Oleh : Donovan Caesar Jonathan, Formasi Magis Jakarta 2016
A. Menjawab Sebuah Kerinduan
Aku percaya setiap orang memiliki motif dalam setiap keputusan, dalam setiap pilihan yang diambil, dalam setiap langkah yang dilalui. Motif yang dimiliki menjadi unik karena melekat pada diri seseorang, sekalipun dalam kasus yang identik. Ada latar belakang, ada nilai yang memiliki pengaruh dalam tindakan seseorang. Sekalipun pada akhirnya memilih hal yang sama, tetapi proses dan dinamika yang dihadapi akan berbeda. Begitu pula denganku sebagai pribadi. Keputusanku untuk ikut Magis didasari oleh beberapa peristiwa dalam hidup. Aku tidak pernah berpikir bahwa pada akhirnya aku akan berada dalam komunitas Jesuit, setelah beberapa tahun mengubur keinginan untuk mengenal Jesuit dengan Spiritualitas Ignatiannya. Hingga karena suatu peristiwa kesempatan untuk itu muncul dan memberiku dorongan yang kuat untuk mau memenuhi keinginan yang terpendam tersebut. Aku yakin, beberapa rekan yang lain juga pasti merasakan hal yang sama, tidak pernah berpikir sebelumnya dapat berada dalam komunitas ini. Tapi, Tuhan selalu punya rencana.
B. Berhadapan dengan Pilihan
Aku anak rantau di Jakarta. Dan sebagai anak rantau, aku punya waktu tertentu untuk pulang ke rumah. Sebenarnya, tanggal 10-12 September aku berencana pulang ke rumah karena bagiku saat yang tepat untuk menghabiskan akhir pekan yang panjang bersama dengan keluarga di rumah. Tetapi, Tuhan seperti mengujiku untuk memurnikan niatku. Di saat yang bersamaan, Magis juga berencana mengadakan Community Building. Sebagaimana namanya, tentu ini menjadi momen yang tepat apabila aku ingin berporoses di Magis untuk lebih mengenal komunitasku, terlebih untuk lebih bisa berproses dengan teman-teman formasi. Kemudian aku mulai berpikir dan menimbang baik buruknya apabila aku memilih pulang atau memilih ikut Community Building. Sebenarnya, aku sudah memesan salah satu tiket keberangkatan. Setelah kupertimbangkan, akhirnya aku memutuskan untuk ikut Community Building Magis 2016. Berproses lebih awal di momen yang memang ditujukan untuk membangun kebersamaan dalam 1 formasi tentu akan membawa dampak yang lebih positif bagiku dalam berproses 1 tahun ke depan.
Aku refund tiket Surabaya-Jakarta. Aku siapkan hati untuk mengikuti Community Building. Aku percaya, perjalananku sampai pada titik untuk bergabung dengan Magis adalah rancangan-Nya. Berbagai peristiwa yang aku alami sebelumnya, pertemuan dengan teman-teman Magis dalam perjalanan ke Tegal Panjang, sampai pada akhirnya aku mendaftar dan diterima di Magis adalah rancangan-Nya. Ia memberikanku banyak pengalaman, Ia membiarkanku jauh darinya untuk beberapa saat, membiarkanku mulai meninggalkan kebiasaan yang membuatku merasa dekat dengan-Nya.
Namun, kuasa-Nya atas hidupku terlalu besar. Pada akhirnya aku yang mulai merasa nyaman dengan hidupku mulai diberi cobaan. Dia memberikan persitiwa yang membuatku menjadi begitu rapuh, tetapi justru dalam kerapuhan itu aku kembali mau mencoba untuk dekat dengan-Nya dan berdamai dengan diri-Nya. Ketika manusia mengalami cobaan, bukan berarti Tuhan meninggalkan. Justru seharusnya manusia mau melihat bagaimana hubungannya dengan Tuhan. Jangan-jangan, cobaan yang dialami manusia justru adalah upaya Tuhan untuk menarik kita kembali kepada-Nya. Seperti Ignatius yang harus kalah perang dan cedera parah pada kakinya untuk kemudian bisa mengenal Tuhan dan memiliki panggilan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa dengan latihan rohani yang merupakan buah peziarahannya mencari kehendak Allah.
C. Find God in All Things
Di komunitas ini aku belajar tentang Ladoda dan Examen. Bagiku, ini adalah pengalaman yang baru. Terlebih dalam beberapa tahun ke belakang, aku merasa sangat jarang merasakan anugerah-Nya dalam setiap hal yang aku miliki dalam hidup, merasakan kehadiran-Nya dalam setiap gerak langkah yang aku alami sepanjang hari. Tentu tidak hanya aku yang memiliki pengalaman pertama ini. Ladoda dan examen juga mungkin merupakan pengalaman pertama bagi teman-teman yang lain. Sebagai sesuatu yang pertama kali dialami, tentu ada pembiasaan yang dilakukan. Dan berusaha untuk terbiasa bukanlah hal yang sepele. Satu hal yang aku bisa dapatkan dari proses ladoda dan examen adalah jelas bahwa Tuhan sudah begitu baik kepadaku dan Ia selalu hadir menyapaku dalam setiap peristiwa hidupku. Bahkan, dalam peristiwa yang sangat sederhana dalam hidup. Ketika pembagian kelompok outbound dan aku diminta menyanyikan sebuah lagu kemudian berkumpul bersama teman-teman yang menyanyikan lagu yang sama, aku merasa hidup pun demikian. Aku dan teman 1 kelompok outbound ini tidak semua saling mengenal pada awalnya. Tapi lagu yang kami nyanyikan menjadi semacam panggilan dan dorongan untuk bertemu dan berusaha bersama. Dan keinginan untuk bisa bekerjasama tidak akan bisa terwujud apabila tidak ada rasa syukur atas apa yang kita miliki. Rasa syukur akan kelompok yang dimiliki akan membuka hati dan diri untuk mau mendengarkan dan mengenal lebih dalam potensi dan batasan masing-masing pribadi dalam kelompok. Aku membutuhkan pengalaman bersama orang lain untuk bisa merasakan rahmat Tuhan yang melimpah dalam hidupku. Santo Ignatius pun membutuhkan pengalaman bersama dengan sahabat-sahabatnya untuk semakin menguatkan niatnya agar dapat menyelamatkan jiwa-jiwa. Pengalaman bersama teman-teman membuat Ignatius memiliki rasa syukur karena Tuhan hadir dan mengasihinya dengan mengirimkan mereka dalam hidup dan karya Ignatius. Bahkan, Ignatius sampai menyebut sahabat-sahabatnya yang kemudian bersama merintis jalan munculnya Serikat Yesus sebagai sahabat dari Tuhan. Aku pun bersyukur pada Tuhan karena memberiku pengalaman berproses dan berinteraksi dengan teman-teman baru di Magis. Aku percaya dan memiliki pengharapan untuk bisa semakin menemukan Dia dan kehendak-Nya dalam hidupku selama berproses di Magis juga untuk masa-masa yang akan datang.
D. Berani Mendengarkan, Berani Mengevaluasi
Pengalaman 3 hari selama Community Building di Wisma Erema memberiku banyak hal. Tidak hanya soal ladoda dan examen sebagai sebuah pengalaman baru, juga dalam setiap aktivitas yang aku lakukan di sana. Bahkan dalam interaksi dengan teman-teman, banyak hal yang sepertinya membuatku semakin kaya akan nilai. Seperti juga dalam setiap permainan yang dilakukan selama Community Building, ada nilai dan pembelajaran yang dapat aku ambil. Ada permainan yang berhasil diselesaikan dengan baik, tetapi ada juga yang aku rasa usahaku bisa lebih maksimal dalam kelompok. Tetapi, apapun itu, yang terpenting dalam setiap permainan adalah proses yang dialami bersama. Ada tiga permainan yang membekas dalam ingatanku. Pertama adalah permainan di Pos 1, kedua adalah permainan di pos 6 dan yang ketiga adalah permainan di pos 2. Ada makna dan hasil yang berbeda di setiap pos tersebut. Dari pos 1 aku belajar mengevaluasi diri. Di pos 6 aku belajar untuk bisa percaya diri dan mensupport rekan 1 tim. Dan di pos 2 aku belajar untuk berani gagal dalam mencapai tujuan yang diharapkan dan memperhatikan langkah orang yang berhasil sebagai referensi menuju tujuan yang dicapai. Pos 1 adalah pos tentang si buta dari gua hantu. Kelompok membentuk barisan dan aku paling depan untuk mendapatkan benda yang diinstruksikan. Aku mengibaratkan posisi ini sebagai eksekutor karena aku yang mengambil kepingan puzzle sesuai dengan yang diinstruksikan dan bekerja sesuai strategi yang sudah direncanakan di awal. Tapi, aku merasa gagal di pos ini. Aku terlalu berhati-hati dan terlalu “menikmati” keterbatasanku yang tidak dapat melihat. Seharusnya aku lebih agresif, meraup kepingan puzzle dalam jumlah yang banyak untuk memperbesar kemungkinan mendapatkan kepingan puzzle yang diminta. Penyesalan memang datang belakangan. Kalau di awal namanya persekot. Padahal, strategi kelompok sudah sangat bagus sehingga tidak melahirkan banyak kode yang membingungkan. Distribusi informasi untuk mengetahui puzzle yang aku pegang adalah puzzle yang diminta juga baik. Ketika strategi sudah direncanakan dan disampaikan dengan baik, tetapi hasilnya tidak memuaskan secara teori yang bisa disalahkan adalah eksekutor. Ya.. aku harus mengakui bahwa caraku mengeksekusi kurang tepat. Mengakui akan lebih baik daripada mencari pembenaran dan membela diri. Dengan mengakui maka kita akan lebih terbuka pada evaluasi diri dan menyadari ketidaksempurnaan diri kita. Dengan demikian, kita akan lebih membuka diri pada potensi untuk berkembang. Pos berkesan berikutnya adalah pos 6. Permainannya simple, tentang menyeberangi jaring, Tapi permainan ini butuh kepercayaan yang tinggi, tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga kepada rekan yang lain. Satu hal yang membuatku bahagia dan bangga adalah rupanya aku punya kemampuan untuk mengorganisasi kelompok tanpa harus menggurui atau menjadi bossy, tentu dengan support dari teman-teman. Menjadi pemimpin atau yang dipercaya untuk memimpin berarti mau rendah hati untuk mendengarkan dan menjadi sahabat. Selain itu, pemahaman akan potensi yang dimiliki oleh masing-masing anggota juga perlu dimiliki agar dapat bersama mencapai tujuan. Selain itu, menjadi pemimpin juga harus siap berkorban, siap untuk menjadi pijakan bagi yang lain, siap untuk menjadi yang terakhir sampai tujuan, siap dengan banyak rencana bila satu rencana rupanya tidak berhasil dilakukan. Pos terakhir yang memberikan kesan mendalam bagiku adalah pos 2. Permainannya mirip dengan salah satu permainan di handphone. Dari permainan ini ada 2 hal yang paling aku ingat. Pertama adalah silentium itu perlu. Kedua, kita perlu melangkah mundur untuk kemudian berani maju dan mencapai tujuan yang diharapkan. Kadang, ketika sedang berada dalam kesulitan atau sedang berada dalam kegagalan, hal yang biasa muncul adalah cemas dan mengutuk. Dalam kecemasan, kita akan sibuk berpikir dan penuh ketakutan akan kegagalan. Ketika pada akhirnya kita gagal, ketika lebih sering menyalahkan keadaan. Padahal, kadang ketika berada dalam situasi yang sulit dan mengalami kegagalan, kita perlu diam. Ketika menyadari perasaan cemas yang ada, kita perlu diam. Ketika kita ingin marah, kita perlu diam. Dan ketika kita diam itulah kita berusaha mencari kehendak Allah dalam hidup, mendengarkan Dia yang berbicara dalam hati kita, memahami apa yang menjadi kehendak-Nya dari kegagalann yang kita alami. Sehingga, ketika kita mau mencoba mendengarkan dan memahami kehendak-Nya, ada kelegaan yang dirasakan sebagai penghiburan dari Tuhan. Dari proses itulah move on terjadi. Kadang kita perlu gagal dan belajar dari kegagalan untuk menjadi lebih baik. Bukankah sebuah tim butuh kekalahan untuk kemudian membuka diri terhadap evaluasi?
E. Providentia Dei
Hidup adalah penyelenggaraan Illahi (providentia Dei). Dan “doktrin” itulah yang hidup sejak aku berada di lingkungan keluarga hingga selama lebih kurang 4 tahun aku berproses di asrama. Penyelenggaraan Illahi aku artikan juga sebagai takdir Tuhan. Hidupku saat ini, lampau dan masa yang akan datang, aku percaya ada campur tangan-Nya. Hidupku sampai pada titik yang sekarang juga pasti karena kehendak-Nya. Dia yang berkuasa atas hidupku pasti akan memiliki rencana yang baik, entah bagaimana bentuk dan prosesnya rencana tersebut dapat hadir dalam hidupku. Hanya Dia yang tahu. Seperti pengalamanku berada di Magis, mulai dari proses awal mengenal sampai kemudian memutuskan untuk masuk ke dalam komunitas ini aku percaya sudah menjadi kehendak-Nya di waktu yang tepat. Sebetulnya bisa saja sejak dulu aku ikut Magis, apalagi teman dekat yang tinggal serumah denganku sudah lebih dulu di Magis. Temanku tersebut juga selalu mengajakku untuk bergabung di Magis. Tapi, aku selalu saja punya alasan. Sampai pada akhirnya satu peristiwa yang membuatku rapuh dalam hidup datang dan mengubah segalanya. Ada kerinduan yang kuat untuk kembali dekat dengan Tuhan dalam tradisi Katolik, setelah beberapa tahun lebih dekat dengan gereja lain dan mengalami kebimbangan dalam cara beribadah. Rencana Tuhan selalu tepat di waktu yang tepat. Hal itulah yang aku rasakan dalam prosesku untuk mau berproses di Magis. Proses yang aku alami membuatku merasa bersyukur. Aku percaya rasa yang sama juga mungkin dirasakan oleh rekan-rekan lainnya yang baru pertama kali berproses di sini. Bahwa ada dorongan yang kuat di dalam diriku untuk “bergerak” menuju Magis. Proses tidak resmi aku mengenal Magis adalah pendakian ke Tegal Panjang. Ketika temanku mengajak aku untuk ikut naik ke Tegal Panjang, ada dorongan yang kuat untuk mengiyakan. Kemudian ketika ada pendaftaran di Magis, ada dorongan kuat juga untuk mendaftarkan diri. Dorongan kuat itulah yang aku yakini dengan bagaimana Tuhan berbicara padaku, menunjukkan jalan-Nya kepadaku. Beberapa teman di Magis juga aku yakin pasti merasakan dorongan yang kuat dalam dirinya. Setiap orang yang terlalu nyaman dengan hidupnya dan kemudian menjadi jauh dengan Tuhan yang diyakininya, akan memiliki sebuah titik balik yang membuatnya akan kembali kepada Tuhan Allah yang hidup dalam hatinya. Titil balik berupa pengalaman, perasaan atau pikiran itu pasti sudah menjadi rencana-Nya dalam hidup kita. Ada kegembiraan ketika kita berjalan dalam jalan-Nya. Aku tidak ingin menyamakan diri dengan para kudus karena jelas aku jauh dari kriteria itu. Tetapi banyak para kudus muncul dari mereka yang menjauhkan dirinya dari Allah untuk kemudian bertobat. Sebuah titik balik kehidupan itulah yang rupanya menjadi cara Tuhan yang paling sering untuk memanggil anak-Nya dan menyatakan kehendak-Nya. Dan kadang titik balik itu harus sesuatu yang menyakitkan bagi hidup seseorang. Santo Ignatius pun harus mengalami luka parah untuk kemudian “bertemu” dengan Tuhan yang menggerakkan hatinya untuk bertobat hingga menjadi rasul, membentuk sebuah serikat yang memiliki pengaruh besar bagi peradaban dunia.
F. Ad Maiorem Dei Gloriam
Aku bersyukur dengan segala yang aku miliki saat ini, pengalaman baru, teman-teman yang baru, proses pendewasaan iman yang bahkan benar-benar baru buatku. Dari rangkaian proses yang aku alami selama Community Building, aku menyadari betapa kerdilnya diriku di hadapan Tuhan. Bahwa hidupku adalah sepenuhnya milik-Nya. Dia selalu mau berbicara denganku, berusaha menggerakkanku demi menyatakan kemuliaan-Nya yang lebih besar di dunia. Segala yang aku putuskan, aku pikirkan, aku rasakan, semoga selalu dapat melibatkan Dia yang memilki hidupku sepenuhnya. Semoga aku mampu lebih mendengarkan Dia dengan kehendak-Nya dalam hidupku. Semoga aku lebih membuka hati dan diri untuk mengandalkan Dia dalam hidupku, membiarkan Dia mengarahkan hidupku lewat pikiran dan perasaan yang aku miliki.