LOYOLA – PAMPLONA – LOYOLA: Mimpi yang Hancur itu Berubah


Kali ini, kita akan berfokus pada pengalaman sakit St. Ignatius di Loyola, tepat setelah peperangan di Benteng Pamplona. Inilah pengalaman sakit pertamanya yang diikuti  dengan pertobatannya. Tentu, hal ini merupakan hasil dari proses refleksi panjang akan “Cara Allah mendidik”.

Da Camara menulis demikian, “Sampai umur 26 tahun dia seorang yang hanya memikirkan permainan duniawi, dan kesenangan pokoknya adalah latihan senjata dengan keinginan besar mau memperoleh kehormatan” [Autobiografi 1]. Inilah pengakuan pertama St. Ignatius Loyola yang secara umum menggambarkan kehendak diri terhadap kemuliaan yang duniawi. Inigo kecil adalah pribadi yang kerap “terjatuh dari dosa yang satu ke dosa yang lain”.

Hidupnya banyak dipengaruhi oleh novel-novel roman ksatria dari Amadis de Gaule dan buku-buku fantasi yang bercerita tentang raksasa, naga, penyihir, dan musuh-musuh lain. Semua buku ini menarik minat dan membentuk kepribadiannya. Bahkan, sosok wanita yang diingininya; seorang permaisuri cantik yang sering digambarkan oleh Amadis de Gaule.

Sikap ksatria yang menjunjung tinggi kehormatan dan keberanian inilah alasannya bertahan di Benteng Pamplona. Sebuah keberanian tanpa pertimbangan matang melawan pasukan Perancis yang jumlahnya lebih banyak dari pasukannya. Pasukan berani mati ini berusaha mempertahankan Benteng sampai akhirnya Sang Pemimpin (Ignatius) tumbang. Salah satu sisa peluru meriam mengenai kakinya.

Setelah sekitar 15 hari terbaring di Pamplona, Inigo pun dibawa oleh serdadu Perancis ke Puri Loyola dengan perawatan seadanya. Sesampai di puri Loyola, Orang tua Inigo memanggil semua dokter dan ahli bedah dari mana-mana untuk menyusun tulang-tulang kakinya yang patah melalui sebuah operasi besar. Parahnya, keadaan Inigo semakin memburuk sampai menunjukkan gejala-gejala orang hampir mati. Meski demikian, setelah vigili St. Petrus dan Paulus ternyata Tuhan punya rencana untuknya. Keadannya pun semakin membaik.

Tulang-tulangnya segera menyambung kembali, tetapi di bawah lutut ada satu tulang yang lebih menonjol dan membuat penampilannya tidak menarik. Dia pun tidak bisa lagi menggunakan sepatu bot ketat yang menjadi tren masa itu. Oleh karena itu, dia meminta kepada para ahli bedah untuk memotongnya lagi. Apapun yang terjadi, dia akan menahan rasa sakitnya. Semua itu demi mengejar kemuliaan duniawinya.

Dalam proses penyembuhan kedua, Inigo hanya diperkenankan untuk berbaring di tempat tidurnya. Dia meminta buku fantasi yang biasa menemaninya di Arevalo. Akan tetapi, hanya ada buku Hidup Kristus (Vita Christi) dan Bunga Rampai Riwayat Para Kudus (Flos Sanctorum) di puri Loyola. Dia pun membaca kedua buku tersebut serta merenungkannya. Keadaan batinnya pun perlahan-lahan berubah. Mimpi-mimpi roman ksatria yang dia cita-citakan muali berubah. Dia ingin berdiri di Yerusalem, di tempat yang sama di mana Kristus berdiri.

 

Sakit sebagai Jalan Pertobatan

 

“Di jalan hidup rohani, sakit dianggap sebagai kesempatan yang baik untuk bertemu dengan yang Utama, dengan Tuhan dan dengan diri sendiri.

Sedemikian rupa sehingga perjumpaan itu melucuti benteng diri kita, …”

(Javier Melloni, SJ – Sakit sebagai “Jalan”: Berdasarkan Pengalaman St. Ignatius, 1)

 

Setiap orang—tanpa terkecuali—pernah mengalami pengalaman sakit. Meski demikian, pernahkah seseorang kembali pada pengalaman sakit tersebut dan sejenak merefleksikannya seperti yang dilakukan St. Ignatius Loyola? Untuk bisa seperti itu, seseorang harus berhenti sejenak dan belajar untuk ‘mendengarkan’. Mendengarkan Tuhan yang hendak menuntunnya berefleksi semakin dalam dari hari ke hari.

Perlu diingat bahwa pengalaman di Benteng Pamplona dan Puri Loyola merupakan suatu titik balik pertama. Pertobatan dari Inigo ke St. Ignatius memakan waktu yang panjang. Sebuah proses spiritual yang dibangun dengan kegagalan, kejatuhan, dan bahkan penemuan baru. Namun, pengalaman terkena peluru meriam di Benteng Pamplona dan dirawat di Puri Loyola merupakan cara awal Tuhan menyadarkannya. “Hasratnya yang besar dan keinginan untuk memperoleh kehormatan” [Autobiografi 1] tiba-tiba terhenti. Sehingga, dari hari ke hari, dirinya berangsur-angsur menjadi pribadi yang lebih baik.

Di sini dapatlah dilihat bahwa pengalaman sakit memberi dampak yang besar dalam hidupnya, terutama pertobatannya. “Sakit ini memperluas ruang-batinnya tepat setelah melewati pergulatan pertama dari masa penuh derita yang begitu menyakitkan. Peerlahan-lahan Ignatius mulai mengerti bahwa ada proses yang tidak bergantung pada kehendaknya sendiri”. Ada tangan Tuhan yang lebih berkuasa atas dirinya.

Sisi manusiawi selalu mengajak manusia untuk mengutuki, menghardik, dan tidak pernah mampu menerima suatu proses kehidupan yang satu ini. Mudah saja alasannya, “siapa yang mau terkena sakit dan penyakit?”. Namun, ini adalah sisi manusiawi yang besar manfaatnya jika seseorang mau dan mampu untuk merefleksikannya dengan lebih dalam. Seperti St. Ignatius yang belajar dari pengalaman sakit yang membawa pada suatu pertobatan, marilah kita belajar dari sejarah ke-sakitan kita untuk semakin menerima diri dan menuju ke pertobatan yang mendalam.

 

“Conversion is rather a long process, a spiritual journeymade up of failures and falls and, also, made of new begginings, new discoveries, the experience at every moment of the fidelity of a God who calls us back to him, who changes our hearts of stone “into hearts of flesh”.

(Jacques Pasquier – Experience and Conversion, 155)

 

Sumber:

Coleman, Gerald. “Penyembuhan dan Pertobatan”. hlm 1-36. dalam Walking With Inigo: Komentar Autobiografi St. Ignasius Loyola. penerj. Angga Indraswara. peny. Surya Awangga. (Yogyakarta: Kanisius). 2019.

Fleming, David. “Ignatian Noting”. In Lessons from Ignatius Loyola. (Missouri: Review for Religious). 2007.

Melloni, Javier. “Sakit sebagai ‘Jalan’: Berdasarkan Pengalaman St. Ignatius”. dalam Mistik Hidup Sehari-Hari: Jalan Menuju Tuhan dalam Derita Kemanusiaan. penerj. Frederic Ray Popo. (Semarang: PROVINDO). 2020.

Pasquier, Jacques. “Experience and Conversion”. In Collection of Readings on Psycho-Spiritual Dynamics of Conversion. Collected by John Hsane Hgyi. (For a limited circle).


 

Fr. Yosephus Bayu Aji , SJ

“Yesus sudah mencintaiku sehabis-habisnya, masakan aku tidak mencintai yang lain sehabis-habisnya” adalah motto hidup dari Fr. Yosephus Bayu Aji. Seorang mahasiswa filsafat dengan kehendak melayani Tuhan dan sesama. Tentunya, dengan kekurangan dan rahmat dari-Nya.

 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *