Transformer Cilincing


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Dulu minta kerasulan sosial enggak dikasih, sekarang giliran banyak kerjaan, eh dikasih tugas tambahan kerasulan sosial. Kampretoss…

Sepenggal kalimat di atas adalah reaksi spontanku ketika diminta membantu menjadi volunteer di lembaga Life Project for Youth (LP4Y) Cilincing. Sebuah mimpi lama yang sebenarnya sedang terjawab, yang justru menjadi alasan untuk berkeluh kesah, sebab datang di waktu yang menurutku tidak tepat. Akan tetapi, seperti biasa, apa yang menurutku tidak tepat, justru menurut Sang Pemilik Kehidupan justru adalah tepat. Ya, Dia memang suka bercanda dan aku masih juga bergulat untuk menjadi terbiasa. Semesta kadang bercanda, tetapi kadang hati belum siap menerimanya.

Coach

Sebagai latar belakang, aku diminta tolong untuk membantu sebagai volunteer di lembaga yang berbasis di Perancis tersebut. Lembaga tersebut hadir sebagai sebuah balai latihan kerja bagi perempuan muda usia sekitar 17-24 tahun. Selama berada di sana aku dipanggil dengan sebutan ‘coach’ artinya aku hadir untuk memberi pelatihan (training) pada mereka yang berdinamika di sana.

Oleh karena itu, aku berusaha mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin. Sebagai seorang yang tidak pernah bekerja di sektor formal, aku sungguh mempelajari berbagai hal mengenai sektor tersebut. Berbagai materi yang tersedia di internet maupun buku aku lahap dengan saksama. Aku juga menghubungi beberapa relasi baik, yang dengannya aku dapat belajar bagaimana mempersiapkan orang untuk memasuki dunia kerja. Selain itu, aku mengingat-ingat kembali pengalamanku beberapa kali magang sebagai accounting staff dan cook helper di sebuah hotel bintang lima di Ubud, Bali. Aku mencoba memanggil kembali ‘suasana kerja’ yang pernah sedikit sekali kucicipi, tetapi tidak pernah kusentuh lagi setelah aku mantap pada pilihan hidupku. Semua itu demi bisa mempersiapkan amunisi guna menjadi coach yang baik. Ibarat pelatih sepakbola, tentu ia harus mempunyai segudang taktik sebelum diturunkan dan dijalankan oleh para pemainnya.

Singkat cerita, proses training berlangsung dengan sangat baik. Aku merasa bisa memberikan berbagai materi dengan baik. Persiapan yang kulakukan rupanya tidak sia-sia dan amat membantu proses yang ada. Peserta training juga bersemangat melahap berbagai hal yang aku coba berikan. Antusiasme mereka membuat diriku juga menjadi bersemangat. Akan tetapi, walau bersemangat, ada kekosongan yang menerpa diriku. Ya, aku senang tetapi di sisi lain aku merasa kosong.

Transformer

Ternyata aku salah, kuakui aku salah. Aku ingin mengubah mereka, tetapi justru aku yang diubah. Aku datang dengan paradigma seorang mesias, sang penyelamat. Seolah-olah aku adalah orang yang paling mengerti, tetapi nyatanya aku tidak mengerti banyak. Ternyata inilah yang membuat diriku merasa kosong. Aku tidak mengubah mereka, justru aku yang diubah oleh mereka. Aku terjebak pada keangkuhan, lupa untuk merendahkan diri. Padahal Dia yang aku ikuti mengambil jalan perendahan diri.

Kata Ignatius, cinta itu saling memberi. Kesalingan inilah yang aku alami dan mengubahku. Aku memang memberi sedikit dari apa yang ada padaku, tetapi sungguh aku jauh lebih menerima banyak. Setiap pribadi di sana tanpa terkecuali, memberikan banyak inspirasi untukku. Mereka menunjukkan padaku kalau harapan selalu ada di tengah ketidakpastian. Mereka mengajarkan padaku arti ingin terus belajar dan mengembangkan diri. Apakah hidup mereka selama ini sudah pasti? Tentu tidak, satu-satunya yang pasti adalah mereka hidup dalam kesulitan. Apakah itu menghambat mereka? Tentu iya, tetapi bukan berarti hal tersebut mematikan harapan. 

Usaha, kesempatan, dan harapan, menjadi pokok yang mengubahku lewat pengalaman ini. Bagaimana aku bercermin pada usaha-usaha yang kuupayakan selama ini. Bagaimana aku mendapatkan dan aktif mencari kesempatan bagi diriku dan sesama. Juga yang paling penting, bagaimana aku menumbuhkan harapan dalam diriku. Tentu, berharap mengandung risiko kekecewaan, tetapi bukankah itu layak untuk dicoba.

Akhir kata, seperti transformer (truk) yang menghiasi jalanan di Cilincing dan sekitarnya. Aku diajak untuk terus melangkah, di tengah panas dan berdebunya kehidupan. Tantangan selalu akan ada, tetapi itu bisa dilawan dengan usaha, kesempatan, dan harapan. Salib akan selalu ada, dan ingat begitu pula kebangkitan.

Semoga perjalanan hidup mengubah (transform) kita menjadi pribadi yang lebih baik.


Fr. Escriva Pamungkas, SJ

Skolastik Jesuit yang tercebur dalam komunitas maGis. Berasal dari Kota Gudeg, namun lebih menyukai babi guling, pizza, dan berbagai jenis pasta. Jatuh cinta pada kegiatan memasak. Baginya, memasak adalah bentuk Latihan Rohani. Part-time traveller dan bertekad menjadikan 70% perjalanannya dalam kategori eco-friendly.

 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *