Sebagai anak muda Katolik, di tengah hiruk-pikuk kehidupan ibukota, seringkali aku merasa hidup rohaniku kosong dan kering. Tak jarang, aku berusaha mencari pelarian untuk mengisi kekuranganku tersebut. Namun kusadari, pelarian ini tak membuat diriku menjadi lebih baik, tetapi justru membuatku menjadi tidak pernah puas dan lega. Belum lagi, pelarian ini membuatku merasa jauh dari Tuhan hingga akhirnya aku mendapat kesempatan untuk bergabung dalam formasi MAGIS Jakarta 2021. Komunitas ini menawarkan sarana untuk melihat Tuhan dengan lebih baik lagi melalui spiritualitas Ignasian. Materi yang diberikan setiap bulan dikemas dalam bentuk yang sederhana, menarik, dan sangat dekat dengan kehidupan kami sehari-hari. Melalui pendekatan yang realistis, aku dapat dengan mudah membayangkan keterkaitan antara materi yang dibahas dengan hal-hal yang kujumpai dalam hidupku sehari-hari.
Dalam setiap sesi pertemuan bulanan, selalu ada pemateri yang merupakan alumni dari formasi tahun-tahun sebelum kami. Masing-masing pemateri ini memaparkan materi spiritualitas beserta dengan contoh cerita berdasarkan pengalaman hidup mereka. Setelah sesi penjelasan materi, diadakan sesi refleksi. Masing-masing anggota berkumpul dalam circle kecilnya dan berbagi pengalaman pribadi yang berkaitan dengan topik yang baru dibahas. Awalnya, aku merasa kesulitan untuk memilih cerita yang cocok dengan topik yang kami bahas. Belum lagi, tidak mudah untuk menceritakan pengalaman pribadi kepada orang lain. Apalagi kalau itu tentang pengalaman buruk/sedih. Sering kali jantungku berdebar-debar dan sharingnya menjadi ngalor-ngidul karena grogi.
Aku tergabung dalam circle Rosela. Roselsa merupakan singkatan dari Rombongan Seperjalanan Latihan Doa. Circle Rosela sendiri terdiri dari Mas Aryo (Pendamping), Kak Ida dan Kak Santi (Animator), Veni, Indri, Bang Beni, dan dik Domi. There’s always first time for everything. Tidak mudah untuk belajar terbuka dengan orang lain. Apalagi dalam hal berbagi cerita personal. Banyak orang memilih untuk memendam dan menyimpan kisah hidupnya untuk dirinya sendiri. Menariknya dalam prosesku di MAGIS, aku berlatih untuk menyadari gerak batinku juga perasaan-perasaan yang aku alami. Aku pun belajar untuk jujur dengan diriku sendiri. Melalui Rosela, support system pertamaku di MAGIS ini, aku berlatih untuk berani melihat dan menerima setiap kisah hidupku sebagai sebuah kesatuan yang membentukku hingga saat ini.
Ada pepatah jawa yang berbunyi seperti ini; witing tresno jalaran soko kulino. Rasa canggung, asing, dan perasaan takut untuk bisa bebas berekspresi pelan-pelan berubah menjadi perasaan sayang karena kami sering berjumpa hingga akhirnya bisa saling menguatkan. Melalui pertemuan bulanan, acara kumpul-kumpul, komunikasi di group Whatsapp, examen dilanjutkan sesi berbagi via aplikasi Google Meeting dan Zoom, dan arisan doa, aku merasa menemukan rumah baruku. Bagiku, Rosela adalah salah satu rumah ternyaman; aku bisa menjadi diriku apa adanya. Aku bisa dengan bebas mengekspresikan diriku tanpa harus berfikir tentang penilaian orang lain terhadapku. Seperti kata Kak Kartikya Anindya yang dikutip di akun Instagram greatmind.id; “Menyadari kita punya seseorang yang selalu merespon kita di saat susah, rasanya kaya punya selimut tambahan. Tidur jadi tenang”
Aku juga bersyukur karena didampingi oleh teman-teman yang sangat sabar dalam membantuku memahami setiap materi yang diberikan. Memahami setiap teori yang dipaparkan saat perbul sebetulnya bukan hal yang sulit karena semuanya sangat praktikal, dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hanya saja untuk memasukkan itu sebagai rutinitas baru dalam kehidupan rohani memang dibutuhkan ketekunan dan kesabaran. Tak jarang, aku cenderung tergoda untuk tidak menjalani latihan rohani. Misalnya saja, aku sering kurang “sumeleh” atau “berserah/rela” saat melakukan examen karena sering susah fokus. Sekalinya fokus, aku malah mengantuk. Kadang juga aku terganggu kesemutan. Hal ini membuatku memilih untuk tidak melakukannya.
Untungnya, aku dan teman-teman Rosela sering mengadakan pertemuan daring di hari Kamis malam. Meskipun masing-masing dari kami dalam kondisi lelah setelah melewati hari yang panjang, semua tetap bersemangat melakukan examen, lalu dilanjutkan dengan berbagi cerita. Kesempatan ini adalah sarana bagiku untuk melatih kesabaranku dalam melakukan examen. Saat melanjutkan ke sesi berbagi cerita, masing-masing dari kami secara bergantian menceritakan perasaan dominan kami, sembari melihat lagi kejadian-kejadian yang kami alami selama satu minggu ke belakang. Sesi berbagi bagiku sendiri merupakan sarana untuk melatih kejujuran. Kejujuran dalam melihat dan mengenali emosi personal, serta kesabaran dalam menerima perasaan tersebut. Selain itu, aku juga belajar untuk menjadi pendengar yang baik bagi siapa saja yang sedang berbicara.