Masihkah kita bisa berharap?
Semakin tua, semakin kita kesulitan untuk punya harapan. Harapan ibarat mainan anak kecil, yang manis untuk dibayangkan, tetapi sulit untuk dibuat jadi kenyataan. Banyak anak berharap menjadi dokter tapi kesulitan mencari biaya untuk kuliah. Tidak sedikit dari kita yang pernah punya mimpi tinggi ketika merantau, tetapi nyatanya “dibungkam” oleh berbagai keterbatasan. Deretan kesulitan lain yang kita hadapi setiap hari, entah persoalan keluarga atau pekerjaan, tumpukan utang atau depresi, membuat hidup makin runyam dan muram. Harapan jadi terasa sia-sia dan tidak lagi punya arti.
Masa Prapaskah adalah masa khusus memasuki sisi hidup kita yang muram, yang hampir selalu kita hindari. Siapa yang mau diajak berpuasa saat tontonan Youtube populer adalah konten-konten mukbang? Siapa yang rela diminta memberi sumbangan ketika influencer berlomba-lomba pamer kekayaan? Prapaskah adalah jalan memasuki penderitaan. Namun, penderitaan di masa puasa ini bukanlah kesakitan yang sia-sia. Di ujungnya, ada kebangkitan Tuhan yang membebaskan. Karena itu, harapan masih tetap bernilai.
Penderitaan dan Harapan yang Hampir Mati
Penderitaan bisa membuat orang putus asa, tak terkecuali Yesus. Beberapa saat sebelum Ia ditangkap, Yesus menepi ke Getsemani. Ia jujur pada para murid-Nya, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya” (bdk. Mat 26:36). Yesus tidak bisa menyembunyikan rasa takut karena sebentar lagi akan mati. Ia bahkan berbicara kepada Bapa-Nya, menawar supaya Ia tidak perlu menanggung derita. Kata-Nya, “Ya Bapa-Ku jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini berlalu dari hadapan-Ku” (bdk. Mat 26: 39).
Kata-kata Yesus adalah tanggapan manusiawi. Setiap kali ada kesusahan, spontan kita akan marah, mengumpat, dan ingin menyerah. Yesus pun demikian. Ia ingin lari saja dari penderitaan yang teramat berat. Bahkan, di ujung hidup-Nya, rasa frustrasi tidak kunjung hilang. Seru Yesus, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (bdk. Mat 27:46). Secara fisik Yesus disiksa, secara emosional Ia merasa ditinggalkan oleh Bapa-Nya sendiri. Masihkah ada harapan?
Yesus takut, sedih, menderita. Namun, Ia tetap memanggul salib dan menunaikan tugas-Nya. Harapan-Nya nyaris mati, tetapi tekad-Nya tetap teguh.
Salib: Kuhindari atau Kupikul?
Di dalam Latihan Rohani, Ignatius membuka renungan kontemplasi penderitaan Yesus (minggu ketiga) dengan satu catatan penting: “Mohon apa yang kukehendaki… kesusahan, sesal, dan rasa aib, sebab untuk dosa-dosakulah Tuhan pergi menyongsong sengsara” (LR 193). Tiga catatan penting:
Pertama, bertahan demi cinta. Dalam catatan itu Ignatius menunjukkan satu alasan kunci mengapa Yesus tidak menyerah dalam penderitaan. Sebab untuk dosa-dosa kitalah Tuhan pergi menyongsong sengsara. Rasa frustasi, lelah, marah, sedih, hingga tangis air mata darah tidak bisa menghentikan cinta-Nya pada kita. Juga perasaan sepi dan ditinggalkan tidak membuat-Nya menyerah untuk mencintai. Kiranya alasan cinta inilah yang membuat Yesus teguh bertahan walau gelap dan berat.
Kedua, rasa sesal dan malu. Merenungkan penderitaan di Masa Prapaskah artinya melihat pula bahwa kita acapkali ikut memperparah penderitaan orang lain. Seperti Petrus yang menyangkal identitasnya sebagai murid, kita pun sering menolak undangan Tuhan untuk tetap setia sebagai anak-Nya. Juga seperti Yohanes dan Yakobus yang tertidur di Getsemani, kita seringkali bodoh dan mementingkan rasa nyaman. Atau bahkan ketika kita membuang-buang makanan, kita pun mencuri dari meja orang-orang miskin dan kelaparan (lih. homili Paus Fransiskus, Juni 2013). Karena semua sikap kita, sepatutnya kita merasa malu dan menyesal.
Ketiga, tidak menghindar dari penderitaan. Prapaskah adalah jalan masuk penderitaan dan Yesus tidak menghindar dari salib. Jika kita mengikuti apa yang Ignatius sarankan, supaya “lebih mencintai dan mengikuti-Nya lebih dekat” (baca: magis—LR 104), artinya kita pun mau meneladani sikap Yesus: bertahan. Ada seribu satu alasan untuk menyingkir dari tantangan. Banyak pula jalan-jalan pintas supaya rasa sakit bisa kita hindari, misalnya saja adiksi internet, makan, atau minuman keras. Akan tetapi, salib hidup yang kita panggul tidak akan benar-benar hilang. Satu-satunya jalan yang dicontohkan Yesus adalah menerimanya, memanggulnya, menghadapinya—berikut dengan rasa takut, khawatir, marah, dan kecewa yang menyertai.
Prapaskah: Renungan tentang Salib Hidupku
“Pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang menuju kebinasaan, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (bdk. 1 Kor 1:18)
Masa empat puluh hari yang singkat akan terlewat sia-sia kalau kita tidak mau masuk dalam renungan penderitaan, termasuk penderitaan kita sendiri. Di samping puasa dan pantang yang sudah jadi kebiasaan rutin, marilah juga merenungkan beberapa poin ini:
- Apakah aku pernah atau sedang memanggul salib di dalam hidupku? Bagaimana bentuk salib itu? Apakah kegagalan, relasi yang hancur, kekecewaan, depresi, kesepian, trauma, dsb.?
- Sudahkah aku mengakui pengalaman tersebut dan menerimanya? Kalau belum, perasaan apa yang masih dominan? Apakah masih terasa pedih dan menyesakkan?
- Ambil waktu refleksi di masa prapaskah ini untuk duduk hening dan berefleksi. Sampaikan pada Tuhan apa yang memang aku rasakan. Persembahkan penderitaanku di hadapan salib Yesus.
Sering di saat memanggul salib, kita semakin terbebani oleh pertanyaan: “Mengapa Tuhan?” Mengapa ketika aku sudah memberikan yang terbaik, Engkau justru membiarkanku tersiksa? Mengapa ketika aku hampir pulih, Engkau memberiku luka baru? Masihkah aku bisa berharap pada-Mu?
Santo Agustinus dalam salah satu homilinya, memberi satu ilustrasi tentang kantong kulit. Bayangkan jika ada seseorang yang akan mengisi kantongmu dengan hadiah yang amat banyak. Kamu sadar kalau kantongmu itu kecil dan tidak mampu menampung semua hadiah itu. Lalu apa yang akan kamu lakukan? Kamu akan berusaha sekuat tenaga untuk menarik kulit kantongmu, merenggangkannya supaya bisa menciptakan ruang yang lebih besar. Tentu saja, proses itu memakan waktu dan tenaga. Namun, dengan begitu, kantongmu bisa terisi penuh dengan hadiah yang lebih banyak.
“Dengan cara itu pula Tuhan berelasi dengan kita. Dengan membuat kita menunggu [dalam ketidakpastian dan kadang penderitaan], Tuhan membangkitkan keinginan kita, lalu memperlebar kapasitas hati kita, melapangkan jiwa kita, dan membuat kita mampu menerima rahmat yang disiapkan untuk kita,” sebut Agustinus. Semakin kita tahu berat-Nya salib yang kita pikul, semakin kita berpengharapan, percaya bahwa Tuhan sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih indah.
Lagipula, penderitaan pun sering menumbuhkan sisi-sisi lain yang tidak kita sadari. Selagi berjuang menerima kegagalan dan kelemahan diri, pelan-pelan rasa empati kita tumbuh. Tahu-tahu kita tidak lagi gampang marah dan menghakimi, lebih lembut pada diri sendiri dan orang lain. Juga ketika berhadapan dengan konflik panjang dengan orang lain, perlahan kita memahami kekerasan hati dan kebodohan kita sendiri. Lalu, kita jadi lebih mengerti dan maklum. Perubahan hati semacam ini hanya mungkin terjadi kalau kita berani menghadapi penderitaan dan salib.
Keberanian menghadapi salib dan memeluk kematian membantu kita merasakan betapa berharganya kebangkitan.
Benicdiktus Juliar Elmawan, SJ
“Lewat latihan rohani saya merasa berharga dan dicintai apa adanya oleh Allah. Saya ingin perasaan itu dirasakan pula oleh semakin banyak orang.” Benicdiktus Juliar Elmawan, SJ (Benic) adalah frater skolastik Serikat Yesus. Saat ini sedang menempuh studi teologi di Fakultas Teologi Wedabhakti, Universitas Sanata Dharma. Sebelumnya menjalani Tahap Orientasi Kerasulan (TOK) di Xavier High School (XHS), Chuuk, Micronesia. Berasal dari Bandung, ia pernah menjadi pendamping MAGIS 2019.