Hati Sebagai Kunci Menuju Kepenuhan
Judul buku : Peziarahan Hati
Penulis : Thomas Hidya Tjaya, S.J., Ph.D.
Penerbit : PT Kanisius Yogyakarta
Tahun Terbit : 2011
Tebal : 175 halaman
“Akan datang saatnya ketika dunia menjadi sunyi dan satu – satunya yang tersisa adalah hatimu sendiri. Maka, sebaiknya Anda belajar mendengarkan suaranya. Kalau tidak, Anda tidak pernah akan memahami apa yang dikatakannya.”
Sarah Dessen (Just Listen)
Buku ini memiliki 6 bagian utama yaitu (1) Tujuan Hidup Manusia; (2) Hidup Rohani Sebagai Relasi Kasih dengan Tuhan; (3) Pentingnya Hati; (4) Hal Berdoa; (5) Emosi Negatif; dan bagian terakhir yaitu (6) Membina Hidup Rohani. Buku ini tidak seperti buku–buku rohani lain yang memiliki bahasa yang sulit dimengerti. Buku ini justru menampilkan bahasa yang sangat sederhana dan mudah dipahami oleh kaum awam sekalipun. Setelah membaca buku ini, aku dibawa ke dalam permenungan tentang bagaimana aku menggunakan hatiku selama ini, terutama bagaimana aku memahami “hati” sebagai alat yang dirancang Tuhan untuk membangun relasi dengan-Nya.
Gagasan awal yang dikemukakan adalah tentang Tujuan Hidup Manusia, gagasan ini sedikit menjawab pertanyaanku selama ini tentang apa tujuanku hidup, apakah aku hidup hanya untuk mengikuti siklus pada umumnya : lahir, dewasa, menikah, tua dan meninggal, ataukah ada tujuan lain yang sedang Tuhan rancangkan dan harus kutemukan? Setelah membaca bagian pertama dari buku ini, tampaklah jawaban itu : tujuan utama hidup manusia itu untuk Belajar Percaya Kepada Tuhan.
Ah masa iya hidup sekadar untuk percaya, apa tidak terlalu sepele? Hm, tunggu dulu, memangnya mudah ya untuk membangun rasa percaya? Memangnya bagaimana sih caranya percaya? Kalau situasinya menyenangkan, ya mudah saja untuk percaya, tapi bila sebaliknya? Bagaimana akhirnya aku mampu memaknai kepercayaan ini sebagai sebuah kesadaran bahwa Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta kita, mengasihi dan menyayangi semua makhluk-Nya tanpa batas? Kepercayaan terhadap kebaikan dan kasih sayang Tuhan ini tidak berarti bahwa kita mampu untuk memahami setiap peristiwa yang kita alami atau saksikan (karena itu seringkali diluar jangkauan kita). Itulah yang menjadi hakikat tujuan hidup manusia, yakni belajar percaya.
Untuk apa kita percaya? Tentu saja agar kita dapat bersatu erat dengan Tuhan dan kembali seutuhnya kepada-Nya (hal 25–26), relevan sekali dengan materi tentang Asas dan Dasar dalam kerangka formasi maGis.
Setelah mengetahui bahwa tujuan manusia adalah untuk percaya, maka timbul pertanyaan lagi : Bagaimana caranya menunjukkan rasa percaya itu? Jawabannya : pakai hati. Kenapa harus hati dan bukan otak manusia saja yang akhir–akhir ini mengklaim sudah mengkapling surga? Karena hati yang akan membedakan kadar percaya kita antara trust dan bukan sekedar believe. Meski keduanya memiliki arti harafiah dalam bahasa Indonesia yang sama, namun maknanya sungguh berbeda. I trust God berarti selalu menyerahkan dan memasrahkan seluruh hati, diri, apapun yang kita lakukan dalam keyakinan mendalam bahwa Dia akan selalu memberikan hal yang terbaik dan terindah bagi kita. Sementara I believe in God hanya sebatas pemahaman intelektual kita saja tanpa melibatkan komitmen didalamnya.
Rasa percaya sebagai trust itu yang pada akhirnya menuntut kita untuk menyadari bagian kedua yaitu, Pentingnya Hidup Rohani sebagai bentuk relasi pribadi kita dengan Tuhan melalui hati. Hidup rohani ini yang akan menjadi fondasi seluruh kehidupan kita dalam mencapai tujuan hidup yang sebenarnya (hal. 53). Kedekatan kita dengan Tuhan tidaklah diukur dari frekuensi kita pergi ke tempat beribadah atau dari berapa sering kita berdoa, melainkan dari keterarahan hati dan diri kita kepada Tuhan, baik dalam berdoa maupun dalam hidup sehari – hari.
Bagian ketiga adalah Pentingnya Hati, di mana pada hakikatnya hati sebagai pusat kebahagiaan sejati; hati sebagai kunci kesehatan fisik, mental dan emosional; hati sebagai keseluruhan diri manusia; hati sebagai kunci penerimaan segala pemberian; hati sebagai kunci segala perubahan sejati; hati sebagai kunci hubungan dengan Tuhan. Setelah memahami hakikat hati, kita diajak untuk menggunakan hati dalam hidup rohani.
Bagaimana menggunakan hati dalam hidup rohani tidak bisa dipisahkan dari bagian keempat yaitu, Hal Berdoa. Seperti sebuah ungkapan John Bunyan (1628 – 1688) : Dalam berdoa, lebih baik memakai hati tanpa kata – kata daripada dengan kata – kata tanpa hati. Berdoa bukan soal menggunakan kata – kata bagus dan indah, berdoa bukan hanya sekedar meminta – minta kepada Tuhan dan berdoa bukanlah kewajiban karena yang paling utama adalah berdoa dengan “hati”.
Aku tertarik pada bagian ini di mana diberikan sebuah metode Doa Buka Hati yang sederhana namun justru sulit dipraktekkan, metodenya hanya dengan duduk santai – memejamkan mata, kemudian menyentuh hati kita sambil tersenyum dengan manis tanpa perlu memikirkan bagaimana caranya. Beberapa kali mencoba metode ini tapi ternyata tidak semudah itu karena pada saat melakukannya pikiran justru dibawa kepada bagaimana cara melakukannya.
Kegagalanku pada latihan Doa Buka Hati ini akhirnya disentil pula oleh bagian epilog pada buku ini. Dikisahkan sebuah cerita tentang seorang pemuda yang ingin menemukan Tuhan dengan menemui seorang pertapa, sindirannya cukup halus tapi mengena. Berikut kutipan ceritanya; “Niat yang bagus saja tidaklah cukup untuk menyelesaikan sebuah proyek dan mencapai sebuah tujuan, diperlukan kehendak kuat untuk melakukannya dan keberanian untuk melepaskan segala sesuatu sehingga proyek atau tujuan tersebut dapat tercapai. Bila sungguh–sungguh ingin menemukan Tuhan, kita harus menghendakinya dengan sebulat hati, seluruh hati dan diri harus diberikan untuk tujuan ini. Kalau tidak, pencarian akan Tuhan hanya akan merupakan langkah yang setengah – setengah, menjadi tempelan saja dalam hidup. Karena setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah (Lukas 9:62) (hal. 170).”
Ketika akhirnya aku tahu bahwa tujuanku sebenarnya adalah untuk belajar percaya, maka bagaimana usahaku untuk mewujudkan tujuan itu? Apakah aku sudah benar – benar membuka hatiku untuk Tuhan ataukah aku masih menghadapi sebuah dilema seperti pada Lukas 12:34 “Karena di mana hartamu berada, disitu hatimu juga berada.”
Di sinilah aku mulai memasuki uraian dalam bagian kelima. Apakah aku hanya menghargai perkara duniawi dan hatiku masih diperbudak olehnya sehingga Emosi Negatif masih menjadi teman akrabku dengan bertahan dalam kemalasan, kemarahan, kepahitan, iri hati dan relasi yang kurang baik dengan Tuhan? Ataukah aku memang sedang belajar percaya kepada Tuhan dengan menghargai perkara sorgawi, Firman-Nya, kehadiran-Nya, kekudusan-Nya dan hubungan dengan-Nya sambil menantikan kedatangan-Nya kembali untuk dapat bersatu kembali dengan-Nya.
Kerinduan untuk belajar percaya kepada Tuhan membuatku terus berusaha menghidupi bagian keenam dari buku ini yaitu, Membina Kehidupan Rohani yang benar. Usaha membina hidup ini perlu dilakukan dengan hati sehingga spiritualitas itu membantuku untuk sungguh terhubung kepada Tuhan? Rasanya buku ini sungguh mengajakku berziarah ke dalam dan mempertanyakan komitmenku untuk membangun hubungan yang dekat bersama Tuhan. Semoga hati yang saat ini sedang merasa kalut dan tidak tahu kemana jalan pulang, pada akhirnya juga menemukan jawaban bahwa satu–satunya tujuan adalah belajar percaya kepada Tuhan. Amin.
Natalia Setyawati
Natalia Setyawati, biasa dipanggil Lia adalah formasi magis 2019, seorang pujakesuma alias putri jawa kelahiran sumatera yang saat ini sedang menjadi buruh di salah satu packaging industri di Kabupaten Tangerang. Serendipity merupakan salah satu kata favoritnya, karena dalam menyelam lebih dalam untuk menemukan Tuhan dalam segala sering kali dikejutkan oleh banyak harta karun berharga yang seolah “kebetulan.”