What is Your True Desire?

Aji – Magis Jogja

Setelah menyelesaikan mata kuliah PPL di salah satu SMA yang berlokasi di Yogyakarta, aku mulai semakin yakin bahwa menjadi guru bukanlah kemauanku. 

Kalau ada Lucifer Morningstar, pemeran film series di Netflix, dia pasti akan bertanya padaku: “So, tell me. What is your true desire,Ji?” Well, aku yakin aku akan terdiam karena ga tahu jawaban dari apa yang aku mau. 

Di tengah kegalauanku tentang masa depan, judul skripsi yang aku paparkan kepada dosen pembimbing mulai dipertanyakan. Lebih ke arah ditolak sih sejujurnya. Ditambah lagi dengan perpisahan dengan mbak pacar, aku semakin kehilangan arah. Itu adalah momen yang berat bagiku. 

Aku tidak punya satupun alasan untuk menyelesaikan studiku. Di saat seperti itu, melihat satu-persatu teman-temanku pendadaran dan pertanyaan dari semua kalangan “kapan lulus?” menambah kegalauan dan kekhawatiranku. Aku harus ngapain?

Untuk melawan kegalauanku itu, dalam beberapa bulan aku menghabiskan waktu dengan mencari kebahagiaan. Naik gunung, menghabiskan waktu di coffee shop berjam-jam, bermain game, jalan-jalan, bahkan hanya tiduran. 

Selama beberapa bulan itu juga, aku malah lebih sering merasa senang daripada bahagia. Selalu merasa ada yang kurang, selalu merasa ini tidak benar tapi tetap aja aku jalani. Beberapa kali aku malah merasa dengan bekerja mencari klien adalah caraku untuk kabur dari dunia perkuliahan. 

Tentu saja beberapa kali aku mulai merasa bersalah dan mulai mempertanyakan lagi, mau sampai kapan? Kebingunganku berubah menjadi sebuah keputusasaan. Akhirnya aku makin sering menghabiskan waktu dengan melamun dan merenung.

Aji – Magis Jogja

Di tengah keputusasaan itu, Romo John melalui maGis mengajakku mengolah sejarah hidup untuk menjawab segala kegelisahanku. 

“Siapa kamu sekarang adalah cerminanmu di masa lalu dan siapa kamu di masa depan adalah cerminanmu saat ini.” Begitu kata Romo ketika menjelaskan materi mengenai sejarah hidup. Namun, aku benar-benar nggak paham apa hubungannya luka batin dengan kegelisahan memutuskan masa depan. 

“Orang yang paling dalam melukai kita adalah orang-orang terdekat kita, bukan karena benci. Melainkan karena cinta.” Aku semakin kebingungan karena masih belum menemukan hubungan antara terluka karena cinta menjadi ragu memutuskan masa depan. 

Lalu, aku diajak untuk berkontemplasi ‘misiologi’ sebagai salah satu cara berdamai dengan masa lalu. Dan benar saja, aku masih belum menemukan apa-apa di sana. Entah kenapa, ya sepertinya karena aku merasa benar-benar tidak ada luka batin dengan orang-orang terdekatku, terutama keluarga.

Aku tidak merasa aku ini orang yang terdzolimi di keluarga. Kalau luka batin ya mungkin sakit hati karena nggak dibeliin makanan waktu kecil atau mau mainan tapi ga dikasih, sudah itu aja. Apalagi? Bagiku hal yang sudah ya sudah, tidak perlu diungkit dan dipermasalahkan lagi. 

Ngapain aku harus membuka kembali luka-luka di masa lalu yang sudah kupendam rapat-rapat untuk waktu yang lama? Aku kan butuh cara dan jawaban untuk menjawab kegelisahanku di masa depan, bukan di masa lalu? 

Aku tidak merasa memiliki dendam dengan orang tua sih sebenarnya. Orang tuaku tidak pernah marah kepadaku, aku mau atau minta sesuatu pasti selalu diusahakan ada. Marah? Kesel? Mukul? Engga pernah. Bahkan ketika aku tidak naik kelas saat SMA pun, mereka tidak marah kepadaku. Lalu apa iya, aku memiliki luka batin dan harus menemukan sesuatu di sana?

Setelah pengolahan beberapa minggu, aku menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Ya, aku terluka dan aku memiliki dendam terhadap orang tua dan keluargaku. Bukan karena dimarahi, bukan karena dipukul, bukan karena ditinggalkan, tetapi karena dicintai dengan berlebihan (atau bahasanya over afeksi). 

Cinta orang tuaku berlebihan, hingga akhirnya menimbulkan luka melalui overprotective. Orang tuaku takut kalau aku gagal dalam ujian, akhirnya aku diharuskan ikut les. Orang tuaku takut kalau aku kenapa-kenapa saat aku naik gunung, akhirnya aku dilarang. Orang tuaku takut aku bergaul dengan teman-teman yang buruk, akhirnya aku diharuskan di rumah saja. Kekhawatiran dan ketakutan yang berlebih itu, selain menular kepadaku akhirnya membuatku selalu berada di zona nyaman dan tidak pernah merasakan keluar dari sana.

Saat pengolahan, aku menyadari itu semua. Namun, menyadari dan misiologi saja belum cukup. Aku diajak untuk membadankan apa yang aku pelajari di formasi maGis melalui pertemuan bulanan peregrinasi. Peregrinasi adalah perjalanan atau ziarah batin dari satu titik menuju titik yang sudah ditentukan. Biasanya kalau maGis Jogja sih selama tiga hari dua malam menuju goa maria, tanpa membawa bekal, uang sepersenpun, dan tentunya gawai alias handphone

Kami hanya membawa sepucuk surat cinta bergambarkan denah dan checkpoint-checkpoint yang harus kami lalui. Tujuannya apa sih proses pembadanan ini? Ya tentu saja, menyadari dan merasakan langsung pengalaman dicintai Tuhan di mana-mana dan dengan berbagai cara-Nya alias finding God in all things.

Tentu, kamu sudah bisa mengetahui dan memahami apa yang aku rasakan, bukan? Dari luka yang aku miliki, aku dibenturkan langsung dengan proses berserah kepada Tuhan. Dari yang selalu mengkhawatirkan hidup, aku diajak untuk menjalani kekhawatiran dan ketakutan itu langsung tanpa setengah-setengah. Totalitas banget. 

Apalagi ditambah dengan bumbu dari sharing alumni yang membuat semakin ngelus-ngelus kening. Ada yang ditolak bahkan diusir saat minta minum, makan, atau tempat tinggal, ada yang pernah digrebek satu kampung karena dikira mau maling, ada yang sampai terpisah dengan rombongan dan gak tahu harus lapor dan bagaimana, ada yang distop dan disuruh putar balik karena ada macan turun gunung di jalan yang mau dilalui, bahkan malamnya ada yang harus tidur di dalam sel tahanan. Mateng! Aku benar-benar merasakan ketakutan dan kekhawatiran yang besar. Sampai lupa dengan kekhawatiran masa depanku sendiri.

Aji – Magis Jogja

Aji Magis Jogja

Aji Magis Jogja

Selama perjalanan tiga hari dua malam itu, aku menemukan hal yang membuatku malah mempertanyakan peregrinasi itu sendiri. Kamu tau apa yang aku lalui? Aku melalui jalan yang sangat seru buanget! Ke selatan dikit nemu pantai, naik ke puncak gunung, turun sampai ke sungai, naik gunung lagi, turun lagi dan akhirnya naik gunung lagi. 

Tapi, bukan perjalanan jaraknya yang membuatku mempertanyakan peregrinasi, tapi pertemuan dengan orang-orangnya. Selama tiga hari dua malam, kami tidak mendapatkan satupun penolakan. Kami minta makan, dikasih. Minta minum? Dikasih. Minta tempat tinggal? Dipersilahkan! Bahkan ada seorang ibu yang menunggu dua sampai tiga jam di depan rumah untuk menanyakan sekaligus menawarkan kami minuman dingin di siang bolong. Gila! Saat diajak untuk menulis refleksi, aku mulai mempertanyakan dong? Ini peregrinasi? 

Katanya penolakan? Katanya digeruduk satu kampung? Katanya harus tidur di jalanan? Kok aku mengalami yang berbeda? Tapi, disitulah Tuhan benar-benar bekerja dengan cara-Nya.

Tuhan mengajakku untuk menyadari dan merasakan langsung bahwa ketakutan dan kekhawatiran bukanlah hal yang seharusnya selalu dan melulu dipermasalahkan. Bahasaku dan teman-teman adalah gas wae! 

Lebih dari itu, Tuhan mengajakku untuk benar-benar berserah dan percaya kepadaNya. Bahwa Ia selalu ada dan bersamaku dimanapun dan kapanpun, dengan caraNya. Aku juga menyadari bahwa selama peregrinasi, aku menjalani firman Matius 7:7-8. 

“Mintalah, makan akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetuk baginya pintu dibukakan.”

Setelah peregrinasi, aku menyelesaikan skripsiku dan tentunya bisa menjawab apa yang menjadi pertanyaan,”So, what is your truly desire,Ji?” 

Aku mau menjadi penyebar kabar gembira. Aku mau menjadi perantara antara manusia dengan manusia, manusia dengan Allah, begitu juga sebaliknya. 

Ketakutan dan kekhawatiranku jika aku bekerja di dunia kreatif karena akan klien yang tidak pasti akhirnya adalah pilihanku. Dan sebagai salah satu cara aku ingin menyebarkan kabar gembira adalah dengan cara menanyakan sebuah pertanyaan kepada kalian, para pembaca tentunya.  ”So, what is your true desire?”


Bernadus Satrio Bimantoro Aji Pamungkas,

Bernadus Satrio Bimantoro Aji Pamungkas, berumur 27 tahun. Kesibukan saat ini adalah bekerja. Motto: Time will tell you that life is all about perspective. Join Magis sejak tahun 2018

 

 

 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *