Mencari Tuhan atau Meneladan Tuhan?

“It’s easy to say to the poor, ‘God loves you, bye-bye.’ But it’s the lonely who are crying out to discover that they are loved. And not just loved by God, but loved by you and me.” –Jean Vanier

 

Dalam Injil kita memahami bahwa Tuhan hadir dalam diri orang yang paling lemah dan rentan di sekitar kita. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40). Kita dapat melihat wajah Tuhan dalam mata berbinar mereka. Pokok tersebut memang baik untuk memperdalam pengalaman rohani kita. Namun, jangan sampai kita sampai pada pemahaman yang kurang tepat tentang makna Injil ini.

Melalui komunitas L’Arche, Jean Vanier secara kritis mengundang kita untuk tidak hanya bertanya “Apakah aku berjumpa Tuhan?” saat hidup bersama mereka yang tersingkir. Vanier justru mengajak kita untuk bertanya “Apakah aku sudah hidup seperti yang Yesus teladankan?”

 

Panggilan Menjadi Seperti Yesus

Terus-menerus membawa agenda “mencari Tuhan” tanpa mau “meneladan Tuhan sendiri” tak lebih dari sekedar memperalat orang-orang tersingkir untuk hidup rohani kita sendiri. Tentu Tuhan memang hadir dalam wajah mereka yang tersingkir dan para pemerhati (volunteer) yang setia melayani mereka. Namun pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita mampu mencintai mereka sebagaimana kita telah dicintai Tuhan sendiri?

Mencintai mereka yang tersingkir (penyandang disabilitas) tidak sesederhana dengan melakukan banyak hal bagi mereka (bakti sosial, berdonasi, dll). Lebih dari itu, kita diundang untuk membantu menyingkapkan kepada mereka bahwa mereka berharga dan bermakna di dunia ini. Hal ini tidak mungkin terjadi bila kita tidak masuk pada relasi antara hati dengan hati. Bahasa kita tidak mencukupi untuk berkomunikasi dengan mereka. Kita membutuhkan komunikasi hati ke hati yang melampaui kata-kata.

Membantu mereka untuk berkembang secara keterampilan fisik lewat terapi-terapi saja tidak cukup. Bagi Vanier, kita juga perlu membantu mereka menemukan bahwa diri mereka berharga dan dapat mencintai dan membangun persahabatan dengan orang lain. Sudah terlalu banyak penolakan yang mereka terima sehingga mereka juga cenderung menolak diri mereka sendiri dalam kesepian. Oleh karena itu, membangun relasi dengan mereka adalah hal yang lebih esensial bagi mereka.

Namun, hal terakhir yang perlu kita sadari adalah bahwa bantuan seperti itu saja juga belum cukup. Bagi Vanier, mengatakan bahwa “Tuhan mencintaimu!” merupakan tugas yang mudah. Hal ini harus dilanjutkan dengan pernyataan mendalam “Aku juga mencintaimu!” Realitas yang mereka hadapi adalah penolakan dari orang-orang di sekitar mereka. Tuhan senantiasa menerima dan mencintai mereka. Kita sebagai sesama merekalah yang paling berpotensi melukai mereka lagi dengan penolakan dan rasa jijik berdampingan dengan mereka.

Mampukah kita sendiri yang mencintai mereka? Sehingga akhirnya tidak hanya Tuhan yang mencintai mereka, tetapi kita sendiri juga mencintai mereka.

 

Referensi              : Vanier, Jean. We Need One Another. Massachusetts: Paraclete Press. 2018.

Wawancara Jean Vanier dengan Majalah Primier Christianity

 


Ishak Jacues Cavin, SJ

Ishak Jacues Cavin SJ (Cavin) adalah seorang frater skolastik Serikat Yesus. Berasal dari Muntilan, Paroki St. Maria Lourdes Sumber. Masuk Novisiat SJ tahun 2015. Mengucapkan kaul pertama dalam Serikat Yesus tahun 2017. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan di STF Driyarkara dan tinggal di Kolese Hermanum. “Look, I have engraved you on the palms of my hands, your ramparts are ever before me.” (Isaiah 49: 16)
Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *