Pada 15-9 September 2021 lalu, pengurus Magis Jakarta menjalani TFT (Training For Trainers). TFT ini bertujuan menyiapkan kami, para pengurus Magis agar dapat menjadi sahabat rohani bagi calon formasi.
Melalui TFT, kami merasa kembali disegarkan dengan materi-materi yang pernah didapaat saat masih menjalani formasi di Magis. Kami kembali mendalami materi yang tetapi dengan lebih banyak contoh konkret dan pandangan yang baru.
“Saling Membantu Untuk Sembuh Dari Luka”
Kalimat “Mari Saling Membantu Untuk Sembuh Dari Luka” merupakan kalimat awal yang aku kulihat dan baca pada power point sesi sejarah hidup yang dibawakan Romo Nano pada tanggal 5 September 2021 lalu. Pada power point tersebut Romo Nano menampilkan gambar yang menurutku unik dan mempunyai makna yang mendalam, seseorang yang tubuhnya penuh dengan begitu banyak panah yang menusuk, membantu temannya yang terluka karena tertusuk sebuah anak panah. Gambar tersebut menambah kesan menarik dan membuatku penasaran akan maknanya.
Bagiku, kalimat “Mari Saling Membantu Untuk Sembuh Dari Luka” beserta gambar seseorang yang membantu temannya yang terluka merupakan kesimpulan dari seluruh materi “sejarah hidup”. Mengapa demikian?
Dalam hidup, seseorang akan melewati berbagai macam proses, yang terkadang di dalamnya terdapat sebuah “luka”. Luka itu perlu diterima, dipeluk, dan diolah. Untuk itu, diperlukan pemahaman bahwa yang utuh tentang diri. Sebab, kondisi saat ini (sekarang) dipengaruhi oleh masa lalu dan diri kita di masa depan juga dipengaruhi oleh apa yang dilakukan saat ini. Luka juga ibarat mata rantai yang akan terus mengikat jika tidak diolah dan diterima dengan baik. Untuk menyembuhkannya, diperlukan keterbukaan dan penyerahan yang utuh kepada Yesus Sang Maha Penyembuh. Seperti yang disampaikan oleh Romo Nano dalam kisah Yesus menyembuhkan orang lumpuh (Markus 2:1-12), di mana ada 4 orang yang datang kepada Yesus membawa orang lumpuh untuk disembuhkan. Mereka percaya bahwa Yesus dapat menyembuhkan, maka orang lumpuh itu dapat berjalan. Dari kisah ini kita lihat bahwa karena keterbukaan dan kepercaya orang yang lumpuh terhadap Yesus dan kemauannya untuk menerima serta mau dibantu oleh keempat orang yang menggotongnya, orang lumpuh itu dapat berjalan; sembuh.
Seperti halnya keempat orang yang menggotong si lumpuh kepada Yesus, kami para pengurus diundang menjadi pribadi-pribadi yang punya hati dan kehendak untuk menemani para formasi agar dapat menjumpai Tuhan yang mereka rindukan. Sesi Training For Trainers (TFT) sejarah hidup mengundang pengurus agar seperti 4 orang yang menggotong orang lumpuh kepada Yesus. Menjadi sarana bagi orang lain untuk dapat melihat kasih Yesus di balik sebuah luka, sehingga mampu menerima diri apa adanya sebagai pribadi yang dicintai oleh Allah.
“Kembali Belajar Dari Ignatius”
Setelah sesi sejarah hidup, sore harinya kami mendalami materi Autobiografi St. Ignatius Loyola bersama Romo Koko. Ada dua kisah perjalanan kisah St. Ignatius Loyola yang menyentuh bagiku. Pertama, terluka di Pamplona. Saat itu Ignatius bernama Inigo kala itu merupakan seorang ksatria keturunan bangsawan yang memiliki ambisi duniawi yang besar. Ambisi itu runtuh ketika ia dan prajurit lainnya kalah perang melawan tentara Prancis. Kakinya terluka parah akibat terkena peluru meriam. Melalui peristiwa ini Tuhan membelokan arah hidup dan ambisi Ignatius. Di sini kita diajak untuk sadar bahwa pembelajaran dapat diambil dari ambisi yang dipatahkan. Rencana Tuhan kerap tak terduga. Tuhan dapat membelokan hidup manusia melalui berbagaimacam peristiwa, baik suka ataupun duka, sehat ataupun sakit. Peristiwa di Pamplona menuntun dan mengajak kami para pengurus untuk peka terhadap rancangan-Nya serta penyertaan-Nya. Dalam peristiwa terluka sekalipun, Tuhan dapat berkarya dan menuntun manusia untuk dapat menemukan makna dan arah kehidupan.
Kedua, St. Ignatius di Montserrat. Di tempat ini, Ignatius menanggalkan atribut “keduniawian,” pedang dan pakaian ksatrianya. Pengurus diundang belajar dari Ignatius untuk berani melepaskan diri dari kelekatan pada hal-hal duniawi yang terkadang membuat kita terlena dan jauh dari Tuhan. Saat ini misalnya. Kita seringkali terlena pada gadget, dalam satu genggaman dapat mengeksplore seluruh dunia. Kerap, karena keseringan, kita lupa waktu, bahkan lupa menyediakan waktu untuk Tuhan, lupa untuk menyapa-Nya, serta tuli akan sapaan-Nya.
Dalam konteks ini, sebagai pengguna aktif teknologi-gadget (hasil karya pikiran manusia yang merupakan anugerah dari Tuhan), hendaknya kita menggunakan teknologi-gadget sebijak dan sediskretif mungkin agar sungguh menjadi sarana yang membawa kita mendekat kepada Tuhan, bukan sebaliknya.
TFT Autobiografi St. Ignatius Loyola ini sungguh mengundang setiap pribadi untuk belajar dari setiap perjalanan dan pengalaman St. Ignatius. Harapannya, kita pun dapat mememtik buah-buah penting yang mampu membuat kita semakin mengenal Tuhan dan menjadi perpanjangan rahmat bagi sesama agar semakin banyak orang pun merasakan kasih-cinta Tuhan yang sama, sebagaimana yang sudah, sedang, dan akan selalu rasaukan.
Anna Maria Ajeng Kusumawardani
Saya Anna, Lahir dan besar di Jakarta. Saat ini kesibukannya yaitu mahasiswa yang sedang mengejar cita- cita menjadi pelayan masyarakat yang terinspirasi dari kerendahatian sosok Ibu Theresa. Motto hidup adalah Tangan Tuhan selalu ada untuku, maka dari itu jadilah tangan Tuhan juga untuk orang lain. Menjalani formasi Magis di tahun 2019