Saat akan bergabung dalam formasi Magis 2021, aku sudah mengetahui jika akan memiliki teman dalam kelompok kecil (circle). Hal ini kudengar dari sahabatku yang pernah berformasi di Magis. Sejak saat itu, aku selalu membayangkan “Seperti apa ya teman circle-ku nanti? Siapa aja ya mereka? Asyik nggak ya anak-anaknya?”
Community Building pun tiba, hari di mana seharusnya aku bertemu dengan teman-teman satu circle. Namun, karena pada waktu itu aku masih berada di rumah (di Jogja) maka aku tak bisa hadir. Aku pun melewatkan waktu pertama kali bertemu dengan mereka.
Pada hari yang sama, grup WhatsApp pun terbentuk, dengan nama “Circle 5”—yang kemudian menjadi “Circle Kanguru”. Aku benar-benar tidak mengenal satu pun orang di dalam grup itu, entah kedua animatorku (Kak Chindy dan Kak Santi) maupun keempat teman circle-ku (Olga, Freya, Grace, dan Sam)—juga pembimbingku (Ci Yenny). Aku sangat canggung dan kikuk. Bila ingin ikut menyapa di grup pun rasanya aneh, karena sama sekali belum pernah berkenalan dan bertemu.
Baru pada pertemuan bulanan pertama aku berjumpa dengan mereka. Biasanya, teman satu komunitas bisa mengenal satu sama lain secara mendalam ketika sudah lama bertemu, ketika sudah lama berbagi cerita secara bertahap, dan sudah lama berdinamika. Dengan begitu, satu per satu cerita hidup pun akan bisa terbuka lapisan-lapisannya. Namun, hal yang berbeda terjadi di Magis ini. Magis mengajarkan setiap anggotanya (formasi, animator, maupun pembimbing) untuk terbuka. Keterbukaan menjadi kunci supaya setiap orang berhasil menjalani proses.
Aku merasa, “ah mudah”, karena aku orang yang sangat terbuka, tetapi ketika harus mendengarkan keterbukaan orang lain, ternyata rasanya berbeda. Aku merasa asing ketika mendengarkan keterbukaan dari orang yang tidak pernah kukenal sebelumnya. Ibaratnya, aku baru sekali ketemu tapi kok sudah tahu ceritanya. Untungnya, pada proses sharing, kami hanya diminta mendengarkan, tidak diminta mengomentari. Jika diminta mengomentari, pasti aku akan bingung karena takut salah memberi respons, mengingat aku belum mengenal dengan dalam teman-teman ini.
Semakin lama, aku semakin terbiasa mendengarkan cerita mereka. Kisah dari Grace, Sam, Olga, dan Freya seakan menjadi kaleidoskop kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa terjadi dalam hidup. Aku terkadang menjadi keluar melampaui diriku. Selama ini aku merasa bahwa akulah pusat dunia (setidaknya dalam pikiranku), bahwa akulah pribadi yang paling susah dan menderita, bahwa akulah yang paling punya cerita unik dalam hidup, dan bahwa orang-orang lain hidupnya biasa aja dengan masalah yang biasa-biasa aja.
Aku pun menjadi sadar akan beberapa hal. Pertama, setiap manusia itu unik di mata Tuhan. Dan Tuhan pun membuatnya unik, dengan kisah dan cerita yang tak akan pernah sama di antara satu manusia dengan yang lain. Kedua, pada setiap kisah pasti ada masa ups and downs, dan Tuhan pun selalu hadir pada kedua masa itu, menyertai dan menemani. Ketiga, seburuk apa pun masalah yang dihadapi, pasti akan ada masa selesai untuk masalah itu sendiri. Semua akan berjalan baik kembali, masalah yang mulai akan selesai, dan setiap masalah pasti ada solusinya ketika kita mau mencari dan mendengar jawaban-Nya.
Perjalanan formasi ini akan selesai, tetapi waktu untuk mendengar kisah-kisah dari mereka akan selalu ada. Masih ada dan selalu ada waktu untuk belajar dan menemukan Tuhan, terlebih melalui setiap detail peristiwa yang dibagikan padaku.
Pada akhirnya.. terima kasih untuk teman-teman Circle Kanguru, dan teman-teman Magis pada umumnya. Cerita kalian sangat menyadarkan serta menguatkanku, kalau Tuhan tak akan sedetik pun meninggalkan kita… and everything is gonna be fine. Anyway, here’s a song lyric for you, which (may) relate with our process in every step of life:
Laila – Monita Tahalea
Laila… Laila…Laila…Laila…Laila…Laila…
Laila..
Hatiku gelisah
Betapa dahsyatnya
Malam penuh sakit dan air mata
Laila..
Kudengar suaranya
Berdoa dalam kesunyian
Jiwa yang hancur namun percaya waktu-Nya
Bersukalah dalam pengharapan
Sabar dalam kesesakan
Dan berteguhlah di dalam doa
Berpeganglah kau, jiwaku
Laila..
Tidakkah kau tahu?
Laila..
Tidakkah kau dengar?
Aku berseru
Jauh ke pertolongan bagiku
Bersukalah dalam pengharapan
Sabar dalam kesesakan
Dan bertekunlah di dalam doa
Teguhlah hai kau, jiwaku
Sekarang hatiku berserah
Laila, hatiku berteduh
Dalam naungan Yang Maha Tinggi
Dalam lindungan sang fajar
Dalam dekapan erat tangan Tuhan
Dionisia Gusda Primadita Putri
Lahir dan besar di Yogyakarta, kini Putri bekerja di Jakarta sebagai editor buku dan penulis. Ketika bosan berkutat dengan diksi-diksi, ia akan berjalan keluar untuk membeli segelas cokelat. Ia yang tak suka sepi, sangat bersyukur karena bertemu banyak teman baik di Magis