Overthinking (Masih) Jalan Ninjaku

Perkenalanku dengan Magis sebenarnya sudah cukup lama. Aku tidak pernah bersekolah di yayasan yang miliki Yesuit, namun sejak kuliah di Jogja, aku mulai mengenal para Yesuit. Salah satu saudaraku yang eks seminari dan mengikuti Magis (dan bertemu jodohnya di sana), mengajakku untuk ikut komunitas Magis. Namun kutolak karena aku merasa “Kayaknya aku belum butuh ikutan deh, aku mau haha hehe dulu ikutan komunitas di luar urusan spiritual yang menurutku saat itu adalah urusan privat. Kalo mau bawa-bawa tipe kepribadian, introvert sepertiku lebih suka menyelesaikan segala urusan sendirian.

Aku takut ikut berbagai komunitas berbau keagamaan karena aku merasa banyak teman-temanku yang mengikuti komunitas sejenis malah memiliki pandangan agama yang lebih radikal. Padahal, kalau kita ngomongin radikal, agama Katolik jauh lebih santai sejak adanya Konsili Vatikan II. Tahu dari mana tentang fakta ini? Tentu saja dari frater pembimbingku, Frater Pungkas!

Surprise Alias Aku Terkejut!

Kutipan yang aku gunakan sejak aku pertama kali wawancara Magis adalah, “Banyak yang dipanggil, namun sedikit yang menanggapi.” Pikiran untuk ikut Magis hadir di masa pandemi, saat banyak orang yang memanfaatkan momentum ini untuk bonding bersama keluarganya, sedangkan aku yang single fighter di kota orang dan sanak saudara yang tidak serumah membuatku cukup bingung mau ngapain.

Tahun 2021, aku berusia  24 tahun. Aku sudah dapat peringatan dari salah satu teman bahwa waktuku menuju quarter life crisis tinggal satu tahun. Aku nggak pernah benar-benar overthinking. Tapi, kalo dicekoki hal yang sama secara berulang-ulang apakah aku nggak bakal overthinking? Iya dong! Perlahan aku mulai sering flashback dan berandai-andai tentang hidupku. Tentang apa yang sudah kulakukan, hal-hal yang sudah lewat, hal-hal yang mau diubah (tentu saja terlambat, nggak bisa, lah). Mana teman-teman seangkatan sudah banyak yang upload foto prewedding, malah ada yang sudah menggendong bayi. Bukan ingin, tapi, jadinya membandingkan aja karena pas itu hidupku hanya ngantor – tepar on repeat. Aku heran “Kok bisa dapet pasangan?”

Kalau overthinking, enaknya ada partner-nya. Aku memutuskan untuk curhat ke ibu. Ibuku memberi wejangan “Kamu coba berdoa deh ke Tuhan. Cerita aja kayak kamu cerita ke ibu. Nggak cuma bersyukur aja. Tuhan enak kok kalo diajak curhat. Soalnya kan kalo kamu curhat, kamu nggak berharap ada hal yang berubah, tapi biar lega aja?”

Curhat? Ke Tuhan? Diingat-ingat, template doaku selama ini adalah: Sapaan kepada Tuhan + Ucapan terima kasih atas hal baik dan buruk di hari itu + Permohonan. Itupun cuma pagi dan malam, alias doa tidur.

Aku tidak mengetahui banyak hal. Aku juga bertanya-tanya, apa yang bisa aku lakukan dengan spiritualitas dan bagaimana penerapan praktisnya bagi kehidupanku. Di tengah segala ketidaktahuanku, tiba-tiba aku teringat akan Magis. Pikirku, “mumpung online, coba aja deh. Siapa tahu nyaman.”

Pikiran adalah Tempat yang Sangat Ramai

Pikiran memang sangat ramai. Overthinking yang aku rasakan adalah bukti bahwa pikiran adalah tempat yang ramai. Yang nggak perlu dipikir, malah dipikir.

Aku diterima menjadi Formasi Magis 2021, dengan saudara-saudara circle-ku Detroit yang mayoritas pernah sekolah di Jogja. “Howalah, kamu temannya X ya.” ”Oh, kamu dulu kuliah Sadhar, to. Kenal Y nggak?” “Kamu ngerti tempat makan x di Terminal Concat?” Ah banyak lah.

Di akhir formasi, aku baru tahu kalo pemilihan circle-nya random, bukan dipilihkan. Apa ada kata lain yang mewakili selain kata “Takdir?” Kurasa sih memang takdir, kami jadi lebih bisa memahami satu sama lain karena pergaulan yang nggak jauh beda.

Detroit yang awalnya saling malu-malu kucing, perlahan mulai dekat dan punya berbagai gojekan lokal yang cuma anggota circle aja yang tahu. Detroit yang ramai dapat membantu pikiranku yang ramai perlahan mulai terurai. Niko, Helfy, Tata, Ajeng, dan Frater Pungkas, berenam kita bisa jadi tim cadangan sepak bola.

Bekerja di pekerjaan yang mewajibkan aku untuk menulis setiap hari membuatku merasa cukup nyaman untuk berformasi bersama Magis. Journaling membuatku lega, namun examen sering membuatku ketiduran hingga esok paginya. Selama berformasi, aku menemukan fakta bahwa banyak dari kita yang memiliki banyak pertanyaan yang tak terjawab. Padahal bukan karena nggak ada jawabannya, melainkan kita melupakan detail kecil dari peristiwa yang berlangsung di kehidupan kita.

Pertanyaan-pertanyaanku perlahan terjawab seiring aku melakukan penulisan sejarah hidup. Aku juga belajar dari pengalaman saudara se-circle-ku. Banyak dari kita yang memiliki shared trauma, generational trauma, yang tanpa sadar tumbuh karena ketidaktahuan. Dari tahun ke tahun, aku menggaris bawahi peristiwa yang terjadi di setiap umurku. Nggak hanya yang aku alami, tapi juga yang dialami oleh orang terdekatku dan memiliki dampak bagi diriku. Aku diingatkan oleh Ignatius Loyola, bahwa menulis memang sangat membantu mengurai pikiran yang kusut. Aku juga diingatkan untuk berpikir ulang dan mempertimbangkan pilihan-pilihan yang aku ambil dengan cara berdiskresi.

Aku bisa bilang, motivasi utamaku untuk bersiap-siap menghadapi quarter life crisis dengan ikut Magis mendapatkan hasil yang jauh lebih besar dan nggak aku sangka-sangka. Aku belajar untuk memperbaiki relasi dengan orang-orang yang pernah memberikan pengalaman buruk denganku, mengetahui apa yang benar-benar aku rasakan dibandingkan dengan hanya mengandalkan emosi. Olah batin, olah jiwa, olah rasa (olahraganya juga ada sih, tapi sekali aja saat Peregrinasi). Semuanya harus dikelola dengan baik.

Dengan mengetahui hal-hal apa saja yang membentukku hingga hari ini, aku paham bahwa rasa senang, sedih, bahagia, kecewa, hadir sebagai pengalaman hidup yang kalau diubah malah mengganti alur kehidupan kita. Kalau disuruh kembali ke masa lalu, aku akan berterima kasih atas segala hal buruk yang pernah terjadi padaku karena aku sangat puas dengan apa yang sedang terjadi di masa sekarang.

Sekarang aku sudah dua lima tahun, masih overthinking . Tetapi aku berusaha lebih bijak dalam mengolah apa yang aku rasakan. Teman curhatku pun bertambah 7 lagi (+ curhat sama Tuhan hehe).

Omong-omong, siapa sih yang menciptakan term quarter life crisis? Angka harapan hidup orang pada umumnya kan di angka 70… Mari kita overthinking, tapi jangan sampai tenggelam tanpa pelampung, ya.

 


Anastasia Galuh

Sering disapa Galuh. Aku salah satu buruh dunia digital di Jakarta. Magis Formasi 2021

 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *