Aku Jadi Korban Rantai Kebaikan

Hari ini aku baru pulang dari kegiatan MAGIS Immersion Experiment 2024 yang berupa kegiatan live in.  Aku merasa tidak excited ketika akan mengikuti live in. Hari itu menuju long weekend dan perasaanku belakangan ini sedang sangat kalut. Aku sedang bersedih karena berbagai macam masalah, mulai dari pekerjaan, pertemanan, hingga percintaan. Aku merasa kesepian dalam keseharianku sehingga berharap long weekend itu bisa kugunakan untuk liburan atau healing saja. Tapi malah harus berangkat live in. Kenapa sih harus live in? Aku sudah pernah live in dan rasanya tuh biasa saja, tidak ada kesan yang ‘wah’. Paling rasanya live in ini juga akan sama saja. Toh aku sudah sering menyumbangkan tenaga untuk kegiatan OMK dan tidak ada kepuasan batin yang memenuhiku. Kalau healing kan bisa membuatku senang ya, memang kalau live in bisa? Gak yakin sih. Hanya saja aku tetap yakin pasti ada sesuatu yang aku dapatkan dari live in ini, entah apa itu. 

Pada awalnya, aku mengikuti live in sekedar untuk memenuhi komitmenku sebagai anggota MAGIS Jakarta. Walaupun ya sebenarnya bisa saja aku gak ikut dengan beragam alasan. Hanya saja sebagai orang dewasa, aku perlu melakukan apa yang seharusnya aku lakukan (dalam hal ini komitmenku untuk hadir di setiap kegiatan MAGIS Jakarta). Aku membayangkan bahwa di tempat live in, aku akan banyak melibatkan diri di semua kegiatan induk semangku. Ini karena tujuanku datang live in ialah untuk melayani, mewujudkan kehadiran Allah untuk kaum tersingkir. Aku sudah menyiapkan diri untuk itu dan sudah berniat ingin menyumbangkan tenagaku secara maksimal. Dalam keadaan silentium, aku juga ingin banyak merefleksikan rahmat apa yang kudapatkan dari kegiatan live in ini. 

Aku live in di Muara Angke Blok Eceng, Jakarta Utara bersama dengan dua orang anggota MAGIS yang lain. Aku baru berkenalan dan berinteraksi dengan mereka sehari sebelum live in. Kami tinggal bersama dalam satu rumah karena di daerah itu hanya ada satu rumah yang mau menerima kami, yaitu rumah Ibu Maskamah. Kesanku setelah satu hari tinggal dengan Ibu Maskamah  adalah aku merasa sangat diterima dan dilayani. Padahal aku datang untuk melayani dia, tapi kok malah aku diperlakukan seperti tamu terhormat. Aku heran sih. Ibu Maksamah ini kan berkekurangan, tapi kok dia malah terkesan mengada-adakan dan mengutamakan kenyamananku. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, apa untungnya buat dia? Dia kan gak diberi uang oleh MAGIS. Aku juga belum tentu akan memberi sesuatu untuk dia. Emang dia gak takut rugi atau takut akan menjadi sia-sia ya ketika sudah melayani aku sampai sebegitunya.

Suasana kebersamaan di rumah Ibu Maskamah

Selain dilayani, aku juga merasa disambut layaknya pulang ke rumah keluargaku sendiri. Lagi-lagi aku terheran, kita ini kan gak saling kenal, kok dia mau sebaik ini ya sama aku? Dia bahkan takut gak bisa memberikan pelayanan yang proper bagi kami selagi live in di rumahnya. Kalau aku, gak mungkin sih aku kayak gitu sama orang asing. Yang ada aku takut kalau orang asing masuk ke rumahku. Ibu Maskamah menerangkan padaku bahwa dia menyambutku sebaik ini karena dia berharap ketika anaknya merantau di negeri orang, anaknya pun diperlakukan sama baiknya. Pemikiran yang bagus menurutku. Aku  gak nyangka, orang dengan pendidikan terbatas ternyata aware dengan hukum ‘tabur-tuai’ karena orang-orang dengan pendidikan terbatas yang kukenal kebanyakan tidak bijak seperti Ibu Maskamah.

Lewat Ibu Maskamah yang mau menerimaku seorang asing dengan sangat hangat, aku merasa sedang berada dalam cerita-cerita dalam Kitab Suci. “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan” (bdk. Mat 25:35). Oh, jadi ini ya rasanya sosok Allah hadir lewat sesamaku. Hal itu akhirnya memunculkan pertanyaan dalam diriku: apa ya yang bisa aku lakukan untuk juga menghadirkan sosok Allah bagi Ibu Maskamah selama aku tinggal di sini?

Pertanyaan itu memunculkan ketergerakan sebagaimana sudah kubayangkan sebelumnya maupun yang menjadi niat awalku, yaitu untuk terlibat dan menyumbangkan tenaga.  Kenyataan rupanya berbanding terbalik dengan apa yang kubayangkan. Tenagaku di sini tidak banyak dimanfaatkan. Ibu Maskamah sangat gak enakan untuk minta tolong padaku. Sempet sebel juga sih karena niatku tidak terlaksana. Aku ngerasa sungkan aja gitu. Harusnya kan aku yang melayani dia tapi kok malah kebalikannya sih. Harusnya gak gini. Aku gak suka ketika sesuatu terjadi dengan tidak ideal. Akhirnya aku minta-minta pekerjaan pada Ibu Maskamah. Dia memberiku pekerjaan yang ringan-ringan. Ya sudah, kulakukan saja tugas-tugas itu sepenuh hati sekalipun pekerjaannya sederhana sekali. Demikian tetap ada beberapa tugas sederhana yang sukar untukku karena tidak biasa, seperti mengulek sambel. Tapi ya sudah, kuusahakan sebisaku karena memang bantuan itu yang Ibu Maskamah butuhkan dariku. Dari sini aku mendapatkan ilham bahwa melayani itu gak melulu dalam rupa hal yang besar dan hebat. Tidak apa-apa kalau yang bisa kuberikan atau kulakukan untuk sesamaku adalah hal yang kecil dan sederhana. Yang penting aku melakukannya dengan tulus dan sepenuh hati. 

Ketika melayani Ibu Maskamah, aku dapat merasakan ketulusannya. Semua hal yang dilakukan untukku rupanya menggerakan hatiku untuk berbuat yang sama, baik itu kepada Ibu Maskamah maupun juga kepada orang lain. Aku merasa bahwa aku telah dikasihi sehingga aku juga ingin mengasihi. Mungkin ini yang namanya ‘rantai kebaikan’. Salah satu teman circle-ku di MAGIS pernah bilang kalau kebaikan itu menular. Setiap kita menerima kebaikan, pasti kita juga tergerak untuk melakukan kebaikan. Ajaibnya, ketergerakan untuk melakukan kebaikan itu tidak hanya kepada orang yang telah mengasihi kita lebih dulu. Melainkan dapat dilakukan kepada siapa saja. 

Aku sempat diajak Ibu Maskamah jalan-jalan bersama tetangga di satu blok. Kami jalan-jalan ke PIK naik odong-odong. Ibu Maskamah membawa anak bungsunya dan satu anak tetangga. Ketika dalam perjalanan, mereka memberi camilan untuk dibagikan di odong-odong itu. Ibu Maskamah juga membeli camilan itu. “Mereka guyub banget deh,” gumamku dalam hati. That’s good. Ibu juga tidak menagih biaya camilan itu dari mereka. Setibanya di tempat tujuan, Ibu Maskamah menawarkan anak bungsunya, anak tetangga, dan aku untuk jajan. Dia menawari aku membeli bakso dan makanan lain yang harganya tidak murah. Ibu Maskamah orangnya royal sekali. Padahal dia sedang memiliki masalah finansial. Aku yang -puji Tuhan- berkecukupan ini saja tidak se-royal itu kepada orang lain. Pantas, rezeki Ibu Maskamah mengalir terus. Selama di rumahnya, aku merasa tidak berkekurangan, makanan yang disediakan untuk kami sekeluarga selalu bervariasi dan enak. Kebanyakan ialah ikan hasil tangkapan suami Ibu Maskamah di tempat pengolahan ikan. 

Ketika berbincang santai dengan Ibu Maskamah menjelang tidur, aku jadi memahami pola pikirnya seperti apa. Ibu Maskamah ini beragama Islam. Ia sangat menekankan anak-anaknya untuk rajin sholat dan mengaji. Dia orang yang takut akan Tuhan dan menggantungkan keberlangsungan hidupnya pada Tuhan. Mungkin itu menjawab pertanyaan mengapa ia begitu baik padaku. Dia tidak pernah perhitungan soal uang sebab di dalam benaknya tertanam, ‘Tuhan akan baik pada saya kalau saya terus berbuat baik.’ Maka dia fokus berbuat baik saja. Dia yakin Tuhan akan mencukupkan rezeki untuk hidupnya dan anak-anaknya. Ketika Ibu Maskamah mengutarakan prinsip-prinsip hidupnya, mataku berkaca-kaca karena aku melihat kemiripan antara Ibu Maskamah dengan mamaku. Mama sering berpesan hal yang serupa kepadaku. Aku melihat Ibu Maskamah dan mama sama-sama selalu berprasangka baik pada Sang Pencipta. Rasanya aku pengen ketemu mama saat itu juga. Aku kangen sekali, pengen nangis dan memeluk mama. 

Sharing hasil pengendapan Live In Immersion Experiment

Selain terkesan dengan sosok Ibu Maskamah, aku juga terkesan dengan teman-temanku yang tinggal bersama di rumah Ibu Maskamah. Kami adalah teman seperjalanan yang baru saling mengenal. Kami banyak menghabiskan waktu bersama dan berbagi cerita. Aku beruntung dapat berjumpa dan berdinamika dengan mereka. Melalui kebersamaan dan cerita-cerita yang kami bagikan, aku belajar banyak tentang bagaimana merespon kekhawatiran hidupku. Aku mendapat banyak ilham baru tentang bagaimana memandang suatu hal. Cara pandang yang dibagikan padaku itu merupakan hal yang positif dan membuatku lebih bijaksana. 

Sebenarnya hidup ini tinggal dijalani saja. Tidak perlu terlalu khawatir karena Tuhan akan selalu mencukupkan hidup kita. Contoh nyata pertama ialah Ibu Maskamah dan contoh lainnya ialah diriku sendiri. Sebelum berangkat live in, aku khawatir akan susah makan karena aku pemilih makanan. Aku takut di sana aku tidak bisa makan banyak dan berujung sakit. Tapi di sisi lain, aku yakin kalau aku akan baik-baik saja selama live in karena aku percaya bahwa Tuhan menyertaiku dan aku tidak akan berkekurangan. Terbukti, aku diberi induk semang yang pandai memasak dan makanan yang dihidangkan lezat. Tuhan senantiasa membuktikan penyertaan-Nya. Dia selalu memberikan apa yang aku butuhkan. Lantas, apa gunanya kekhawatiran itu? 

Setiap kali mengakhiri doa bersama, salah seorang temanku selalu mengucapkan, “Bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mu lah yang terjadi.” Wow, aku sering mendengar ayat itu. “Ya Bapa, jikalau Engkau berkenan, ambillah cawan ini dari hadapan-Ku. Tetapi jangan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi (bdk. Luk 22:42).” Aku belum berada di tahap itu. Aku masih ada di tahap memaksa Tuhan untuk mengabulkan permintaanku. Akupun merenungkannya. Bukankah sudah terbukti kalau rancangan Tuhan lebih baik dari rancangan manusia? Mungkin rancanganku bisa membawaku pada sukacita dan kesenangan. Tetapi bukankah rancangan Tuhan sudah pasti membawa sukacita yang lebih dahsyat? Bukankah Dia sudah pasti akan memberikan semua yang aku butuhkan? Mengapa aku tidak berdoa seperti temanku ini? Sepertinya dalam hidupku saat ini, masih banyak kekhawatiran yang tidak perlu. 

Kebersamaan penulis dengan kelompok yang Live In Immersion Experiment di Muara Angke Blok Eceng

Satu hal yang menambah kesanku dari pengalaman live in ini adalah aku hidup empat hari tanpa handphone. Aku pergi ke rumah Ibu Maskamah, tinggal di rumahnya, dan pulang kembali ke Jakarta Pusat tanpa membawa handphone. Selama ini hidupku sangat lekat dengan handphone. Sedikit-sedikit cek sosial media. Sebelum live in, aku memang sudah berlatih untuk melepaskan kelekatanku terhadap sosial media. Akupun mencoba tidak membawa handphone sehingga aku benar-benar bisa be here and be present. Ternyata ketika aku menempatkan seluruh diriku di sini dan saat ini, banyak manfaat yang bisa aku dapatkan. Aku merasakan sukacita yang besar atas interaksiku dengan semua hal yang Tuhan ciptakan dan hadirkan untukku, baik itu yang aku lihat, dengar, maupun rasakan. 

Akupun pulang ke rumah dipenuhi dengan rasa syukur karena begitu banyak rahmat yang kudapatkan dari live in ini. Dan memori-memori itu aku abadikan dalam tulisan ini agar tidak menguap begitu saja. 


Fransisca Nadia Widyarini

Formandi MAGIS Jakarta tahun 2023. Seorang pegawai perbankan yang suka mengeksplor hal-hal terkait personal development.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *