Selayang Pandang Doa Ignasian

Ilustrasi St. Ignatius Loyola (Dok. Pinterest)

Doa itu tentang menggeser pusat: berangkat dari self-centredness menuju God-centredness. Masih maukah aku berdoa, saat doa itu perlahan menuntunku untuk mendirikan pusat baru dan membangun segala sesuatunya di sekitar pusat baru tersebut?

Prinsip doa

Seperti kita berelasi dengan seorang sahabat karib, demikian relasi kita dengan Tuhan dalam doa. Semakin banyak kita membuka diri kepada Allah, semakin intim kita membangun hubungan dengan-Nya, serta semakin siap sedia pula kita untuk diutus.

Keberanian untuk mau membuka diri kepada-Nya hendaknya didasarkan atas keyakinan bahwa Tuhan yang kita imani sebagai yang maha kuasa itu benar-benar tidak bisa dibatasi oleh apa pun. Tuhan memiliki kebebasan mutlak. Segala yang kita ekspresikan (pinta, umpatan, kemarahan, protes) tidak berdaya di hadirat-Nya.

Lagi pula, kita membuka diri kepada Allah bukan untuk menambah pengetahuan Allah tentang diri kita, melainkan membiarkan Dia melihatku apa adanya agar aku semakin dekat dengan-Nya. Bila demikian, masihkah ada keraguan untuk menyampaikan kepada-Nya keadaan aktualku saat ini?

Doa Ignasian

Ada pelbagai macam doa. Doa Ignasian adalah salah satunya. Kekhasan doa Ignasian adalah menuntun para penggiatnya untuk menemukan Allah dalam segala. Tujuannya, menata diri sedemikian rupa sehingga tidak ada keputusan diambil berdasarkan rasa lekat tak teratur mana pun juga (LR 22). Doa Ignasian senantiasa bermuara pada tindakan konkret.

Ketika St. Ignatius Loyola mendirikan Ordo religius (yang sebenarnya tidak pernah ia rencanakan sebelumnya), ia memastikan bahwa anggotanya tidak terikat pada cara hidup monastik (menetap yang berpusat pada hidup dalam suatu komunitas), melainkan menjadi bebas dalam misi dan mempercayakan hidup doa anggotanya pada tanggung jawab masing-masing individu dibanding kelompok. St. Ignatius meyakini bahwa kehadiran Tuhan tidak terikat pada kapel, ruang doa, melainkan ditemukan dalam segala hal. Tentu, Tuhan bisa ditemukan dalam cara-cara tradisional (kitab suci, perayaan liturgi, sakramen), tetapi Tuhan bisa dijumpai juga dalam hal-hal sederhana-keseharian yang paling dekat dengan kita.

Dalam pemahaman tersebut, frasa “menemukan Allah dalam segala” hendaknya dipahami bukan dalam nuansa panteisme, melainkan dalam nuansa inkarnatif. Panteisme meyakini bahwa segala sesuatunya adalah Tuhan. Sedangkan dalam Gereja Katolik, bukankah kita bersama mengimani bahwa Tuhan, sang Pencipta itu lebih besar dari segala ciptaan? Tuhan bukan ciptaan. Ia mengatasi segala ciptaan. Hanya karena kasih-Nya lah, Ia berkenan hadir dalam segala ciptaan agar manusia dibantu untuk menyadari bahwa kasih-Nya sedemikian melimpah. Bahkan, melingkupi segenap hidup manusia; dalam hal-hal yang paling sederhana dan biasa! Itulah semangat inkarnatif dalam setiap doa Ignasian.

Keheningan dan keterampilan berempati

Secara umum, ada tiga jenis doa Ignasian, yakni pemeriksaan batin (examen), meditasi dan kontemplasi. Dua hal mendasar untuk ketiga cara doa tersebut adalah keheningan dan keterampilan berempati. Kedua hal ini pokok, karena doa itu sendiri adalah relasi dengan pribadi yang tidak bisa kita indra dengan mudah, dengan Dia yang ada di sana sekaligus dekat di sini! Demikian, hanya setelah kita menyadari segala riak dalam diri, kita akan semakin dimampukan untuk menyadari kehadiran-Nya dan membuka diri bagi yang lain. Semuanya demi memahami kehendak Allah dengan lebih tepat. Kepekaan inilah yang setiap hari dilatih oleh St. Ignatius sehingga lambat laun ia dimampukan mengenali Allah dalam setiap hal sederhana. Bahkan, sesederhana, seperti ketika dua daun bergesekan saat tertiup angin.

Sebagaimana gerak jalan, jarak dekat atau jarak jauh dan lari-lari disebut latihan jasmani, begitu pula latihan rohani. Demikian St. Ignatius mengasah kepekaannya dalam latihan demi latihan doa. Sebagaimana para atlet profesional melatih tubuh mereka secara rutin, demikian pula St. Ignatius mengajak pengikutnya untuk bertekun dalam pemeriksaan batin: dua kali dalam sehari, yakni pada tengah hari dan sebelum mengakhiri hari. Kebiasaan meneliti batin dan mendengarkan suara Allah inilah yang perlahan membangun kepekaan seseorang untuk menyadari tindakan Allah. Latihan inilah kunci untuk menempatkan pusat diri dan relasi kita pada Allah.

Examen, meditasi, kontemplasi

            Apa perbedaan antara examen, meditasi dan kontemplasi? Examen adalah cara berdoa yang paling praktis di tengah kesibukan harian. Examen St. Ignatius Loyola mengajak kita untuk merasakan dan mencermati gerak roh (pikiran, perasaan, kehendak) dalam hidup harian.

Praktik doa examen sudah ada sebelum St. Ignatius. Peran St. Ignatius adalah mensintesiskan dan menekankan kembali pentingnya doa examen, yakni dua kali lima belas menit dalam sehari. Yang menjadi fokus saat examen bukanlah pada baik-buruk atau benar-salah tindakan perbuatan kita, melainkan pada cara Allah menyapa, menyentuh serta menggerakkan kita dari kedalaman relung batin dan kesadaran pribadi kita. Melalui pemeriksaan batin, kita diajak untuk menemukan jejak-jejak karya Allah di balik pikiran, kata dan tindakan kita.

Meditasi dan Kontemplasi dilatih menggunakan bahan doa yang sama, yakni Kitab Suci. Keduanya mengandaikan persiapan dan struktur doa yang mirip. Perbedaannya adalah doa meditasi bernuansa reflektif, dengan cara mencecap kebenaran perikop yang dibaca, menimbang-nimbang, mengakui kebenaran yang ada dalam teks Kitab Suci. Sedangkan, doa kontemplasi bernuansa imajinatif, dengan cara mencermati setiap pribadi, mendengarkan perkataan yang muncul, mencermati setiap tindakan dalam kisah.

Untuk mempersiapkan meditasi dan kontemplasi hendaknya kita mencermati tiga hal ini, yaitu: waktu terbaik, tempat terbaik dan teks Kitab Suci. Kita wajib menentukan waktu terbaik kita untuk berdoa dan menegaskan berapa lama durasinya serta poin penting apa yang akan direnungkan. Tidak kalah penting dengan waktu, kita hendaknya memilih tempat terbaik yang membuat kita nyaman untuk berdoa. Setelah keduanya dipersiapkan dengan baik, bahan doa bisa dipilih dari bacaan liturgi harian, daftar perikop di buku Latihan Rohani St. Ignatius, atau perikop lain yang dirasa sangat kuat menyentuh hati. Untuk mendukung pemahaman atas bahan doa, baik pula bila membaca buku komentar Kitab Suci.

Setelah ketiga hal tersebut dipersiapkan dengan baik, ketelitian kita membangun suasana dan sikap hati di menit-menit pertama doa juga turut menentukan kualitas doa kita. Kiranya beberapa kesadaran untuk bisa semakin menyadari kehadiran Tuhan ini bisa dicecap dalam-dalam sebelum memulai doa. Kita mohon agar diri ini: tersedia bagi Tuhan, didayai oleh perkataan yang ada dalam setiap Sabda Tuhan, terlibat dalam Sabda tersebut, tergantung seutuhnya pada rahmat Tuhan.

Pengalamanku mempersiapkan doa, nyata dalam kebiasaan ini, “Biasanya aku berdoa di sore hari di ruanganku ketika keadaan rumah mulai terasa tenang. Bila kurasa perlu, aku membuat segelas teh hangat dan mulai menenangkan hati dan pikiranku. Di awal doa, aku mengatakan pada diriku sendiri, ‘Nes, kita nanti berdoa selama 35 menit ya… semoga doa sore hari ini menyenangkan.’ Tentu, sebelum berdoa, aku mengondisikan segala sesuatunya telah non-aktif. Aku memulai doa dengan memastikan bahwa aku benar-benar ada dalam keadaan damai. Aku membayangkan Tuhan yang sedang berbicara bersamaku, hanya denganku. Aku menarik nafas panjang beberapa kali dan menjadi tenang. Aku membiarkan pikiranku senggang dan terbuka. Kemudian membuka Kitab Suci dan membacanya.

Doa dan karya

Doa dan kehidupan rohani bagi Ignatius tidaklah dimaksudkan untuk sekadar mencari kesucian pribadi. Arah dan tujuan setiap latihan doa tetap apostolis, yakni bergerak keluar dari diri sendiri dan untuk melayani sesama. Oleh karena itu, doa tidak bisa dipisahkan dari karya. Keduanya harus berjalan beriringan dan saling bersambungan satu sama lain.

Akan selalu ada tegangan yang ditemui antara dorongan untuk lebih mengoptimalkan pengolahan rohani dan dorongan rasuli untuk bergerak keluar. Mengingat, hidup rohani Ignasian merupakan hidup rohani yang selalu dijalankan dalam tegangan yang dijembatani oleh proses diskresi terus menerus.


Fr. Yohanes Ignasius Setiawan , SJ

“Give Our Lord the benefit of believing
that his hand is leading you, and accept the anxiety of feeling yourself in suspense and incomplete”
– Pierre Teilhard de Chardin, SJ –

Yohanes Ignasius Setiawan (Anes) adalah frater skolastik Serikat Yesus. Berasal dari Palasari, Bali. Masuk Novisiat SJ tahun 2017. Mengucapkan kaul pertama dalam Serikat Yesus tahun 2019. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan Pascasarjana di STF Driyarkara dan tinggal di Komunitas Kolese Hermanum, Unit Pulo Nangka.

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *