“The most important thing in life is to learn how to give out love, and to let it come in.”
Demikian Morrie Schwartz mencoba menjelaskan hal terpenting yang dilakukan oleh seorang manusia. Morrie adalah seorang dosen di sebuah universitas tempat di mana Mitch Albom, sang penulis novel Tuesday with Morrie pernah menimba ilmu. Dalam bukunya tersebut, Albom menceritakan pengalaman perjumpaannya kembali dengan Morrie setelah sekian lama tidak bertemu. Ketika Albom masih kuliah, mereka berdua kerap melakukan pertemuan setiap hari selasa untuk membahas hal-hal yang menarik perhatian mereka. Namun, perjumpaan tersebut terputus setelah Albom lulus kuliah dan mulai meniti karirnya di kota lain.
Perjumpaan yang mereka lakukan puluhan tahun kemudian menjadi menarik karena Albom berjumpa dengan Morrie yang sudah tidak berdaya akibat menderita sakit Amyotrophic Lateral (ALS). Di atas keranjang tempat tidurnya, Morrie kembali mencoba menjawab macam pertanyaan kehidupan yang diajukan oleh Albom. Beberapa topik diantaranya adalah tentang kematian, rasa takut, hidup keluarga, komunitas, cara memaafkan, hingga topik tentang makna hidup.
Salah satu kutipan menarik dalam buku ini adalah saat Morrie membagikan pandangannya bagaimana gaya hidup atau budaya dewasa ini membuat banyak orang menjalani hidup tanpa makna:
“The culture doesn’t encourage you to think about such things until you’re about to die. We’re so wrapped up with egotistical things, career, family, having enough money, meeting the mortgage, getting a new car, fixing the radiator when it breaks-we’re involved in trillions of little acts just to keep going. So we don’t get into the habit of standing back and looking at our lives and saying, is this all? Is this all I want? Is something missing? You need someone to probe you in that direction. It won’t just happen automatically.”
Kebudayaan dewasa ini membuat kebanyakan manusia tidak merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan akhirnya tidak merasa bahagia dengan apa yang ia miliki dalam hidupnya. Morrie bahkan menemukan banyak orang yang datang kepadanya merasa tidak bahagia dibandingkan dirinya yang sudah terbaring lemah di atas ranjang kamar tidurnya. “They’re more unhappy than me-even in my current condition. I maybe dying, but I am surrounded by loving, caring souls. How many people can say that?”
Manusia yang kehilangan makna hidup itulah manusia yang kehilangan kebahagiaannya. Manusia yang tidak sempat (atau bahkan tidak berani) untuk mengajukan beberapa pertanyaan penting dalam hidupnya seperti, “Have you found someone to share your heart with? Are you giving to your community? Are you at peace with yourself? Are you trying to be as human as you can be?” Pertanyaan-pertanyaan penting itulah yang seharusnya setiap manusia dapat ajukan dalam dirinya dan berusaha untuk menemukan jawabannya juga.
Lalu, apa arti kehidupan bagi Morrie sendiri? Apakah ia masih menemukan makna hidupnya di tengah situasi yang serba terbatas dan sulit untuk melakukan berbagai macam kegiatan? Dalam buku tersebut, Albom menuliskan bahwa Morrie mendefinisikan kehidupan sebagai sebuah rangkaian “the tension of the opposites” atau rangkaian tarik menarik sebuah karet. Di satu sisi kita ingin melakukan satu hal, namun di sisi lain kita juga terikat untuk melakukan sesuatu yang lain. Hidup baginya seperti hidup di dalam ketegangan setiap harinya. Sebuah ketegangan yang berlawanan satu sama lain, seperti tarikan pada sebuah karet gelang. Namun, Morrie menemukan bahwa di tengah ketegangan satu sama lain tersebut, cinta yang pada akhirnya membuat semuanya berarti. Cinta yang selalu menyatukan dan menenangkan serta memenangkan ketegangan dalam hidup kita. “Love wins. Love always wins.”
Dari rangkaian “the tension of the opposites” tersebut, Morrie menemukan bahwa hal terpenting dalam hidup manusia adalah bagaimana kita harus belajar untuk memberikan cinta dan membiarkan cinta dari luar masuk ke dalam diri kita. Ia bahkan mengutip apa yang dikatakan Stephen Levine bahwa cinta hanyalah sebuah tindakan rasional. “The most important thing in life is to learn how to give out love, and to let it come in. Let it come in. We think we don’t deserve love, we think if we let it in we’ll become too soft. But, a wise man named Levine said it right. He said, Love is the only rational act. ”
Maka, dapat disimpulkan bahwa buku ini berkisah tentang perjalanan manusia yang berusaha untuk berbagi makna hidup di tengah berbagai macam pergulatan dan kesulitan hidup yang dihadapi, baik sakit keras yang dialami oleh Morrie maupun kekosongan hidup yang dialami Albom. Menemukan kembali topik tentang makna hidup dalam novel tersebut, saya pun teringat akan salah satu topik dalam kuliah Filsafat Manusia yang membahas hal yang serupa. Pernah disebutkan bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki makna hidupnya masing-masing dan makna hidup setiap manusia pun dapat berubah-ubah tergantung situasi dan kondisi kehidupannya. Jika melihat kisah hidup Morrie Schwartz, ia juga menemukan kembali makna hidup yang baru setelah menderita penyakit ALSnya. Ia mampu menemukan makna hidup disaat masa-masa menuju kematiannya, “Once you learn how to die, you learn how to live.”
Daftar Pustaka
Albom, Mitch. Tuesday with Morrie. United States of America: Doubleday, 1997.
Fr. Antonius Septian Marhenanto, SJ
Seorang Frater Jesuit yang sedang menjalani Tahun Orientasi (TOKer) di Rumah Retret Panti Semedi Klaten dan membimbing retret Ignasian khususnya untuk orang muda, anggota Komunikator Serikat Yesus Provinsi Indonesia. Menyukai dunia komunikasi dan spiritualitas. Sebelum masuk Serikat Yesus, pernah melakukan studi di President University jurusan Public Relations dan pernah bekerja di Communication Consultant di Jakarta. Formasi Magis Jakarta tahun 2011.