Circle Jempol: Melalui Luka, Tuhan Hadir Untuk Memberikan Cinta

“Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu ‘jauh’, sudah menjadi ‘dekat’
oleh darah Kristus”

(Efesus 2:13)

 

A. Circle-ing 11 November 2018

Bercerita tentang Sejarah Hidup tentu bukanlah hal yang mudah. Terutama ketika bercerita kepada beberapa orang yang notabene baru dikenal selama sekian bulan. Biasanya, butuh periode pertemanan (atau persahabatan) tertentu untuk bisa membuka diri begitu dalam. Hanya segelintir sahabat yang dapat membuat kita mengingat kembali pengalaman pahit atau manis seperti apa yang pernah kita alami dulu, yang begitu membekas, membentuk kita menjadi seperti yang sekarang. Hanya orang-orang tertentu yang kita percaya untuk mendengar tanpa menghakimi. Dalam beberapa persitiwa, beberapa perasaan yang ingin diceritakan, pada dasarnya “didengarkan” saja sudah cukup.

Maka circle-ing di perbul kedua ini menjadi satu tantangan tersendiri bagi saya, sehingga timbul berbagai pertanyaan seperti:

Apakah hal ini perlu diceritakan?

Apakah orang-orang ini ‘layak’ untuk mendengarkan cerita saya?

Baikkah menceritakan hal ini kepada orang-orang di luar anggota keluarga kami?

Karena peristiwa ini memang tidak pernah sekalipun diceritakan kepada orang lain. Kami simpan rapi, kami lupakan, seolah tidak pernah terjadi. Tapi belakangan, ketika usia saya mungkin istilahnya mulai memasuki usia lebih matang dalam berpikir, ketika saya harus menafsirkan perasaan saya sendiri kepada lawan jenis, muncul keraguan dan ketakutan. Komitmen yang lebih tinggi dalam sebuah hubungan justru membuat saya jengah dan ingin lari.

Didasarkan oleh perasaan-perasaan tersebut, saya memutuskan mungkin sudah saatnya peristiwa ini diceritakan. Mungkin dengan mendengarkan diri saya sendiri menceritakan hal ini kepada orang lain, saya bisa menyembuhkan ‘luka’ tersebut. Mungkin dalam proses bercerita, saya justru akan menemukan sebuah ‘cinta’.

Mungkin, pada akhirnya, saya bisa berdamai dengan masa lalu.

 

Topik Tentang Keluarga

Ketika menceritakan Sejarah Hidup, keluarga jelas merupakan topik utama.

Orang tua, kakak dan adik, adalah orang orang yang menjadi tokoh utama, dengan time frame yang dimulai dari kita lahir.

Bagaimana kita menjadi seperti kita yang sekarang, dibentuk oleh peristiwa-peristiwa menarik dan tak terlupakan sepanjang umur. Dan cerita tentang keluarga merupakan topik utama dalam circle-ing ini.

Dalam berbagai peristiwa yang masing-masing dari kami ceritakan kembali, terlihat perasaan marah, perasaan dendam, perasaan tidak dihargai, perasaan iri, perasaan kehilangan.

Namun karena hal ini kami bicarakan bersama tanpa saling menghakimi, saling menyentuh hati, kami belajar mengenali bahwa ada juga perasaan ingin menjadi lebih baik, ingin merubah sudut pandang, ingin memahami, ingin menghargai, dan pada akhirnya, ingin bersyukur.

Pada akhir cerita, kami sadar ternyata pada dasarnya kami semua adalah sama. Seorang anak ingin marah, ingin protes kepada orang tuanya, entah ayah entah ibu. Contohnya, ke-tidak akur-an antara ibu dan anak perempuannya sudah hukum alam, begitu adanya. Pun antara anak laki laki dengan ayah mereka. Tapi tidak akur bukan berarti benci. Tidak akur hanya menunjukkan bahwa manusia memiliki cara yang berbeda beda dalam menunjukkan betapa mereka peduli dan mencintai orang lain.

Orang tua selalu ingin anak-anaknya hidup lebih baik dari mereka, meski terkadang kami sang anak, melihat cara yang dilakukan oleh orang tua kami sudah kuno, menyusahkan, menyebalkan.

Terkadang orang tua membandingkan anak-anak mereka dengan orang lain. Entah sepupu entah bahkan tetangga. Namun tanpa sadar anak pun membuat orang tua dalam versi mereka sendiri, sehingga ketika orang tua tidak dapat memenuhi ‘versi’ tersebut, sang anak pun menjadi marah. Kesimpangan yang sebenarnya mudah diurai melalui komunikasi.

Satu hal yang menarik untuk saya, adalah betapa Tuhan begitu terlibat dalam hidup kami. Apapun yang membentuk kami, Tuhan hadir untuk menyembuhkan, memberi pengertian, memberi kekuatan.

Saya sendiri pun, bila saya tidak percaya dengan kekuatan Tuhan ketika ‘luka’ itu terjadi, mungkin sudah menyeberang ke hal-hal negatif.

Tuhan memberi keseimbangan. Luka-luka yang muncul, disembuhkan dengan cinta. Kelak suatu hari nanti mungkin kami pun akan menjadi orang tua yang menyebalkan, dan anak-anak kami akan mengatakan cerita yang sama tentang betapa menyebalkannya kami sebagai orang tua.

Namun begitulah hidup menurut saya. Dalam sebuah gambaran besar, menjadi siklus yang sungguh menarik.

 

B. Circle-ing 17 November 2018

Circle-ing ini terasa lebih mudah. Entah karena bagian berat sudah lewat, atau karena kota Bogor memberi suasana baru 😀 Masih ada cerita tentang luka, namun yang dipenuhi keihklasan. Setiap orang, terlihat atau tidak, ternyata sedang berjuang dalam hidupnya.

Satu hal yang sangat menarik untuk saya, adalah perasaan cinta yang muncul. Ketika seseorang meluangkan waktunya untuk kamu, mengorbankan hal lain untuk ada di sisi kamu, membuat kamu bahagia, itulah CINTA. Ketika mereka sebenarnya bisa melakukan hal lain yang lebih penting atau lebih bermanfaat, namun mereka memilih untuk berada di sisimu, itulah CINTA.

Perasaan dicintai membawa kepercayaan diri. Perasaan dicintai memberi kehangatan yang kadang tidak kita sadari. Sometimes, we take it for granted. Lalu menyesal di kemudian hari. Bukan hanya dicintai, namun saya juga mulai ingin mencintai yang lebih tulus.

Kepada orang tua, memberi waktu yang lebih banyak. Telinga yang lebih mendengar. Hati yang lebih sabar. Doa yang lebih untuk mereka. Bersyukur. Berharap saya masih memiliki kesempatan membuat mereka bangga dan bahagia. Kepada Adik, memberi masa depan yang lebih baik, pemahaman yang lebih bijaksana, contoh yang dapat dibanggakan. Doa tanpa putus, bahwa adik saya tidak akan terjebak di tempat yang salah.

Mencintai lebih lagi mereka yang dapat saya peluk ketika terlalu banyak hal terjadi dan kelak mencintai pasangan saya tulus tak terbagi selamanya. Serta yang paling dari semua, mencintai Tuhan sepenuh hati sebagai komitmen tertinggi dalam hidup, untuk selalu setia hanya pada-Nyaeluangkan waktu lebih banyak lagi untuk bercerita, berkonsultasi, menyadari kehadiran-Nya.

Luka apapun yang terjadi di belakang, atau yang akan terjadi di depan, saya yakin dapat bertransformasi menjadi sebuah cinta, bila kita melibatkan Tuhan di dalamnya.



Helga Gerosa

Helga Gerosa adalah seorang pegawai negeri internasional, yang bekerja di salah satu UN Agency di Jakarta. “Carpe Diem” adalah motto yang menjadi andalannya, untuk selalu berbuat yang terbaik setiap hari tanpa perlu khawatir akan masa depan, karena toh Tuhan sudah ada disana. Sulung dari 2 bersaudara ini berharap untuk dapat lebih banyak bersyukur dalam hidup dan menemukan Tuhan dalam segala pekerjaan yang ia lakukan.


Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *