Tidak terasa, rangkaian perjalanan formasiku di MaGis selama kurang lebih 8 sudah sampai di bagian terakhir, Missioning. Di awal perbul Missioning ini, kami semua melakukan kontemplasi collecting rainbows, melihat rahmat-rahmat yang kita dapatkan selama berformasi. Setelah itu, kita juga membuat symbol perjalanan berformasi. Aku mau berbagi symbol perjalananku (maafkeun agak mirip dengan logo MAD kemarin hehehe).
Aku menggambarkan 2 jejak kaki dan bundaran kuning. Hal ini melambangkan bahwa di maGis ini, aku merasa perjalanan hidupku diterangi. Bagaimana? Di kesempatan ini, aku juga mau sharing cahaya-cahaya yang kudapatkan yang sudah menerangi jalanku.
Cahaya pertama yang kudapatkan adalah penulisan sejarah hidup. Aku bersyukur bisa mengetahui adanya hal ini dan menuliskan masing-masing sejarah hidup bersama circleku. Dari sini, aku mendapatkan kesempatan untuk benar-benar menyadari cinta Tuhan dalam sepanjang perjalanan hidupku. Aku bersyukur bisa lebih mengenal diriku yang ternyata tidak banyak memperhatikan dan mengolah emosiku. Aku juga menemukan luka-luka di masa lalu yang tanpa kusadari memengaruhiku di masa sekarang, memengaruhi ambisi dan tujuanku. Tentu saja, aku masih berproses dalam mengolah sejarah hidupku namun menyadari adalah langkah awal yang mendorongku untuk berusaha mengolahnya.
Kalau cahaya tadi menerangi masa laluku, aku juga menemukan cahaya yang menerangi hidupku saat ini. Selama ini, aku selalu punya dan menyakini pandanganku bahwa aku punya tujuan yang ingin kucapai, dan dalam prosesku mencapai itu aku harus jadi orang baik, jangan sampai melakukan hal jahat untuk mencapai tujuanku agar Tuhan juga bisa bantu aku. Jadi, pokoknya yang utama adalah tujuanku, cita-citaku, dan Tuhan adalah sampingan, katalis yang bantu aku saja. Namun, di materi Asas dan Dasar, aku beritahu bahwa dua hal ini tertukar, justru tujuan hidup sejati “memuji, menghormati, serta mengabdi Allah Tuhan kita, dan dengan itu menyelamatkan jiwanya.”; ambisiku, cita-citaku, dan hal-hal lainnya ini adalah sarana untuk mencapai tujuan hidup sejati ini.
Aku tentu saja awalnya masih mikir, “Apa iya ya?” Hal ini mudah diterima untuk jadi pengetahuan, tapi sulit juga diterima untuk jadi prinsip. Rasanya di mana-mana aku selalu diminta untuk mengejar cita-cita hidup yang WOW, bisa dilihat semua orang. Lalu aku coba refleksikan “Kenapa Tuhan harus jadi tujuan utama?” Lalu aku menyadari bahwa ambisi-ambisi dan cita-cita yang aku tetapkan dan rencanakan, bisa saja gagal, sama seperti St. Ignatius yang mimpinya hancur di Pamplona. Terus apa? Akhirnya Aku menyadari cita-cita ini sangat duniawi, ketika gagal maupun tercapai, kita bisa menjadi hilang arah atau bahkan terpuruk. Sedangkan tujuan utama hidup untuk memuliakan Tuhan dapat kita lakukan dalam situasi apa pun sesuai dengan panggilan dengan sarana-sarana yang kita miliki.
Cahaya utama yang kudapatkan adalah bersyukur. Bersyukur yang kupelajari adalah bukan hanya ketika sesuatu yang baik terjadi lalu kita berterima kasih, atau setelah menyadari pembelajaran baru dari kesalahan/pengalaman buruk kita. Melalui teman-teman seperjalananku, terutama di circle, aku belajar untuk mensyukuri segala hal. Awalnya aku tidak begitu menyadari hal ini, namun salah satu teman circle-ku points out tentang rasa syukur yang kental sekali disampaikan oleh teman-teman kami. Di situ, aku merasa Tuhan yang ingin menyampaikan ini padaku yang sering mengeluh saat-saat itu. Aku belajar bagaimana mensyukuri kesempatan untuk merasakan pengalaman sulit dan luka, mensyukuri pembelajaran yang mungkin belum kita sadari, mensyukuri kehadiran setiap orang di sekitar kita. Ini rahmat yang sangat kusyukuri, hal ini membantuku untuk menemukan Tuhan dan memandang positif segala hal di hidupku.
Irene Witanto