berperan sebagai pembelajar ini, terjebak memahami bahwa spiritualitas Ignatian sangat sulit dilakukan karena banyak sekali yang perlu dimengerti, memerlukan pemusatan pikiran, batin, dan laku. Sekaligus, seperti ada tuntutan intelegensi tertentu dari para pembelajarnya.

Namun, akhirnya ada banyak jalan untuk tetap bisa mewadahinya, mulai dari dengan bimbingan rohani, mengikuti Latihan Rohani Pemula, sampai bergabung dalam sebuah komunitas. Bagi saya, yang pernah merasakan ketiganya, belajar spiritualitas Ignatian merupakan anugerah tersendiri. Termasuk belajar dari komunitas MAGIS ini.

Sebagai sebuah komunitas, tentu kita dituntun untuk bersama-sama terbuka dan saling membangun. Seperti prinsip persaudaraan atau persahabatan yang sungguh menjadi perhatian Ignatius dalam membangun komunitas Serikat Yesus.

Akan tetapi, rutinitas sebagai komunitas sedikit banyak memberi pengaruh. Kita menjadi disibukkan dengan banyak rutinitas teknis dan nonteknis dari komunitas itu sendiri.

Memang, tanpa struktur, komunitas hanyalah kumpulan orang-orang biasa yang tak saling terikat. Dan keterikatan itulah yang membuat beragam hal teknis dan nonteknis menjadi bermunculan.

Namun, layaknya lubang keledai, ternyata ini membuat jebakan yang tak main-main. Rutinitas itu membuat proses belajar kita hanya menjadi proses yang nonesensial. Ya, yang penting lancar dijalankan, tetapi menjadi hilang makna.

Kita menjadi lupa, kita hadir dan dihadirkan bagi orang lain dalam komunitas untuk mampu terbuka menerima satu sama lain, serta yang utama adalah saling membangun. Namun, kerap kali yang terjadi justru sebaliknya, kita memiliki kecenderungan memilah dan memilih. Kita justru menjadi elit dan mewah.

Mengembalikan kepada Allah

Saya membayangkan bagaimana sebuah komunitas layaknya seperti Omah Petroek (OP). Sungguh terbuka, sunyi, rindang, teduh, dan sangat asri bagi siapa saja yang hendak belajar spiritualitas Ignatian. Malahan, dengan “lokalitas” yang ada, yang berarti sisi kemanusiaan kita yang autentik, kita semakin diajak untuk makin memahami relasi yang sangat personal dengan Allah. 

Seperti Pastor Timo ketika masuk Serikat, kita pun datang ke dalam komunitas dengan peristiwa dunia yang beragam. Namun, penyerahan diri kepada Allah menjadi kunci dan tak boleh digantikan atau dikaburkan oleh siapa pun.

Allah-lah yang membimbing, kita manusia hanyalah teman seperjalanan.

Mengutip salah satu kotbah Romo Setyawan, SJ, belajar spiritualitas Ignatian hendaknya seperti gerak spiral. Kadang naik (konsolasi), kadang pula turun (desolasi). Tetapi yang jelas, terus bergerak ke atas makin dekat dengan Allah. Dan melalui komunitas, hendaknya “gerak spiral” itu dilakukan bersama-sama. 

Akhirnya, spiritualitas Ignatian perlu dipahami sebagai spiritualitas jalan hati yang daripadanya kita semua diundang untuk diarahkan dan dihidupi oleh Allah sendiri.


Daniel Pradina Oktavian

Biasa disapa Daniel (MAGIS Formasi 2021). Seorang pria Katolik asli Semarang yang berteman baik dengan teman se-formasi nya Benni & Samuel.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *