Spiritualitas ”Kemurahan Hati”

Semakin kita dekat pada Tuhan, semakin terbuka kita untuk menerima anugerah kebaikanNya.

(Ignasius Loyola)

Spiritualitas ”Kemurahan Hati”

Seandainya ada keutamaan yang sungguh ingin dilaksanakan oleh Ignasius dan para sahabat pertamanya, pastilah itu keutamaan ”murah hati.” Maka, wajar kalau kita menemukan aneka ungkapan Ignasian berkaitan dengan ”kemurahan hati.” Entah itu magis; Ad Majorem Dei Gloriam; atau ”pujian dan pelayanan yang lebih besar”;1 atau ”cinta harus lebih diwujudkan dalam perbuatan daripada dalam kata-kata” (LR 230); atau pergi ke tempat yang lebih dibutuhkan (Kons. 622). Semua itu menantang kesungguhan jiwa besar kita dalam mencintai dan melayani Tuhan dalam segala.

Semangat jiwa besar (grande animo – LR 5) mulai membakar Ignasius saat proses pemulihan kesehatannya di Loyola (1521), sewaktu ia mulai membaca karya Ludolphus dari Saxonia Riwayat Hidup Kristus (Vida di Cristo) dan kehidupan para kudus Kisah Para Kudus (Flos Sanctorum) karya Jacobus de Voragine. Digerakkan oleh pemberian diri total para kudus ini, khususnya St. Dominikus dan St. Fransiskus Asisi, Ignasius membayangkan apa yang akan terjadi jika ia melakukan yang telah mereka buat. Kerinduan ini memuncak dengan keputusannya untuk pergi ke Yerusalem dan meniru laku tapa para kudus seperti ”biasanya ingin dilakukan oleh orang yang besar hati (animo generoso), yang berapi-api karena Allah” (Auto. 9). Sejak itu, roh kemurahan hati ini menggerakkan Ignasius untuk melakukan hal-hal besar bagi Tuhan dan selalu mencari ”pilihan yang lebih baik” demi kemuliaan Allah.

Semangat murah hati ini menjadi ciri penentu spiritualitas Ignasian, seperti yang dicatat oleh seorang penulis, Anh Tran, berikut:

(Spiritualitas Ignasian) adalah Spiritualitas Kemurahan Hati, hidup demi lebih besarnya kemuliaan Allah … sebuah jawaban terhadap cinta dan kemurahan hati Allah Tritunggal yang mencipta, menebus, dan terus menerus menarik manusia untuk makin mendekat kepadaNya.

Makna Dasar

Bagi Ignasius, Kemurahan Hati selalu ”relasional”. Artinya, harus selalu dipandang dalam terang relasi personal dan penuh kasih diri kita dengan Tuhan. Tanpa relasi kasih ini sangatlah sulit untuk mengambil ”pilihan yang lebih baik.” Dan di sini ”pilihan yang lebih baik” selalu berarti yang ”lebih” berkenan kepada Tuhan.

Satu pertanyaan penting adalah: ketika berdiskresi, seberapa pastikah kita bisa mengatakan bahwa pilihan tertentu ”lebih” berkenan kepada Allah dan karenanya merupakan tanggapan yang ”lebih” murah hati dari pihak kita?

Kiranya jawaban Ignasius begini. Pilihan yang memberi kita sukacita, iman, harapan, kasih, damai yang lebih dan kesesuaian batin dengan Tuhan – singkatnya hiburan rohani yang lebih besar – adalah ”pilihan yang lebih baik.” Jika karena semangat dan intensitas konsolasi satu pilihan tertentu telah ditimbang sebagai ”pilihan lebih baik,” maka bisa dikatakan bahwa ”pilihan yang lebih baik” itu juga ”lebih” berkenan dan merupakan tanggapan yang ”lebih” murah hati kepada Tuhan dan pada saat itu merupakan panggilan dalam hidup kita.

Faktor objektif dan fakta dari luar yang terkait dengan prioritas kerasulan atau kebutuhan nyata komunitas yang kita layani, harus dipertimbangkan juga. Apa pun faktor yang memengaruhi, kita harus mempertimbangkan dan menguji dengan cermat aneka unsur subjektif dan objektif tersebut dalam proses diskresi.

Hal itu dialami Fransiskus Xaverius (1506-1552) ketika harus memilih dua alternatif yang baik: tinggal di India atau pergi ke Jepang. Setelah berdiskresi, ia berkata, “Gagasan pergi ke Jepang takkan kutinggalkan, karena perasaan meluap dalam jiwaku (maksudnya hiburan rohani), sekalipun bahaya akan menimpa diriku lebih berat dibandingkan dengan bahaya yang telah kualami.” Akhirnya setelah menimbang kriteria subjektif dan objektif, bagi Xaverius pergi ke Jepang adalah ”pilihan yang lebih baik” terutama karena lebih banyaknya hiburan rohani yang menyertai pilihan tersebut. Dan karena ini ”pilihan yang lebih baik” baginya, maka pilihan tersebut, pada saat itu, merupakan tanggapan yang ”lebih” murah hati dan ”lebih” berkenan kepada Allah.

Dari uraian di atas tampak satu pokok penting tentang pemahaman Ignasius mengenai kemurahan hati bahwa keutamaan ini tidak didasarkan pada ”kuantitas”, tapi pada ”kualitas”. Artinya, kemurahan hati Ignasian tidak mencakup pembaktian diri pada lebih banyaknya aktivitas – seperti lebih banyak karya, lebih banyak paroki, lebih banyak sekolah, lebih banyak retret, dengan pemikiran bahwa semakin berlipat ganda pelayanan, semakin kita berjiwa besar di hadapan Allah. Kenyataannya, dalam Kons. (622-623), Ignasius menunjukkan kriteria tertentu dalam memilih karya. Ini dilakukan karena ia sadar bahwa sumber daya, khususnya personel, selalu terbatas. Kemurahan hati yang tidak didiskresikan, akhirnya hanya menjadi caritas indiscreta (Kons. 217). Dan ”kasih non-diskretif” niscaya menjauhkan kita dari Allah.

Secara keseluruhan, kemurahan hati Ignasian lebih bicara tentang kualitas sikap dan disposisi batin kita – seperti lebih rendah hati, lebih jujur dan tulus, lebih terbuka dan adaptif, lebih berani, lebih tidak lekat, lebih percaya, singkatnya, lebih menyerupai Kristus (Christ-like). Memang sikap menyerupai Kristus inilah yang paling penting, sehingga ketika Tuhan bicara dan mewahyukan kehendakNya kepada kita, kita dapat mendengarNya dan mendengar konsolasi kita, dan menanggapinya secara lebih otentik sesuai dengan tuntunan Roh. Bagi Ignasius, tanpa ragu, hanya dengan jiwa besarlah kita bisa mengabdi Tuhan dengan pantas.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *