Ibarat roller coaster, begitulah kira-kira aku menggambarkan kehidupanku. Iya, termasuk kehidupan rohaniku juga. Ada kalanya aku merasa aku sedang dekat sedekat-dekatnya dengan Bapa dan “jajaran”-Nya (Yesus, Bunda Maria, Santo-Santa kesayanganku), tapi ada kalanya juga aku merasa sedang jauh sejauh-jauhnya dengan mereka semua. Apa hal yang aku rasakan setelah hampir setahun di Magis? Apakah masih kehidupan rohaniku terasa seperti roller coaster yang mengalami naik-turun (jauh-dekat)? Jawabannya adalah masih.
Tapi apa yang membedakan? Apa yang betul aku rasakan? Semenjak ikut Magis, jujur (tanpa peres, karena ini bukan juga testimoni klinik tong fang), aku merasa jadi lebih peka dan punya kekuatan lebih untuk (lebih cepat) bounce back dan get back on track. Punya kekuatan lebih untuk melawan diri sendiri, melawan kemalasan, melawan kelelahan untuk kembali kepada-Nya. Kekuatan yang asalnya macam-macam: ada yang dari diri sendiri; ada yang dari reminder teman se-circle, frater, juga animator; dan ada yang dari memori ajaran di pertemuan bulanan (ketika aku ingat-ingat lagi Asas dan Dasar, ketika aku cecap-cecap lagi moment aku terteguhkan dengan Asas dan Dasar). Ya, walau akhirnya tidak melulu waktu bersama Bapa itu aku laksanakan melalui examen dan journaling (yang kemudian aku sebut ini adalah PR seumur hidupku), kadang kala aku lakukan dengan berdoa Rosario bersama Bunda Maria, mengaduh-bersyukur-terharu di depan Sakramen Mahakudus, atau sekedar duduk memandangi lilin sambil mendengar Tui Amoris Ignem yang sangat aku sukai lirik dan melodinya.
Sebetulnya aku agak bingung menggambarkan kegiatan saat aku mengalami perubahan karena pengalamanku ini. Dahulu, apabila merasa sedang jauh, rasanya butuh waktu menahun untuk melawan kemalasan diri dan akhirnya bisa kembali lagi dekat dengan Bapa. Contohnya dulu aku sangat suka berdoa Rosario dan rajin doa Angelus. Namun sejak awal tahun 2020 sampai dengan 2021 (sebelum akhirnya aku ikut Magis) aku sudah tidak pernah berdoa Rosario, berdoa sebelum atau sesudah bangun tidur. Ikut Misa via online pun aku malas (atau malah tidur-tiduran waktu mendengar kotbah romo), dan berdoa sebelum makan juga serasa hanya sebatas formalitas dan template belaka. Tapi sekarang, aku merasa ada alarm di dalam diriku yang menahan aku apabila mulai pergi terlalu jauh dari-Nya. Dari yang tadinya tahan menjauh setahun, sekarang hanya tahan sebulan dan kemudian aku ingat untuk kembali lagi. Mungkin belum sempurna, bagi sebagian orang mungkin ini pun masih kelewatan, tapi bagiku ini sebuah kemajuan dan yang aku harapkan akan terus menjadi lebih baik.
Selain itu, yang aku rasakan juga (walau masih sering bolong-bolong dan masih menjadi PR seumur hidup), sejak ikut Magis kemudian mencoba examen dan journaling, aku terbantu untuk merasakan kasih Bapa secara lebih dan dimampukan untuk menemukan makna-makna kehidupan yang mungkin tidak akan pernah aku temukan apabila tidak melalui examen dan journaling. Salah satunya adalah kesadaran,“Hidup itu sendiri adalah sebuah anugerah yang indah dari Tuhan. Sangat berharga dan tidak ternilai harganya.” (kalimat ini tiba-tiba terlintas dipikiranku setelah aku melakukan Latihan Rohani dari buku Mendulang Cinta Tuhan pada Langkah Pertama: Luapan Cinta Tuhan). Kalau aku baca lagi kalimat itu kadang aku mikir: “kok bisa sih Sil kepikiran kayak gitu?” rasanya mau jawab sendiri juga “jujur gak tau juga gue, Sil”.
Allah yang aku jumpai dan rasakan setelah berformasi di Magis: pertama, Allah sebagai seorang Bapa. Bapa yang sangat-sangat mengasihi aku, paling mengerti aku. Jalan hidup yang Ia sediakan bagiku adalah jalan terbaik bagiku. Bapa yang dengan segala keunikan cara-Nya (melalui berbagai lika-liku-leko hidup), pada akhirnya mempertemukan aku dengan Magis. Bapa yang begitu sayang padaku dan menganugerahkan aku sahabat seperjalanan, yakni circle Sunlight (bonus Frater Septian, Kak Gaby, dan Kak Alfran sebagai pendamping juga animator); dan kedua, Allah sebagai sahabta, sahabat se-circle, pendamping, juga animator itu sendiri (yang senantiasa menanyakan kabar, berbagi cerita, memberikan semangat, serta kerap kali menjadi pengingat untuk kembali kepada-Nya).
Selama beberapa bulan aku berdinamika di Magis rasanya konsolasi-desolasi itu kerap datang silih berganti. Kapan aku mengalami konsolasi? Baru saja beberapa minggu yang lalu – walau jalan menuju konsolasi itu juga tidak mudah, banyak juga keadaan tidak nyaman yang harus aku alami – moment itu adalah saat aku merasa bahwa akhirnya aku sudah bisa mengampuni mereka yang mungkin pernah (baik secara sengaja ataupun tidak) menyakiti hati dan perasaanku. Moment ketika aku bisa melihat nama mereka, mengetahui kegiatan dan kehidupannya sekarang dengan turut merasakan sukacita setelah mengetahui kehidupan mereka yang terlihat baik dan bahagia (yang kemudian aku sebut ini adalah “hadiah paskah” dari Bapa). Aku sebut ini hadiah, karena bagiku rahmat untuk dapat mengampuni itu luar biasa indahnya. Kelegaan yang mahal harganya.
Kalau desolasi? Jujur, bahkan saat menuliskan ini sepertinya aku sedang desolasi. Kalau aku membaca jurnalku siang tadi, perasaan dominan yang aku rasakan hari ini adalah tidak merasakan apa-apa. Hembusan napas terasa hampa, hari-hari pun terasa tawar. Kenapa bisa desolasi? Kalau berdasarkan hasil permenunganku semalam, mungkin aku merasa seperti ini karena beberapa hal, antara lain: 1) pekerjaan yang sebenarnya sedang ruwet tapi aku berusaha tegar dan menghibur diriku kalau “everything is still on track and I can handle everything.” Tapi sebenar-benarnya, aku sedang kelelahan bercampur jenuh dengan rutinitas pekerjaan; 2) Selanjutnya, karena tugas refleksi Magis milikku keteteran, aku malas. Malas sekali rasanya mau mengerjakan semuanya. Benar-benar malas, rasanya mau menyerah. Tapi disisi lain aku tidak ingin menyerah dan tetap ingin berusaha mengerjakan semuanya. Di penghujung formasi ini, aku seperti sedang melangkah dengan menahan rasa gagal dan malu. Aku merasa: mungkin saja aku sudah mengecewakan diriku sendiri? Mengecewakan juga menyusahkan animator dan pendamping? Atau bahkan lebih general lagi, bagaimana jika aku telah menyusahkan Magis dengan keleletanku dalam menyelesaikan tugas? (contoh: ketika aku telat mengumpulkan tugas refleksi); dan 3) Terakhir soal ambisi dan konsistensi. Rasanya banyak sekali keinginan dan impian yang ingin aku capai. Tapi rasanya aku belum bisa berkomitmen memberikan diriku waktu untuk memulai perjuangan mencapai semua itu. Mana bisa mencapai semua keinginan hanya bermodalkan mimpi? Bingung. Rasanya hampa, untuk journaling saja rasanya tidak ada gairah, aku lakukan semata-mata karena tidak tahu lagi harus apa. Bahkan untuk yoga saja (olahraga yang sangat-sangat aku sukai dan belum pernah bosan aku lakukan) rasanya pun menjenuhkan. Pertanyaan yang kerap muncul terhadap diri sendiri di saat-saat seperti ini adalah: Jadi, aku kudu piye? Di saat seperti ini rasanya aku mau semua kegiatan berhenti kemudian menepi bersama diri sendiri. Tapi disisi lain, satu hal yang aku syukuri sampai sekarang yakni bahkan di saat desolasi seperti ini aku masih bisa mencecap dan merasakan kasih Tuhan: “Bahkan di saat hembusan napas terasa hambar dan hari-hari terasa tawar, kasih-Mu tak juga berkesudahan dan masih bisa aku rasakan indahnya.” (sebuah kalimat yang terlintas dipikiranku saat aku journaling siang tadi).
Perasaanku selama berada Magis, khususnya di dalam circle Sunlight, sampai dengan detik ini adalah bahagia. Walau aku tahu dan sadar betul bahwa Magis dan sahabat-sahabat seperjalananku di circle hanyalah “sarana” yang mungkin juga sifatnya “sementara”. Meskipun demikian, kehadiran circle Sunlight sejak Oktober 2021 lalu sungguh membuat hatiku terasa penuh. Ada ruang kosong yang terisi. Dulu sebelum mengikuti Magis dan bertemu dengan circle Sunlight, aku sering sekali merasa kesepian dan sendirian. Namun sekarang, tidak lagi pernah aku merasa kesepian. Menurutku, setiap masing-masing pribadi di circle Sunlight punya perannya masing-masing untuk membuat circle terasa hidup. Entah kak Adrian dari kelempengan hidupnya, kak Ririn dengan sosok kedewasaan dan ke-kakak-annya, Calse dengan kehebohannya, dan kak Yuyun dengan keperhatiannya. Aku sangat bersyukur dapat dipertemukan dengan circle Sunlight, circle yang bahkan sejak pertemuan pertama di Community Building tidak butuh waktu lama untuk merasa klop dengan mereka hingga sampai-sampai aku berpikir bahwa mungkin memang sudah jodohnya kami untuk bersatu dalam circle Sunlight ini (cieee, bisa aja).
Apabila aku flash back lagi ke kondisi diriku yang dulu-dulu, terlebih lagi di saat awal mula aku merasakan sensasi dari stress yang cukup berlebihan di sekitar bulan Juni 2021 sampai akhir Oktober 2021 dengan kondisiku sekarang, setelah mengingat-ingat dan berkelanan lebih dalam lagi tentang Spiritualitas Ignasian – walau di tengah naik-turun kehidupan ini – aku bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa I am doing so much better dalam menjalani kehidupan dan pekerjaan, walau aku masih sering menemukan pergulatan-pergulatan di dalamnya. Meskipun demikian, setidaknya dengan kembali mengingat dan berkenalan lebih jauh dengan Spiritualitas Ignasianm, aku sangat merasa terbantu untuk terus menapak di bumi dan sadar bahwa apa yang ada di hidup ini semua hanya sarana. Tjuan yang sesungguhnya adalah memuliakan nama-Nya (dengan mengingat ini sangat membantu untuk tidak berlama-lama larut di dalam suatu perasaan, seperti: stress).
Seperti yang mungkin sempat aku singgung sebelumnya, dengan mengikuti Magis dan berkenalan dengan Spiritualitas Ignasian sedikit banyak mempengaruhi kehidupanku baik secara umum maupun kehidupan rohani. Untuk hidup menggereja, sekarang aku sudah kembali rutin menghadiri misa setiap Minggu juga mulai kembali aktif dalam kegiatan paduan suara di gereja setelah 2 tahun lamanya aku absen dan menghilang dari segala kegiatan gereja. Selanjutnya, dalam hal berelasi, secara singkat, Spiritulitas Ignasian memberikan aku sebuah sudut pandang baru dalam memandang suatu relasi. Sebelumnya aku adalah orang yang sangat bergantung dengan orang lain dan hal tersebut membuat aku seringkali sedih yang berlebih-lebihan ketika berhadapan dengan peristiwa kehilangan. Jadi, sekarang aku masih dan terus belajar untuk memiliki sikap lepas bebas bukan hanya terhadap kelekatan-keletakan pribadi, namun juga dalam memandang sebuah relasi.
Eufrasia Priscilla