Not About Giving, But Being With Them

“Those that I reject are those who can heal me if I accept them, if I listen to them”.

Jean Vanier

 

Dalam salah satu tulisannya, Jean Vanier mengajak kita untuk menyelami lagi lebih dalam makna dari kemurahan hati/generosity.  Setiap orang dapat menjadi pribadi yang murah hati/generous. Kita dapat memberikan hal baik yang kita inginkan. Semua inisiatif untuk berbuat baik ini datang dari diri kita. Ketika kita bermurah hati, kita menjadi pihak yang superior.

Vanier mengusulkan agar kita mencapai tahap yang lebih dalam dari kemurahan hati, yaitu dengan kesediaan menjadi sahabat bagi yang lain. Yang perlu kita pahami adalah bahwa mereka tidak merindukan kekuasaan, status sosial, harga diri, atau uang. Mereka merindukan kehadiran dan persahabatan.

Dengan menjadi sahabat bagi penyandang disabilitas, kondisinya menjadi berubah. Kita tidak lagi menjadi superior atas mereka. Ketika kita menjadi sahabat, kita menjadi sama rentannya (setara) dengan mereka. Ketika kita membiarkan diri terlihat rentan di hadapan mereka, kita dapat mendengarkan kisah mereka. Kita dapat memahami dalamnya penderitaan mereka. Ketika kita hadir bagi mereka, kita tidak diharapkan hadir sebagai seorang dermawan saja, tetapi sebagai sahabat. Dalam persahabatan inilah kita juga disadarkan sisi-sisi rapuh yang ternyata juga kita miliki.

 

Kita Semua Memiliki “Disabilitas”

Akhirnya lewat relasi tersebut kita semakin sadar bahwa justru kita yang belajar dari mereka. Mereka menjadi cermin yang menunjukkan sisi-sisi disabilitas kita melalui refleksi. Kita semua memiliki sisi rapuh. Kesadaran ini penting, namun jangan berhenti di situ saja. Kita juga perlu menyadari bahwa dalam kerapuhan kita, Tuhan hadir dengan tangan terbuka dan mencintai kita sebagai adanya kita. Tuhan tidak meminta kita menjadi pribadi yang lain. Tuhan tidak memberi syarat untuk mencintai kita. Ia mencintai kita hanya karena kita ada.

Seperti Tuhan yang menerima kita apa adanya. Kita pun juga harus menerima diri dengan segala kerapuhan dan luka yang kita simpan. Hal ini akan menuntun kita pada suatu kebenaran iman yang nampak paradoks, bahwa kita sembuh justru karena kita menerima apa yang kita tolak/kerapuhan kita. Apa yang kita tolak adalah obat yang justru dapat menyembuhkan jika kita mau menerima dan mendengarkannya. (Tentu secara bersamaan juga perlu disadari bahwa tidak ada orang yang sama sekali “sembuh”. Setidaknya kita sadar bahwa kita ada dalam “jalan” menuju kesembuhan).

Dengan hadir sebagai sahabat dan bukan penderma, kita akan terhenyak bahwa tidak hanya mereka yang merasakan kehadiran kita tetapi juga kita terbantu untuk belajar memeluk mereka yang rapuh dan sisi-sisi rapuh yang kita simpan dalam diri. Kita terhenyak bahwa justru mereka yang memampukan kita untuk mencintai dan mengajari kita tentang cinta.

Jika kita tidak pernah memiliki cinta, kita mungkin juga tidak dapat mencintai orang lain. Sikap seperti ini tidak lebih dari sekedar usaha membangun tembok dalam diri kita untuk melindungi diri kita secara egois. Vanier sadar bahwa usaha kita tidak dapat langsung mengubah dunia yang telah terluka. Namun, kita dapat menciptakan tempat yang memberi ruang agar kita bersyukur bahwa kita dapat hidup bersama sebagai manusia di dunia ini.

 

Referensi              : Vanier, Jean. We Need One Another. Massachusetts: Paraclete Press. 2018.

Wawancara Jean Vanier dengan Majalah Primier Christianity

 


Ishak Jacues Cavin, SJ

Ishak Jacues Cavin SJ (Cavin) adalah seorang frater skolastik Serikat Yesus. Berasal dari Muntilan, Paroki St. Maria Lourdes Sumber. Masuk Novisiat SJ tahun 2015. Mengucapkan kaul pertama dalam Serikat Yesus tahun 2017. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan di STF Driyarkara dan tinggal di Kolese Hermanum. “Look, I have engraved you on the palms of my hands, your ramparts are ever before me.” (Isaiah 49: 16)
Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *