Pada suatu sore di sebuah desa kecil di barat Pulau Kalimantan, Sopia, begitu panggilannya, sedang berlindung di loteng rumahnya yang sempit yang tersusun dari kayu ulin. Sopia adalah siswi kelas 5 SD dan tumbuh besar di sebuah keluarga sangat sederhana. Pada sore itu, banjir bandang menerjang desanya. Rumah Sopia memang tak jauh dari sebuah anak sungai. Malahan, rumahnya dekat sekali dengan pertemuan dua anak sungai, atau kalau di sini disebut nanga.
Menurut cerita, Sopia yang pernah kudengar sebelumnya, dalam tiga tahun ini, nanga itu sering meluap jika hujan turun lebat. Yang ia sedihkan, esoknya tak akan bisa ke sekolah. Bukan karena sekolahnya tergenang, tapi karena jalannya menjadi berlumpur. Ya, setahu saya memang jalan menuju rumahnya masih sangat sulit. Jika berlumpur, kaki saja tak mudah untuk melangkah.
Sekitar 2 kilometer dari desa tempat tinggal Sopia, terdapat berhektar-hektar kebun sawit dadakan. Persis dibuka setidaknya 3 tahun terakhir. Tadinya, di situ adalah hutan lebat yang oleh masyarakat sekitarnya dijadikan tempat berladang dan berburu. Sejak ekspansi sawit menguat, banyak yang beralih menjadi petani sawit. Celakanya, serapan air menjadi jauh berkurang dan imbasnya di wilayah hilir yang mendapat musibahnya.
Memang, air yang meluap hanya numpang lewat. Ya, kira-kira 4-5 jam saja. Namun, dampaknya begitu luar biasa. Bayangkan saja tiap banjir, akses ke desa itu menjadi terisolir berhari-hari. Tak ada yang bisa melintas kecuali orang yang berjalan dengan susah payah.
Jika tak mau repot, bisa sih menyewa perahu. Namun, mahalnya bukan main. Nahasnya, ini dirasakan di hampir 3 desa di wilayah hilir, setidaknya 3 kali dalam setahun.
Realitas perilaku
Jika kita merefleksikan kejadian yang dialami Sopia dan warga desanya, rasanya tak manusiawi. Seharusnya luapan air seperti air bah itu tak terjadi. Malahan, jika tinggal di desa, sungai menjadi teman hidup dalam mencari sumber-sumber kehidupan lain.
Namun, inilah realitas.
Pergeseran perilaku manusia tak lagi malu-malu seiring berubahnya pengetahuan mengenai kekayaan. Sejak saya secara aktif ngobrol dengan masyarakat adat lokal, saya menjadi tahu bahwa kearifan adat mengenai hutan dan segala isinya begitu mulia. Hutan ditempatkan sebagai sebuah tempat yang bermartabat. Bahkan, untuk subsuku tertentu, hutan dianggap sebagai ibu yang harus terjaga keperawanannya.
Tak heran, ajaran orang tua mengenai cara berladang yang baik dan jenis-jenis tanaman patut dihormati sudah ditanamkan sejak kecil.
Namun, seiring tergesernya hukum dan nilai-nilai adat akibat banyaknya pengetahuan dan ilmu yang masuk, manusia di dalamnya tak mampu mengolahnya dengan baik. Hutan dianggap sebagai komoditas ekonomi yang menguntungkan. Tanah dipandang sebagai tempat ditanamnya modal-modal dalam jumlah besar. Masyarakat dengan sadar mengurangi keuntungan ekologinya untuk menambah keuntungan finansialnya.
Ini tak hanya terjadi di sini. Hampir seluruh dunia merasakannya. Namun, mungkin buat kamu yang tinggal di perkotaan sejak kecil, tak terlalu terasa, ya? Ya, karena situasi demikian sudah jauh dirasakan orang-orang sebelum kamu.
Pekerjaan Allah
Kerusakan lingkungan sudah mengundang keprihatinan banyak pihak, termasuk Gereja Katolik. Gereja yang hadir di tengah-tengah dunia tentu juga merasakan penderitaan yang sama dengan apa yang diderita oleh dunia.
Secara khusus, Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ mengajak seluruh umat Katolik untuk memelihara bumi sebagai rumah umat manusia. Dalam ajakannya, Paus secara luas dan mendalam menggambarkan dampak kerusakan ekologis bukan hanya sekadar kehilangan hijaunya hutan, suburnya tanah, atau kicauan burung, melainkan juga lahirnya masalah sosial, ekonomi, dan budaya.
Dalam Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia pada 2012 yang berjudul Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan, ada suatu diksi yang menarik buat saya, yaitu rekan. Ya, kita diajak menjadi rekan Allah untuk meningkatkan usaha dalam menjaga dan melestarikan keutuhan ciptaan Tuhan demi Kerajaan Allah. Ini sangat selaras dengan isi dari Laudato Si’.
Secara rinci, ada 7 hal yang menjadi pokok dimensi yang disorot dalam Laudato Si’, yaitu tanggapan terhadap bencana, tanggapan kepada mereka yang miskin, ekonomi ekologis, gaya hidup yang berkelanjutan, pendidikan ekologi, spiritualitas ekologi, dan ketahanan serta pemberdayaan masyarakat.
Jelas sekali kalau mencintai alam dilukiskan sebagai sebuah panggilan spiritualitas personal yang direalisasikan dalam pekerjaan yang sudah Allah mulai ketika Ia menciptakannya.
Ketika saya mereleksikan bagaimana kerja-kerja Allah yang membangun dan merawat alam, saya teringat sebuah perikop dalam Mazmur 107: 33-34, “Dibuat-Nya sungai-sungai menjadi padang gurun, dan pancaran-pancaran air menjadi tanah yang gersang, tanah yang subur menjadi padang asin, oleh sebab kejahatan orang-orang yang diam di dalamnya.”
Allah tentu sudah paham bahwa rusaknya alam adalah karena ulah manusia. Keadaannya begitu mudah dibalikkan oleh manusia.
Orang Muda yang Terpanggil
Pada zaman modern ini, panggilan “kembali ke alam” bukanlah ajakan semu yang mengawang-awang. Ajakan riil ini justru banyak lahir dari anak muda, baik seorang maupun dalam komunitas. Lihat saja perjuangan Greta Thurnberg yang dengan kecerdasannya membuka mata para pemimpin dunia untuk memasukkan agenda perubahan iklim di dalam cetak biru pembangunan global.
Atau, tidak usah jauh-jauh. Lihat sebuah kelompok bernama Pandawara. Melalui media sosial, mereka mengkampanyekan aksi nyata mencintai alam yang sudah rusak. Aksinya menyita perhatian dan dukungan yang begitu luar biasa.
Lalu bagaimana dengan aku dan kita? Sejauh apakah kita sebagai orang muda Gereja sudah membantu Allah dalam pekerjaan-Nya merawat alam? Sudah konsistenkah kita?
Santo Ignatius Loyola mengajarkan pesan yang begitu mulia untuk menjadi Men and Women for Others. Pesan ini begitu mendalam jika kita refleksikan setelah kita mendengar atau membaca tulisan ini. Bukan melulu kita bermanfaat ketika bertemu orang secara langsung, tapi mengambil bagian dalam pekerjaan melestarikan lingkungan yang berkontribusi bagi lebih banyak Sopia-Sopia di luaran sana.
Allah sudah bekerja, Paus sudah mengajak, St. Ignatius sudah mengajarkan, jadi kurang apa kita untuk mau memulainya?