Perutusan: Dalam Tegangan Mencari Diri dan Memikul Salib

Berawal dari Obrolan Santai

Beberapa waktu lalu, aku habis ngobrol-ngobrol santai dengan ibuku. Dia bercerita bagaimana akhirnya dia harus menerima perutusan untuk menjadi Seksi Panggilan di paroki untuk yang ketiga kalinya. Sebetulnya ibuku sudah mengajukan seorang calon pengganti dan ingin rehat, sebab sudah dua periode ia jalani. Namun, tidak ada yang bersedia memegang “jabatan” yang “tidak seksi” (baca: tidak menarik) itu. Akhirnya, ibuku menyanggupi untuk menerima perutusan itu untuk ketiga kalinya. Salah satunya karena masih ada seorang seminaris yang memang perlu pantauan lebih. Kondisinya ialah anak ini berasal dari keluarga kurang mampu dan biaya pendidikannya dibantu oleh donatur. Namun, ketika ia baru masuk di seminari, ayah dari anak ini meninggal sedangkan ibunya baru pindah menjadi seorang Katolik sehingga kurang care terhadap proses anak ini. Pun terhadap para donatur yang membantu, kurang ada engagement dari sang ibu sehingga mereka ini kurang terinformasikan proses anak ini: sedang ada kebutuhan apa, kegiatan apa, dst. Ibuku yang akhirnya menginformasikan kepada para donatur tersebut. Kondisi ini yang menjadi perhatian dan bahan diskresi utamanya untuk melanjutkan perutusan di Seksi Panggilan. 

Ceritanya belum berhenti sampai di situ. Setelah romo paroki kami mengonfirmasi perutusan ibuku, ada celetukan-celetukan dari beberapa orang dewan lainnya. Mereka bergumam dan menggerutu, kok bisa ibuku tiga periode. Padahal mereka saja tidak bisa. Kalau mau, ya rehat dulu satu periode baru melanjutkan lagi pasca rehat itu. Atas gumaman dan gerutu itu, ibuku memilih untuk bodo amat. Dia memilih untuk fokus menjalankan perutusan yang sudah diterimanya dan juga tanggung jawab yang melekat atasnya.

Setelah ngobrol-ngobrol santai dengan ibuku, aku pun masuk ke kamarku dan merenung. Cerita ibuku entah kenapa membuatku tergelitik. Di satu sisi aku bangga, namun di sisi lain aku merasa malu. Bangga karena ibuku masih menyediakan diri untuk pelayanan tersebut. Ketika tidak ada orang yang mau, ibuku menyediakan dirinya sekali lagi. Padahal pilihan untuk tidak mau dan membiarkan “posisi” itu kosong bisa menjadi pilihan. Toh, yang lain sudah pada ditawari namun gak mau juga. Kurang seksilah, sudah sibuk ini dan itu, sudah ada tugas-tugas lain, fokus yang lain, dan sebagainya menjadi alasan untuk berlindung. Namun jalan yang mudah itu tidak dipilih ibu. Akhirnya malah gerutu dan gumam yang muncul atas keputusan di luar kebiasaan ini. Hanya ya sudah, ibuku tidak fokus pada apa yang dikatakan orang lain. Ada tugas perutusan yang lebih penting untuk dijalaninya.

Yesus yang memanggil Zakheus – Gambaran panggilan dalam ketidaklayakan manusia

Selain rasa bangga itu, aku juga merasa malu. Malu terhadap diri sendiri karena melihat ibuku yang demikian membawaku pada pengalaman beberapa tahun yang lalu. Masih di tempat yang sama, yaitu di parokiku namun dengan case yang berbeda. Saat itu aku ngebet jadi pengurus misdinar. Pada waktu itu, siapa yang tidak mau, melihat bagaimana kerennya mereka dan bagaimana privilese yang didapat begitu wah. Hal yang sama juga meluncur dari mulut teman-teman seangkatanku waktu itu. Sayangnya, kesempatan itu tidak pernah datang padaku. Sekalipun sering bertugas, bahkan tugas di waktu misa yang berat (baca: Minggu pagi), ternyata tidak menjamin. Yang dipilih justru orang-orang yang dekat dengan pengurus sebelumnya, yang sering cari muka dengan pendamping misdinar. Timbul kekecewaan dari hatiku saat itu. Lambat laun aku pun tidak aktif lagi sampai akhirnya studi di luar kota.

Setelah direnungkan, rupanya aku mengalami pergeseran motivasi. Dari awalnya sungguh ingin melayani Dia dalam tugas-tugas pelayanan di altar, menjadi ingin dikenal, ingin punya privilese, ingin “menjadi seksi” di mata umat. Kalau direfleksikan dalam kacamata saat ini, tentu aku malu dengan apa yang telah aku lakukan sekarang. Apalagi dibandingkan dengan ibuku. Ketika aku mencari hal lain di luar melayani Dia dengan apa yang aku bisa, ibuku dengan segala kerendahan hatinya mencoba melayani Dia dengan apa yang ia bisa sekalipun sudah lelah.

Rasa malu itu juga muncul ketika merefleksikan beberapa pengalaman lain setelahnya di mana aku juga masih mencari “diriku sendiri”. Maksudnya bukan untuk melayani Dia dengan apa yang aku punya namun justru menggunakan Dia sebagai “alasan suci” supaya memiliki privilese, dipandang, dsb. Padahal ada ibuku dan orang-orang seperti ibuku yang justru tidak menginginkan itu namun tidak mampu menolaknya. “Kalau bukan aku, siapa lagi,” demikian aku membayangkan kondisi ibuku dan orang-orang lain dengan kondisi serupa. Dan ya, itu menjadi bagian dari perjalanan pengolahan pribadiku.

Salib yang Harus Dipikul

Kristus sendiri yang mendirikan Gereja. Ia telah menitipkan-Nya kepada para rasul, secara khusus kepada Petrus, sang Prince of the Apostles. Memang dalam perjalanan waktu, kadangkala Gereja itu terasa terlalu institusional, hirarkis, dsb. Ada orang-orang yang mulai mencari hal-hal di luar Kristus: privilese, pamor, ketenaran, “jabatan”, dst. Pun aku juga pernah mengalami kondisi yang sama: mau terlihat keren dan mendapatkan privilese. Hanya saja, untuk apa semuanya itu? Bukankah ketika seseorang mendapatkan perutusan untuk melayani, ia diminta untuk memikul salib sebagaimana Kristus telah memikul salib untuk keselamatanku, keselamatan semua orang? 

Ketika merefleksikan semuanya ini, yang muncul di kepalaku suatu perasaan syukur. Syukur bahwa aku mengalami secara personal Dia dan kemurahan hati-Nya itu. Aku kira pengalaman personal dengan Allah sendiri yang mengubah arah dan orientasiku: dari melayani untuk motif personal menjadi pelayanan sebagai caraku untuk membagikan kemurahan hati-Nya. Ini berarti mau berani dan setia untuk ikut bersama-Nya memikul salib yang diberikan padaku. Sebab perutusan untuk melayani itu membutuhkan dedikasi, perjuangan, pengorbanan, dan penyangkalan diri. Selalu ada tegangan untuk dipilih di sana dan seringkali tidak mudah. Namun, bukankah itu salib yang harus dipikul? 

Membantu Yesus memanggul salib

Bahwa kemudian masih ada dinamika yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, aku kira itu menjadi bagian dari dinamika dan pengolahan. Sebab yang berdinamika di dalamnya masihlah manusia dengan segala kelemahan dan kekurangannya, begitu pun aku. Itu juga yang menjadi bagian dari tegangan yang terjadi ketika menjalani suatu perutusan. Yang jelas ialah kemurahan hati-Nya itu yang tidak pernah lekang bagiku dan bagi semua orang yang berkehendak baik. 

Akhirnya, menjalani suatu perutusan untuk melayani itu selalu ada dalam tegangan. Ada pilihan yang bisa diambil: untuk mencari diri sendiri atau untuk mengejawantahkan kemurahan hati-Nya. Untuk menjalani perutusan sekalipun tidak ideal, atau untuk kabur meninggalkan perutusan itu? Dinamika tegangan inilah yang perlu terus diolah dan didiskresikan: yang mana yang membawaku pada pewartaan kemurahan hati-Nya bagi semakin banyak orang? Aku pribadi terus berusaha untuk setia menjalani perutusan yang diberikan padaku lewat usaha-usaha kecil. Kadang-kadang memang menghadapi kesulitan dan kelelahan. Itulah salib yang harus kupikul. Namun, aku percaya kemurahan hati-Nya itu senantiasa hadir lewat orang-orang baik di sekitarku. Sebab, dalam salib itu juga selalu ada kekuatan. Melalui salib itu, keselamatan Ia berikan kepada semua orang. 


Flaviantius Febriano Iko

Akrab disapa Iko. Buruh swasta yang melayani beberapa manufaktur Kretek Kudus. Kopi, kretek, ber-“dongeng” dengan sesama, dan menemani orang-orang muda menjadi kesukaannya.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *