Terkadang saya bertanya, apakah setiap manusia punya kebiasaan yang tidak biasa atau aneh bagi orang lain? Saya bertanya itu karena saya punya kebiasaan yang ‘aneh’ bagi orang lain, tapi kebiasaan ini sering saya lakukan. Kebiasaan itu adalah bercermin untuk waktu yang lama dengan tubuh telanjang.
Yap. Bagi sebagian orang pasti berpikir mesum dan sebagian lagi berpikir sayalah orang mesum tersebut. Kebiasaan ini bukan karena saya sedang membayangkan hal-hal porno atau erotis ketika melihat tubuh telanjang saya. Bukan juga mengagumi atau membenci lekuk tubuh yang saya punya. Setiap kali hal yang pertama kali saya lihat ketika bercermin dengan telanjang ialah setiap tanda lahir, tahi lalat dan bekas luka yang ada di tubuh saya.
Terkadang saya merasa kalau tanda lahir saya suka berubah sewaktu-waktu. Terkadang saya suka merasa selalu ada tahi lalat baru di bagian tubuh saya yang saya tidak tahu. Tapi yang paling sering saya lakukan adalah bernostalgia dengan semua bekas luka baru maupun lama yang saya punya.
Setiap kali melihat bekas luka yang saya punya, saya pasti berusaha mengingat bagaimana saya mendapatkan luka tersebut? Apa yang telah saya lakukan sehingga bisa mendapatkan luka yang akhirnya membekas di kulit saya? Jangan pernah berpikir kalau saya adalah perempuan berkulit mulus, saya adalah pribadi ceroboh yang terkadang suka melukai secara tak sengaja dan tanpa sadar.
Dari semua bekas luka yang saya punya, ada satu bekas luka yang menjadi favorit saya. Terdengar aneh memang disaat perempuan lain berlomba-lomba menghabiskan uang untuk mendapatkan kulit mulus bak porselen, saya malah tidak pernah berpikir untuk menghilangkan bekas luka tersebut. Bekas luka tersebut adalah bekas luka jahitan operasi usus buntu.
Bekas luka yang saya punya bukan hanya bekas luka jahitan saja, masih ada bekas luka akibat gigitan anjing yang baru saja saya dapat sekitar sebulan lalu dan belum lagi bekas luka cacar air saya. Masih ingat dengan jelas, saya sakit cacar air ketika kelas 2 SD dan merengek-rengek pada ayah agar membelikan dan memperbolehkan saya memakai kerudung/ jilbab. Jujur, saya malu banget dengan totol-totol cacar air yang berada di seluruh tubuh ini. Tetapi tetap yang menjadi my favorite scars adalah bekas luka operasi tersebut, usus buntu. Kok bisa?
Sebenarnya tidak ada yang indah dan bentuk yang unik dari bekas luka tersebut. Sebagian orang pasti malah menganggap bekas luka jahitan tersebut menjijikan, karena saya mempunyai bakat keloid. Dilansir dari alodokter.com, keloid merupakan salah satu jenis bekas luka yang cukup mengganggu penampilan karena bentuknya yang tebal dengan warna yang kontras dari kulit di sekitarnya yang terjadi karena jaringan parut atau fibrosa yang terus tumbuh dan terbentuk di atas kulit yang luka.
Saya mendapatkan bekas luka keloid tersebut ketika berada di kelas 9 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tidak ada yang special memang dari peristiwa operasi usus buntu, karena saya bukan satu-satunya orang yang mengalami operasi usus buntu. Tapi apa yang saya alami setelah operasi itulah yang membuat saya ‘mencintai’ bekas luka ini.
Saat menjalani tindak operasi usus buntu tersebut, keluarga saya berada di posisi yang kurang baik secara finansial. Ibu belum lama berhenti bekerja dan ayah memang bukan seorang pekerja. Ekonomi keluarga sepenuhnya ditanggung oleh kedua kakak saya. Kakak pertama saat itu hanya bekerja sebagai kasir di daerah Glodok, sementara kakak kedua baru lulus SMA dan baru mendapatkan pekerjaan.
Pada masa itu belum ada BPJS. Semua biaya rumah sakit, obat, dokter dan operasi masih ditanggung oleh si pasien. Alangkah ironisnya, si pasien yang sudah menderita dengan sakitnya masih harus dipusingkan dengan segala biaya pengobatan yang belum terjangkau pada masa itu.
Biaya untuk mengobati operasi waktu itu termasuk tidak murah namun harus dilakukan karena keluarga tidak mungkin membiarkan kondisi saya semakin memburuk. Saya memang tidak tahu jelas bagaimana uang tersebut bisa terkumpul hingga akhirnya saya bisa berada di meja operasi. Tetapi setelah operasi selesai, saya yang masih dalam pengaruh obat bius mendengar kata pinjam alias utang.
Dan benar, ternyata untuk melunasi biaya operasi tersebut kakak saya terpaksa berhutang pada bos-nya. Berhutang pada bos menjadi satu-satunya cara yang diambil kakak demi menyelamatkan kesehatan adiknya. Mungkin jadi pilihan keputusan yang wajar, namun yang saya baru tahu adalah kondisi sebenarnya saat kakak saya alami pada waktu itu.
Pada saat saya sakit, kakak saya sudah tidak betah dan ingin resign dari tempat ia bekerja karena bos-nya. Saya tidak akan cerita lebih lanjut seperti apa kelakuan bos kakak saya waktu itu. Tapi yang saya tahu bahwa kakak saya sudah tidak cocok dengan sifat dan cara kepemimpinan bos-nya tersebut.
Karena kejadian itu, kakak saya telah menjual ‘tiket kebebasannya’. Kakak saya mengorbankan perasaan tertekannya di pekerjaan demi operasi saya. Tapi saya sangat bersyukur karena kakak saya melakukan hal tersebut. Dia mengajari apa itu pengorbanan dan arti keluarga. Dan terlebih lagi saya malah bersyukur bahwa operasi usus buntu tersebut ‘meninggalkan jejak’ pada tubuh saya. Bekas luka tersebut akan terus mengingatkan saya pada apa arti keluarga yang sesungguhnya.
Saya menjadi percaya akan satu hal, bahwa setiap luka akan menemukan caranya sendiri untuk sembuh. Setiap bekas luka selalu memiliki cerita, dan setiap cerita memiliki kenangannya sendiri. Sama seperti luka bekas operasi saya, ia mempunyai caranya tersendiri untuk sembuh. Bekas luka yang saya dapat, mengingatkan saya akan cinta seorang kakak pada adiknya.