Setelah sekian tahun di Australia, akhirnya aku merayakan Natal di rumah dan untuk pertama kalinya kami melakukan rekonsiliasi keluarga yang terinspirasi dari MAGIS episode sejarah hidup.
Dalam tradisi orang batak, ada tradisi “mandok hata” di pergantian tahun ketika semua orang harus bergantian mengucapkan sepatah dua patah kata yang biasanya sangat singkat sekitar 5 menit per orang. Rekonsiliasi keluarga kami berlangsung dari jam 7 – 11.30 malam. Banyak airmata yang tertumpah, rasa lega, dan bahagia setelah bisa jujur satu sama lain. Saat itu, aku memang mempersempit tema hanya untuk luka batin agar kita bisa memeluk dan berdamai dengan pengalaman tersebut dan menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
Ada satu kejadian yang agak lucu, ketika aku cerita mengenai MAGIS, ayahku bertanya apakah itu adalah rekrutmen untuk menjadi pastor/suster? (Aku pengen menikah pak. Percayalah ☺ )
***
Aku tak sabar menunggu untuk perbul ke-3 (Sejarah Hidup II) karena aku tidak bisa datang di bulan sebelumnya. Aku sangat terkesan, kaget tak percaya, karena beberapa hari setelah perbul pertama, aku dihubungi oleh frater untuk bimbingan tambahan di Pastoran.
Di mana ada komunitas dengan pelayanan sebagus ini? Aku sangat bersyukur bisa bergabung dengan MAGIS dan mengenal spiritualitas Ignasian. Kebetulan temen-temen aku juga bisa untuk circle di hari yang sama pas aku bimbingan dengan Fr. Cavin. Nikmat apa lagi yang aku dustakan ? ☺
Waktu yang ditunggu pun tiba. Kami menonton film The Shack yang menggambarkan kondisi seorang pria yang keluarganya hancur setelah putrinya dipanggil Tuhan. Ia tidak bisa menerima keadaan dan menyalahkan Tuhan atas kejadiannya.
Pada awalnya, film itu agak membingungkan. Ternyata, film ini berkisah tentang perjumpaan pria tersebut dengan Tuhan saat ia tidak sadarkan diri karena kecelakaan yang dialaminya, dan bagaimana ia berproses untuk berdamai dengan masa lalu: dengan tulus memaafkan ayahnya yang kasar kepadanya ketika masa kecil. Luka batin yang tidak sembuh, jika terbawa hingga ke masa kini, akan berdampak pada kemampuan untuk menerima kemalangan dalam hidup.
Satu hal yang paling kurasakan perbul kali ini adalah keberanian untuk jujur pada diri sendiri. Terkadang susah untuk jujur dan terbuka, karena takut dikira berbeda, menimbulkan masalah, terlalu memikirkan sesuatu, atau malu diketahui orang lain. Aku bersyukur dengan konsep kelompok kecil yang dirancang untuk suportif agar teman-teman menjadi nyaman untuk terbuka. Teringat salah satu isi artikel yang mengatakan bahwa being vulnerable is the key for healthy relationship.
Belajar bahwa bersikap jujur adalah langkah awal dari problem solving. Jujur memang membuat kita vulnerable, tapi ternyata justru di situlah Allah bekerja.
Beberapa kejadian yang kualami belakangan ini di Jakarta, membuatku merasa kecewa dan sakit hati kepada keluargaku. Sudah lama aku pergi merantau ke negara orang, dan ketika pulang, aku ingin menjalin hubungan baik dengan keluargaku, tapi justru kekecewaan yang semakin bertumbuh dalam beberapa bulan terakhir.
Melihat teman-temanku terbuka untuk bercerita, aku pun juga terdorong untuk bersikap terbuka. Aku merasa Tuhan tahu seberapa banyak air mata yang tertuang, dan seberapa leganya diriku bisa menceritakan apa yang pernah kualami. Aku bersyukur memiliki kelompok kecil dimana aku bisa nyaman bercerita.
Sangat lega rasanya ketika memiliki komunitas yang suportif agar dapat jujur pada diri sendiri.