Pada suatu waktu, seorang kepala biara Ordo Benediktin memberikan sebuah renungan mengenai pentingnya mencabut ketidakpedulian yang menyembunyikan kita dari tanggung jawab terhadap sesama. Menurutnya, ketidakpedulian bertindak laksana perisai dan menghalangi-halangi kita terhadap tanggung jawab. Ketidakpedulian menjelma menjadi satu dari tiga tanda kejahatan yang melumpuhkan hati dan mengaburkan mata. Renungan ini ia sampaikan di hadapan Paus Fransiskus dalam retret tahunan Prapaskah tiga tahun silam.
Baru-baru ini, ramai sekali penolakan terhadap pembangunan sebuah gereja di Kota Cilegon, Banten. Penolakan itu sekaligus memperpanjang catatan intoleransi yang sudah lama menjangkiti wilayah tersebut. Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2021, menyebutkan Cilegon menempati urutan ketiga kota yang paling tidak toleran, setelah Depok dan Banda Aceh.
Banyak cerita menuturkan, perjuangan pendirian gereja tak pernah berhasil. Selama ini, umat Katolik dan Protestan harus menempuh perjalanan ke luar kota hanya untuk beribadah. Dengan jumlah umat Katolik sebanyak 0,77% dan Protestan sebanyak 0,84%, tentu bisa dibayangkan betapa rendahnya daya tawar sosial keduanya di tengah homogenitas yang ada. Sungguh, iman yang penuh perjuangan.
Kasus serupa sudah berulang kali kita dengar. Misalnya penolakan bantuan sosial di wilayah Kabupaten Bantul, DIY yang dilakukan umat gereja karena dianggap kristenisasi. Ada lagi penyerangan terhadap gereja Katolik di wilayah Temanggung, Jawa Tengah yang menimbulkan beberapa korban luka. Hingga, kasus yang paling mengerikan, yaitu pemboman gereja di Surabaya dan Makassar.
Semua itu terjadi, berulang kali.
Kisah yang sama juga dialami oleh Jemaat Perdana yang kerap menjadi sasaran empuk adu domba politik, sampai harus mengalami yang disebut kekerasan luar biasa (The Great Persecution). Banyak dari mereka dicabut hak hukumnya, rumahnya dihancurkan, dan kitab sucinya dibakar. Kebencian terhadap ajaran yang dibawa oleh Yesus masih harus dialami oleh murid-murid-Nya.
Kemewahan Iman
Kisah demi kisah yang ditulis di atas, menggambarkan betapa rapuh dan terbatasnya daya dukung iman. Lingkungan yang intimidatif, penuh dengan ancaman kekerasan, tidak adanya sarana dan prasarana ibadah yang memadai, jumlah jemaat yang sedikit, tidak adanya perlindungan, dan lain sebagainya. Bagi saya, ini sungguh mengerikan.
Namun, saya beruntung sekali tak mengalami satu pun dari yang disebut di atas. Bagaimana denganmu? Adakah satu di antaranya pernah kamu alami? Jika ya, bagaimana kamu mampu memelihara iman sampai dengan saat ini? Tapi jika tidak, sudikah kita mengalami barangkali satu di antaranya?
Kisah Ignatius
Saat masa penyembuhan pasca operasi kaki, Ignatius ingin membaca buku-buku cerita mengenai ksatria. Namun, yang tersedia hanyalah buku Vita Iesu Christi (Kehidupan Yesus Kristus) karangan Ludolph of Saxony dan buku Flos Sanctorum (Kehidupan Orang Kudus) karangan Jacopo de Voragine.
Ia kemudian banyak melamunkan ambisi-ambisi kekuasaannya yang seolah hampa dan silih berganti dengan gambaran pengabdian kepada sang Kristus (Autobiografi 6-7). Sampai pada akhirnya, ia mulai bertanya-tanya apakah keutuhan rasa, yaitu rasa damai, segar, dan gembira, merupakan tanda kebenaran bahwa Allah memanggilnya? (Autobiografi 8).
Ruangan kecil itu akhirnya menjadi saksi transformasi iman Inigo yang kemudian menjadi Ignatius.
Lalu, siapakah kita yang diundang dalam cerita ini?
Seketika ini juga, saya membayangkan betapa mewahnya pertumbuhan iman saya. Saya memiliki banyak sekali pilihan bangunan gereja, baik yang dekat maupun yang jauh, baik yang kecil atau besar, serta yang megah atau sederhana. Saya juga dimewahkan dengan beragam pilihan komunitas menggereja, misalnya saja Orang Muda Katolik (OMK), umat lingkungan, komunitas doa di kantor, bahkan bergabungnya saya di komunitas MaGis juga merupakan kemewahan bagi iman saya.
Teladan Paus
Beberapa waktu lalu, dalam kunjungannya ke Irak Utara, Paus Fransiskus secara khusus menyempatkan diri berdoa di reruntuhan gereja yang dirusak dan dihancurkan oleh ekstrimis ISIS. Malahan, ia merayakan misa terbuka di sana. Fransiskus seolah berpesan bahwa di tengah keriuhan dunia yang menawarkan kemewahan, kecepatan, dan individualitas, hendaknya kita menghadirkan kemewahan iman bagi saudara seiman yang tertindas dan penuh rasa takut karena keimanannya. Kemewahan itu ia contohkan berupa kepedulian dan solidaritas.
Keduanya merupakan wujud nyata spiritualitas yang ditawarkan Yesus Kristus dan juga Ignatius. Secara khusus, Ignatius berpesan dalam prinsip kerasulan Yesuit: salvo meliori iudicio atau demi pertimbangan yang lebih baik.
Pertimbangan, atau discretio, inilah yang menjadi titik tolak Ignatius memutuskan mengabdi kepada Allah untuk menyelamatkan jiwa-jiwa. Meskipun ia terlahir sebagai ksatria, ia tak membuat imannya menjadi perisai atas dirinya. Ignatius dengan terbuka mengajarkan bahwa kita yang terus-menerus mendulang, mencecap, dan mengunyah cinta Allah, sepantasnya kita terbuka menjadi sahabat dan penyelamat. Kita bukan hadir menjadi individu yang tumbuh dalam iman yang tertutup dan mementingkan jiwanya sendiri, atau yang saya sebut sebagai iman yang oportunis.