“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran”
(Amsal 17:17)
Kutipan di atas selalu mengingatkanku kepada sahabat-sahabatku di Companionship. Kurang lebih sudah hampir satu tahun kami bersama mencecap-cecap suka dan duka dari setiap proses formasi yang sudah dilalui. Ya, formasi. Aku tetap menyebutnya formasi karena kami pun sebagai pengurus tetap menjalani proses itu.
Di awal kepengurusan aku begitu berambisi, punya banyak rencana. Aku menyampaikan beragam gagasan pada pertemuan pertama dengan Companionship kala itu. Wajah bahagia, sukacita, dan keinginan untuk mengenal satu sama lain terpancar begitu kuat. Meskipun, saat itu kami sudah khawatir menjalankan program kerja kami karena pandemi yang tak kunjung usai.
Proses formasi selama pandemi berjalan dengan baik dari target yang seluruh pengurus desain dan rencanakan. Tetapi jauh di lubuk hatiku yang terdalam ada dahaga yang hebat. Rasa rindu akan hidup normal dan bertemu dengan teman-temanku membuatku sulit berdamai dengan situasi saat ini.
Sebagai companionship, kami selalu ingin memberikan yang terbaik bagi formasi dan teman-teman pengurus. Meskipun demikian, membuat sebuah acara baru untuk menyatukan mereka dalam sebuah ruang virtual bukanlah sesuatu yang mudah. Selain itu, aku pun merasa sulit untuk terbuka kepada sahabatku “Companionship”. Sebab, segalanya begitu berbeda ketika bertemu di ruang virtual dibandingkan dengan bertemu secara tatap muka.
“Dengan companionship saja, aku merasa belum dekat sepenuhnya, bagaimana aku bisa membantu orang banyak untuk saling mengenal?”
Pertanyaan ini yang selalu aku tanyakan kepada diriku sendiri. Berulang-ulang, di setiap peristiwa. Namun, di tengah kegundahanku itu, hadirlah mereka, sahabatku yang selalu menguatkan, menjadi teman, dan tempatku bercerita ketika tidak ada yang bisa aku percaya untuk mendengarkan ceritaku.
Sahabatku Companionship memang tidak sempurna, tetapi keinginan mereka untuk berbagi waktu, atensi, dan kasih begitu besar selalu membuatku merasa sempurna. Aku banyak belajar dari mereka bagaimana bersikap dan bersabar ketika yang dibuat ternyata tidak diterima oleh orang dan tidak sesuai dengan yang kami rencanakan. Kadang pula rasa lelah begitu menyita perhatian. Kendati demikian, canda dan tawa mereka selalu menjadi penyejuk dan semangat bagiku untuk selalu setia memuji dan memuliakan Tuhan.
Sampai pada akhirnya suatu kalimat yang menjadi kesimpulan dari proses perjalanan ini ialah:
Tetaplah berbuat baik selama hal itu datangnya dari Tuhan, sebab tidak ada sukacita yang lebih besar daripada sukacita yang datang daripada-Nya.
Angelina Pikky Silolo
Biasa disapa “Angel”, lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Sedang bekerja di Jakarta. Baginya, hidup adalah sebuah perjalanan yang mengasyikkan. Suka dan duka tetap harus dijalani dengan lapang dada. Semenjak mengikuti Magis formasi 2019 ia dengan mudah melihat Tuhan dalam setiap kejadian-kejadian kecil. Baginya, yang kecil-kecil itu menjadi sesuatu yang romantis dari Tuhan.