Jalan Pribadi Menanggapi Panggilan Raja Abadi

Ilustrasi

“The two most important days are the day you’re born and the day you find out why.”

(Mark Twain)

Kita mungkin tidak tahu bahwa kutipan populer tentang makna dan tujuan hidup ini sebenarnya adalah suatu mitos tersendiri. Kutipan ini tidak jelas asal-usulnya. Orang sering menghubungkan perkataan tersebut dengan Mark Twain, seorang novelis terkenal Amerika, padahal tidak jelas juga kapan dan di mana perkataan itu sebenarnya ia sampaikan. Begitu pula dengan makna dan tujuan hidup manusia, atau yang dalam lingkup Kristiani sering disebut sebagai “panggilan”. Pemahaman kita tentang panggilan sering campur aduk dengan segala mitos dan ketidakjelasannya. Padahal bagi St. Ignatius panggilan hidup merupakan sesuatu yang jelas dan konkrit: undangan untuk mengikuti Kristus Sang Raja Abadi dalam hidup sehari-hari.

Panggilan itu bersifat universal

St. Ignatius menerangkan gagasan tentang panggilan hidup universal (umum) orang Kristiani dalam Kontemplasi Panggilan Raja (LR 91-98). Kontemplasi Panggilan Raja diawali dengan rahmat yang perlu kita mohon: supaya (kita) tidak tuli terhadap panggilan-Nya, tetapi siap-siaga dan penuh minat untuk melaksanakan kehendak-Nya yang kudus (LR 91).

Disini kita boleh bertanya, “Untuk apa kita dipanggil?”

Pertama, panggilan kita adalah untuk terus berelasi dengan Allah. Kita dipanggil untuk selalu keep in touch dengan Allah melalui doa, refleksi, dan pemeriksaan kesadaran harian. Intinya adalah merawat hidup rohani kita agar setiap lembar kehidupan tidak hanya menjadi kisah pergulatan manusiawi kita sendiri, melainkan selalu menjadi narasi hidup kita bersama Tuhan.

Kedua, kita dipanggil untuk kekudusan, yakni untuk lebih bersyukur atas rahmat penebusan yang telah kita terima. Salah satu jalannya yang paling jelas adalah dengan menata hidup kita sedemikian rupa hingga semakin merdeka dari segala bentuk kelekatan tak teratur (dosa!). Kita diundang untuk bertindak melawan hawa nafsu, cinta kedagingan dan duniawi dalam diri kita, dan akhirnya memberi persembahan yang lebih luhur dan lebih berharga bagi Tuhan (LR 97).

Ketiga, kita dipanggil untuk mencintai. Panggilan untuk mencintai datang sepaket dengan kenyataan bahwa kita sudah demikian dicintai oleh Tuhan. Undangan untuk mencintai bisa jadi sesederhana membuatkan teh hangat untuk simbok, menyapa satpam di tempat kerja, atau memberi tips pada pengendara ojek daring. Apapun bentuknya, cinta pada prinsipnya selalu mengarah ke luar karena menempatkan yang lain sebagai yang utama. Pusat gravitasi hidup kita bukan lagi pemuasan keinginan kita sendiri melainkan bagaimana kita dapat memberi diri (berbagi hidup) bagi sesama manusia, alam ciptaan, dan Tuhan.

Panggilan juga bersifat personal

Panggilan juga bersifat personal. Artinya, kita semua juga perlu mencari tahu kepada cara dan martabat hidup apa Tuhan mengundang kita secara lebih khusus. Ada yang dipanggil menjadi seorang awam dan ada yang dipanggil untuk hidup religius. Ada yang dipanggil untuk melayani di bidang kedokteran, ada yang di bidang hukum, dan ada yang di bidang lainnya. Semua pilihan baik itu sama baiknya. Tugas kita tinggal mencari wadah panggilan mana yang akhirnya paling mendukung kita dalam memenuhi panggilan mendasar untuk memuji, menghormati, dan mengabdi Tuhan Pencipta.

Lantas, bagaimana cara menemukan panggilan hidup personal tersebut? Pertama-tama, perlu dicatat bahwa menemukan panggilan hidup tidak sama dengan menemukan kunci rumah yang terselip. Proses menemukan panggilan lebih sesuai dengan analogi ramalan cuaca di mana kita hanya bisa membaca tanda dan gejalanya. Setidaknya terdapat dua jenis tanda/gejala yang bila dicermati dapat membantu kita meraba-raba bentuk panggilan hidup kita.

Pertama adalah tanda-tanda yang sifatnya internal, mencakup: hasrat dan ketertarikan (apa yang menarik minatku?), kekaguman (apa yang membuatku terperangah?), kegembiraan (apa yang jika kulakukan memberiku sukacita?), keterampilan dan bakat (anugerah kemampuan apa yang kumiliki?), nilai (values apa yang kujunjung?), dan keyakinan batin (apa aku pernah merasa begitu optimis dan damai ketika membayangkan jalan hidup tertentu?).

Kedua adalah tanda-tanda yang bersifat eksternal. Ada kalanya panggilan Tuhan menjadi jelas melalui peristiwa tertentu dalam hidup kita, misalnya, terbukanya kesempatan studi/kerja yang sebelumnya tidak terbayangkan, perjumpaan afektif dengan orang-orang miskin, perbincangan mendalam dengan sahabat, ketersentuhan kala membaca Kitab Suci, atau bahkan pengalaman luka/trauma yang sering ingin kita buang jauh-jauh. Oleh karena itu jika ingin diringkas, panggilan personal kita selalu merupakan kombinasi dari kehendak Tuhan, hasrat-hasrat pribadi terdalam, dan situasi dunia tempat kita berada.

Bagaimana jika jalan hidup yang kupilih ternyata salah/keliru? Ingat kembali kisah St.Ignatius. Berulang kali situasi mengharuskan St. Ignatius untuk mengubah orientasi hidupnya. Peluru meriam di Pamplona dan bacaan rohani di Loyola membuat mimpi Ignatius beralih dari ksatria dunia menjadi ksatria Kristus. Larangan Provinsial Fransiskan dan ketiadaan kapal menuju Yerusalem membuat Ignatius meninggalkan mimpinya untuk tinggal di Yerusalem, yang mana berujung pada model kerasulan Serikat Yesus seperti yang dikenal sekarang ini. Bisa jadi saat itu St. Ignatius keliru memilih jalan hidupnya. Namun mungkin pula, ‘kekeliruan’ itu hanyalah tikungan-tikungan kehidupan yang memang Tuhan kehendaki agar ia lalui.

Karena sekali lagi, menemukan panggilan hidup seumpama meramal cuaca, panggilan hidup kita akan terus menjadi misteri. Kita dapat menduga-duga. Kita bahkan dapat yakin. Namun kita takkan pernah bisa memastikan. Pertanyaannya, beranikah kita bertaruh? Beranikah kita beriman? Beranikah kita, dengan apapun pilihan hidup kita, berusaha sekuat hati untuk hidup bagi Yesus Kristus yang telah rela mati bagi kita?

Semoga jawaban kita adalah kesanggupan yang penuh dengan minat, kegembiraan, dan semangat.


Lambertus Alfred, SJ

Alfred adalah seorang frater skolastik Serikat Yesus. Berasal dari Bandung, Paroki St. Odilia Cicadas, ia masuk novisiat SJ tahun 2017 dan mengucapkan kaul pertama dalam Serikat Yesus tahun 2019. Saat ini ia sedang menempuh pendidikan di STF Driyarkara dan tinggal di Kolese Hermanum. “Berusahalah seolah semua tergantung pada usaha pribadimu. Berharaplah seolah semua tergantung pada rahmat Tuhan.” (St. Ignatius)

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *