Suatu pagi, di sudut belakang samping jendela bus karyawan, saya duduk dan mendengarkan sebuah playlist lagu dari Spotify yang saya putar secara acak. Beberapa lagu mengalun syahdu melalui telinga, mengantarkan saya pada titik relaksasi sebelum nantinya tiba di tempat kerja dan tenggelam dalam lautan kesibukan. Namun, setelah beberapa lagu terputar, tibalah lagu “Mesra-Mesranya Kecil-Kecilan Dulu” milik Sal Priadi. Alih-alih intro dengan alunan musik yang memukau, lagu ini dimulai dengan nyanyian solo seorang lelaki bersuara merdu dengan lirik dan nada yang memelas.
Ba, sementara
Kita mesra-mesraannya
Kecil-kecilan dulu, ya
Tunggu sampai semua mereda
Lagu ini secara tepat seakan menggambarkan apa yang ingin bapak katakan pada saat beliau mengalami kejatuhan. Seolah, saya seakan terbawa kembali pada memori saat menginjak usia 6 tahun. Beberapa saat setelah tragedi Mei 1998, perusahaan tempat bapak bekerja mengalami kebangkrutan. Hal tersebut semakin diperparah dengan tidak adanya pesangon untuk bapak, serta ditambah kuliah bapak yang tidak selesai karena terlalu asyik bekerja saat itu. Alhasil, bapak saat itu adalah seorang pengangguran lulusan SMA yang menghidupi seorang istri yang sedang hamil tua dan dua orang anak. Lirik di atas dengan tepat menggambarkan kalimat yang mungkin akan diucapkan bapak kepada saya dan adik saya untuk bisa memaklumi keadaan yang terjadi.
Masa kejatuhan itu tidak diiringi kebangkitan finansial pada langkah-langkah sesudahnya. Bapak bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga–menjadi seorang sopir angkutan barang di hari biasa, dan menjadi buruh angkat speaker di sebuah penyewaan sound system. Jelas saat itu saya sangat kehilangan sosok Bapak yang tadinya suka mengajak bermain dan bepergian. Menginjak masa saya SMP, pada sela kesibukannya, bapak suka mengajak saya untuk membantunya mengangkat sound system. Secara tersirat mungkin bapak menunjukkan bahwa beliau berjuang keras untuk kami, sehingga saya mampu memaklumi kondisi ekonomi keluarga yang saat itu terjadi. Namun, bagi saya itu adalah “mesra kecil-kecilan” versi bapak kepada saya. Saya menikmati momentum bisa membantu bapak, mendengar cerita dan nasihat bapak sepanjang bekerja. Diajak makan di warteg setelah lelah mengangkat speaker-speaker besar adalah puncak kenikmatan yang tidak tergantikan.
Belakangan ini, saya sempat mengeluhkan diri yang belum pernah hidup jauh dari keluarga. Mulai dari sekolah, kuliah, hingga kerja selalu dekat rumah. Namun, setelah merenungkan lagu “Mesra-Mesranya Kecil-Kecilan Dulu“ ini saya mulai menyadari suatu hal baik yang terjadi pada saya. Mungkin alasan Tuhan memposisikan saya di sekolah, kuliah, dan kerja yang dekat rumah salah satunya untuk membayar waktu mesra-mesra kecil-kecilan saya bersama bapak yang selama ini belum sempat terlaksana karena kesibukan beliau berjuang menjadi pahlawan bagi keluarga.
“Kita ‘kan tangkap banyak kejadian yang menarik, koleksi suasana asyik, perasaan-perasaan yang baik. Cintanya besar-besaran, meski mesranya kecil-kecilan” – Sal Priadi
Gabriel Indripriarko
Formasi MAGIS Jakarta 2018, seorang buruh pabrik yang suka berkelana mencari kedai kopi dan tempat makan. Baginya, Tuhan dapat ditemukan di mana pun, di segelas kopi filter yang baru saja diseduh, di semangkuk bakmi Roxy yang dimakan sepulang perbul, serta di segunung kepedihan yang akhirnya sudah bisa ditertawakan.
Gabriel Indripriarko