Karisma Katolik di Pulau Jawa dan Kaitannya dengan Karakter Karismatik Ignasius. 

Oleh Polikarpus Ivan

Gambar Pater Jesuit di Muntilan dekat Magelang, sekitar tahun 1930, sumber: unknown

Daya tarik melekat pada pemaknaan karisma yang dimilikinya. Daya itu mampu mengemas karakter seseorang menjadi tampak solid dan megah. Sebagai komunikator, kepemilikan atas karisma, jadi nilai tambah untuk menguatkan pesan yang akan dikirimkan kepada komunikan. Sebagaimana yang kita ketahui dari contoh para pemimpin di dunia pertama hingga dunia ketiga. Ada Hitler sebagai Führer yang meninggikan derajat masyarakat Jerman kala dirugikan dalam kontrak perjanjian Versailles pasca perang dunia pertama, ada juga Soekarno dengan kekuatan retorikanya mampu mengobarkan semangat para pejuang 45 dan menyerukan Indonesia sebagai negara kesatuan. Membahas tentang kemampuan dan kualitas seorang raja dalam memerintah dan mewujudkan kondisi ideal juga berarti membicarakan tentang aspek kewibawaan atau karisma yang dimilikinya. Karisma atau aura kewibawaan yang sering disebut sebagai ‘teja’ dalam budaya Jawa, sangat terkait dengan kesaktian raja, yaitu apakah masih ada wahyu yang membimbing jalannya kepemimpinannya atau tidak. Beranjak dari ide atau gagasan menuju pada kesepakatan para pengikut untuk merepetisi ide dan membiasakan dalam konteks kehidupan bernegara. 

Weber melihat ‘Karisma’ sebagai sesuatu yang bersifat sementara, tiba-tiba, tidak terduga, dan revolusioner (Anderson, 1990). Konsepsi adanya suatu ajaran agama ini diletakkan pada mulanya dari pribadi-pribadi yang berkarisma seperti Gautama, Yesus, dan Muhammad. Tinjauan prinsip yang mereka anut, direplikasi, dicatat, dan dijadikan sebagai satu pengertian agama. Di konteks Indonesia, agama semakin terinstitusionalisasi melalui pencantuman kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dimulai dari kejadian berdarah tahun 1965, pemerintahan Orde Baru menerapkan kebijakan anti-komunis dengan mencatat informasi agama di KTP (Bonar dalam Kompas, 2014). Meskipun terkadang terlihat dipaksakan, sejarah cepatnya penyebaran agama juga tidak terlepas dari pengaruh keteladanan para penganutnya, seperti Wali Songo, Romo Van Lth, dan beberapa tokoh lain yang dianggap memiliki karisma dan memperkuat dominasi ajaran agama di Indonesia. Pendapat yang dikemukakan oleh Weber menjadi kurang sesuai jika melihat kekuatan karismatik ajaran agama yang telah merambah global dan bahkan diakui dalam sila pertama Pancasila Indonesia.

Artikel ini akan mengulas hubungan antara kekuasaan dan budaya politik di Indonesia dengan menggunakan pendekatan antropologis yang diungkapkan dalam karya Benedict Anderson. Tinjauan ini diperkaya dengan pemahaman bahwa agama sebagai bagian dari budaya, menyebar melalui proses-proses yang memiliki dimensi politis di Pulau Jawa. Dengan demikian, artikel ini akan membuka wawasan baru tentang kompleksitas hubungan antara kekuasaan, budaya, dan agama dalam konteks Indonesia. Sejarah terkait agama Katolik masih terbatas pada ruang lingkup kultural Jawa. Selain karena berasal dari Jawa, banyak referensi yang saya dapatkan bahwa Katolik dan Jawa layaknya Nakula dan Sadewa dalam epos sejarah Pandawa. Banyak kemiripan kultural antara Katolik dan Jawa, bahkan dalam beberapa dialog, Katolik juga sering disandingkan dengan NU daripada Muhammadiyah. Dalam konteks geografis, nilai Katolik banyak diterima di Jawa Tengah, area Mataraman. Menurut (Anderson, 1990) dalam tradisi lama di Jawa, upaya mendapatkan kuasa/kesaktian dilakukan dengan praktek-praktek yogaistik dan laku tapa. Kuasa, dalam makna yang lebih sederhana, merujuk pada kemampuan untuk menguasai diri dengan pemahaman yang lebih dalam tentang esensi diri. Di beberapa wilayah geografis, khususnya di lereng gunung yang tenang dan indah, terdapat banyak kompleks rumah retret yang menggambarkan praktik laku tapa orang Jawa dalam mencapai penguasaan diri. Suasana alami yang dipenuhi dengan keindahan alam seringkali dianggap sebagai sumber inspirasi yang membantu individu memahami diri sendiri dengan lebih baik dan membersihkan pikiran dari kepenatan kehidupan perkotaan yang serba riuh. 

Dalam hal penempatan diri, baik dalam ajaran Katolik maupun dalam kepercayaan Jawa, keduanya memiliki prinsip untuk menghindari sikap yang sombong. Prinsip ini tercermin dalam Kitab Matius 19:30, yang mengatakan bahwa “Orang yang terakhir akan menjadi yang pertama, dan yang pertama akan menjadi yang terakhir.” Penafsiran atas ayat ini menolak sikap arogan manusia, dengan mendorong untuk peduli terhadap sesama tanpa pamrih. Di dalam konteks Jawa, sikap sombong (yang dapat diartikan sebagai keinginan atau keserakahan pribadi) dianggap sebagai bentuk penurunan diri yang mengakibatkan kehilangan kekuasaan. Konsep ini juga tercermin dalam moralitas yang diungkapkan dalam pementasan wayang, seperti dalam kisah Pandawa dan Kurawa, di mana Kurawa dianggap kalah bukan hanya karena perbuatan jahat mereka, tetapi juga karena keserakahan pribadi yang mengakibatkan kehilangan kekuasaan mereka (Anderson, 1990).

Logika konsep tradisional Jawa mengenai kuasa memerlukan suatu pusat yang berkarakter sinkretik dan menyerap serta titik pusat ini dinyatakan dalam diri seorang penguasa (Anderson, 1990). Konsepsi konsentrasi yang melandasi praktek tapa juga berkaitan erat dengan gagasan tentang kemurnian, maka konsentrasi terhadap diri yang sejati diperlukan untuk menghindari difusi dan disintegrasi. Konsentrasi dalam konteks lain juga di identifikasi sebagai keajegan pemusatan. Kemanunggalan itu sendiri adalah simbol penting kuasa, dan hal inilah yang menjadi tujuan para perumus ideologi (Anderson, 1990). Agama Katolik memiliki struktur hierarki yang terpusat, di mana kuasa terkonsentrasi pada tingkatan-tingkatan tertentu seperti Uskup, Kardinal, dan Paus. Struktur ini memudahkan umat Katolik dalam beradaptasi dengan budaya Jawa yang kental. Selain itu, pemilihan uskup tidak terbatas pada periode waktu tertentu, tetapi lebih bersifat sakral dan mengangkat pribadi uskup yang terpilih sebagaimana dalam konsep ‘teja’ dalam kepemimpinan. Contohnya terlihat pada keuskupan Surabaya, di mana pemilihan uskup masih sangat memperhatikan kualitas pribadi yang menjadi teladan bagi seorang uskup.

Pengaruh dari nilai-nilai tersebut mendorong individu untuk dengan sukarela menerima ajaran Katolik tanpa syarat. Dalam proses akulturasi budaya, Katolik dianggap sebagai institusi yang memiliki daya tarik khusus, terutama dalam konteks kehidupan berbangsa di Indonesia, terutama di Jawa. Prinsip-prinsip Katolik lainnya tercermin dalam tokoh-tokoh yang dihormati sebagai santo atau santa. Teladan dan karisma yang dimiliki oleh para penganut Katolik memperkuat fondasi agama ini yang didasarkan pada kasih sayang dan hubungan yang tulus tanpa pamrih. Dengan mempertimbangkan konsep kerelaan hati, baik penganut Katolik maupun Jawa menghasilkan individu yang sukarela dan sepenuhnya percaya pada karisma para pemimpin yang memberikan contoh teladan.

Bergabung dengan komunitas Ignasian telah membuka mata saya terhadap disiplin dalam mencatat pengalaman dalam jurnal, melakukan examen, dan ladoda. Melalui jurnal, saya belajar untuk secara rutin merekam pemikiran, ide, dan pengalaman sehari-hari untuk kemudian dijadikan cerita tentang kehidupan. Examen dan ladoda membantu saya dalam membersihkan pikiran dengan fokus pada introspeksi tanpa terburu-buru dalam membuat kesimpulan. Semua ini terinspirasi oleh karakter karismatik Ignasius yang terus-menerus mengolah batin dan mengontrol diri. Pengalaman hidupnya, termasuk saat merenung di tepi Sungai Cardoner di Manresa, menjadi titik baliknya untuk mendedikasikan hidupnya untuk Tuhan. Memahami diri sendiri dan melakukan introspeksi batin dengan rahmat atau ‘teja’ dari Tuhan. Sebagaimana dalam tradisi Jawa, Ignasius merasakan kehadiran yang luar biasa saat ia menyendiri di tepi Sungai Cardoner, serupa dengan pengalaman laku tapa yang dilakukan oleh orang-orang Jawa dalam mencapai penguasaan diri.

 

Pustaka:

Benedict Anderson. 1990. Kuasa-Kata Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Mata Bangsa. Yogyakarta

Max Weber. 1962. An Intellectual Portrait. Doubleday. New York.

Skolastik SJ Pulo Nangka. 2019. Roh Tuhan Ada Padaku. Obor. Jakarta.

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41886935 

https://magis-jakarta.org/2020/07/st-ignatius-pendosa-yang-dikasihi-allah/

https://nasional.kompas.com/read/2014/11/10/1544021/Setara.Sejak.Indonesia.Merdeka.sampai.1967.Tak.Ada.Kolom.Agama.di.KTP 

 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *