— Sebuah perjalanan selalu membawa sebuah makna. Hal tersebut hanya bisa ditemukan jika aku diam dan merenungkannya. —
Perjalananku berjalan kaki selama sepuluh hari tanpa bekal mengelilingi Jawa Tengah dan Yogyakarta tentu menjadi pengalaman yang berharga. Setiap langkah kaki yang kutapaki tentu membawa cerita.
Akan tetapi, agaknya dunia ini tidak cukup jika memuat itu semua. Atas dasar itu aku hanya menceritakan dua pengalaman yang sungguh membuatku terpana akan kasih dan cinta Tuhan.
God loves me because He enjoys loving me.
Pengalaman pertama yang ingin aku ceritakan adalah ketika kedinginan dan hampir tidak mendapat penginapan di daerah luar kota Wonosobo. Pada hari ketiga, di saat letih dan kedinginan karena hujan deras yang tak kunjung mereda, Klaus (temanku) dan aku hanya bisa terdiam di pos ronda. Kami menanti tanpa kepastian akan hujan yang mereda di sore itu.
Ternyata, penantian kami tak kunjung datang. Kami pun mencoba mengetuk pintu-pintu rumah untuk menginap. Rumah pertama yang kami ketuk adalah rumah besar dan bagus. Di rumah itu kami tidak diterima, kami diminta menghadap RT dan RW setempat terlebih dahulu.
Akan tetapi, bukannya diterima, di RT dan RW kami justru dilempar ke sana kemari. Hujan deras menjadi saksi kami berjalan tanpa arah sambil terus mendapat penolakkan. Harapan yang tidak tumbuh membuat kami berniat kembali ke dinginnya tembok pos ronda dan menginap di sana.
Di saat harapan pudar, di titik itulah kasih Tuhan terpancar. Pemilik rumah besar tadi keluar dan meminta kami menginap di rumahnya, nama pemilik rumah itu Pak Suparman. Kami disambut dengan amat baik. Sembari menjemur jas hujan yang basah, karpet tebal dan bantal yang empuk sudah menunggu kami. Pak Suparman pun melobby secara pribadi pada RT dan RW agar kami bisa menginap di rumahnya.
Tidak berhenti di situ, air panas telah menunggu untuk disiramkan ke tubuh kami yang kotor dan lelah. Tidak ada yang bisa menandingi kenikmatan mandi air panas di sore itu, ditambah dua mangkok kolak hangat telah menunggu untuk disantap kami berdua.
Aku merasa pengalaman sore itu adalah rahmat luar biasa yang berasal dari Tuhan Allah sendiri. Bukan perkara kenikmatan air panas dan kolak semata. Hal yang terpenting adalah ketulusan dan kemurahan hati Pak Suparman sekeluarga.
Sekat kecurigaan, sekat status sosial dan agama, diruntuhkannya demi menolong dua orang peziarah yang terlunta-lunta. Pengorbanan diri Pak Suparman memampukan cinta mengalir keluar dari dirinya dan terpapar pada kami berdua.
Sungguh, pengalaman ini membuatku percaya bahwa Tuhan Allah tidak pernah meninggalkan dombanya. Aku si domba tersesat (dan masih tersesat) yang berandalan dan sering kurangajar masih dipeliharanya dengan luar biasa, lewat orang-orang yang tak terduga.
Aku semakin percaya bahwa cinta-Nya padaku sungguh tidak bersyarat. Dia tidak menuntutku bertobat, tidak menuntutku menjadi orang baik dia setia memeliharaku, dia hanya ingin mencintaiku (titik). God loves me because He enjoys loving me.
“Tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya” (Lukas 4:24).
Pengalaman kedua yang aku ingin ceritakan sungguh menarik bagiku secara pribadi. Dalam rute yang sudah ditentukan, aku harus melewati daerah rumahku sendiri.
Reaksi spontanku adalah “WTF?! Lewat Jogja aja udah berat, apalagi lewat rumahku. Gila kali ya magister & socius (pendamping para novis)?!”Aku khawatir, takut untuk melewati rumahku sendiri dan akhirnya kekhawatiranku memang terjadi.
Aku sampai di daerah rumahku sendiri tepat ketika waktu menunjukkan jam 5 sore, artinya aku harus mencari tempat penginapan. Hal ini sungguh aku hindari, karena aku tahu akan sangat sulit. Benar saja, di setiap rumah yang kami ketuk, penolakkan selalu terjadi. Bahkan kami diusir dan disuruh menginap di terminal.
Sakit hati yang kurasakan jauh lebih besar daripada penolakkan-penolakkan yang terjadi di tempat lain sebelumnya. Ditolak, dihina di kampung sendiri sungguh menyakitkan. Pohon mangga di rumahku yang ujungnya terlihat dari kejauhan menjadi saksi bagaimana penolakkan ini sungguh menyayat batinku.
“Apakah ini yang Yesus rasakan ketika ditolak di Nazareth?” Itu pertanyaan yang muncul dalam batinku. Mungkin memang ini yang dirasakan Yesus ketika ditolak di Nazareth, sakit hati yang berlipat karena mengenal lokasi penolakkan dan siapa yang menolak.
Mungkin Tuhan ingin aku merasakan apa yang Dia rasakan, supaya aku sungguh lebih bisa hidup bersama dan di dalam Dia. Mungkin ini undanganku untuk berbelarasa kepada Tuhan Allah sendiri yang sudah mau menyerahkan dirinya untuk keselamatanku.
Ya, Tuhan tidak hanya mengajakku untuk tinggal dalam kebahagiaan dan kemuliaan bersama-Nya. Tuhan juga mengajakku untuk ikut dalam penderitaan-Nya.
Dua Panggilan
Dua pengalamanku ini menyadarkanku akan dua panggilan dalam hidup. Pertama, aku dipanggil untuk terus merasakan Tuhan yang sungguh mencintaiku tanpa syarat. Dia memeliharaku, bukan karena aku ‘anak baik’, tapi sunguh karena Dia memang enjoy mencintaiku.
Kedua, panggilan lebih lanjut adalah ikut merasakan sedikit ‘salib’ Tuhan. Ikut mengalami penderitaan-Nya, supaya aku semakin paham bagaimana di tengah penderitaan-Nya, semua itu dilakukan sungguh demi aku.
Ya, begitulah perjalananku menemukan Tuhan. Sebuah paket lengkap cinta dan salib-Nya.
Fr. Escriva Pamungkas, SJ
Seorang skolastik Jesuit yang sedang belajar filsafat di STF Driyarkara. Lahir dan besar di Kota Gudeg, Yogyakarta. Mengucapkan kaul pertama dalam Serikat Yesus pada tahun 2020. Berminat pada Spiritualitas Ignatian dan dunia kuliner.