Judul: Frozen II
Genre: Animation, Adventure, Comedy
Durasi: 103 menit
“I just thought of one thing that is permanent: LOVE”
– Olaf –
Sepenggal kalimat dari Olaf di atas adalah salah satu yang menurutku paling menyentuh hati dari lanjutan film Frozen I (2013) ini. Frozen mengambil latar kisah bangsawan di kastil negeri Arendelle. Di sana hiduplah keluarga bangsawan Arendelle yaitu King Agnarr dan Queen Iduna, dengan kedua anak perempuan mereka kakak-beradik Elsa dan Anna. Mereka berdua tumbuh sebagai kakak-beradik yang dekat dan sering bermain bersama. Suatu hari, Elsa secara tidak sengaja melukai Anna dengan kekuatan es misterius yang dimilikinya. Peristiwa ini memaksa orang tuanya untuk memisahkan Elsa dari Anna dan bahkan dari pergaulan umum. Elsa merasa bersalah karena situasi ini membuat hubungan kedua kakak-beradik mereka menjadi jauh dan dingin. Frozen I mengisahkan konflik, ketegangan, dan pergulatan relasi yang berakhir bahagia dengan pulihnya kedekatan dan kehangatan di antara keduanya.
Kisah berlanjut pada Frozen II. Suatu hari, Elsa dikejutkan dengan sebuah suara yang hanya dapat didengar olehnya dan seakan “memanggilnya” menuju ke suatu tempat. Ke mana? Ia pun tidak mengetahuinya. Ia gelisah dan cemas, namun ia menyimpan kegelisahan itu di dalam hatinya. Ia teringat pada suatu kisah pengantar tidur yang pernah diceritakan oleh kedua orang tuanya semasa kecil. Kisah tentang sebuah hutan ajaib yang berkabut.
Anna menyadari kegelisahan sang kakak dan mencoba membantunya. Akhirnya mereka sepakat untuk bersama-sama mencari sang sumber suara, yang ternyata berasal dari dalam hutan ajaib berkabut itu.
Petualangan pun dimulai. Elsa bersama Anna, Kristoff, Sven, dan Olaf mencari sang sumber suara. Tidak mudah tentunya. Banyak lika-liku dan kenyataan pahit tersembunyi yang akhirnya ia temukan sepanjang perjalanan, dari asal-usul ibunya, sumber kekuatan es misteriusnya, peperangan yang terjadi, hingga fakta tentang kematian orang tuanya. Perjuangan menuju suara yang memanggil itu juga tak lepas dari kesulitan dan rintangan yang membuat Elsa berpisah dengan Anna. Ia berjuang sendirian, hingga membeku karena bersikeras berusaha seorang diri. Akhirnya Elsa berhasil sampai pada sang suara, menemukan keempat elemen alam yang ia cari, dan kemudian berdamai dengan mereka. Setelah itu, ia menjadi Elsa yang baru. Elsa yang lebih kuat. Elsa yang mampu mencintai dirinya sendiri dan kenyataan-kenyataan masa lalunya.
Di akhir kisah, Elsa memberikan takhta (Ratu Arendelle) kepada Anna. Ia sendiri memutuskan untuk menjadi pelindung hutan ajaib, yang kini tak berkabut lagi. Ia memilih hidup bersama alam seperti yang ia damba-dambakan.
*****************************
Frozen II ini bagiku sangat menarik untuk dinikmati, apalagi untuk para pecinta film Disney. Meski alurnya sedikit mudah ditebak, namun bentangan kisahnya tetap kaya makna dan menguras emosi.
Dalam film ini, penonton tidak hanya diajak untuk mengenal lebih jauh masa lalu Elsa dan Anna, tetapi juga masa lalu kedua orang tua mereka. Ada rasa sakit dan rasa bersalah yang timbul dalam hatinya saat Elsa tahu lebih dalam tentang sejarah hidupnya dan cerita tentang kedua orang tuanya. Dalam keadaan demikian, Anna selalu bersedia menjadi saudara dan sahabat setia yang mau mendengarkan, memahami, dan memeluk saudarinya.
Di sini aku belajar bahwa sejarah hidup yang belum selesai, suatu ketika akan menemukan jalannya untuk kembali dan menyeruak ke permukaan. Seperti Elsa yang berkali-kali merasa “dipanggil” oleh sebuah “suara”. Memantapkan hati untuk berjalan “masuk” ke dalam “hutan berkabut” itu memang tidak mudah. Mungkin aku harus berhadapan dengan kabut itu sendiri yang menolakku masuk, atau mungkin kabut itu sudah begitu tebal, hingga membuatku takut untuk masuk ke dalamnya. Terlebih lagi, aku sadar bahwa di balik kabut itu akan ada banyak kesulitan dan rintangan yang menanti.
Terkadang rasa takutku terlalu besar, walau aku sebenarnya tahu bahwa aku tidak akan masuk ke sana sendirian. Aku punya “Anna” yang bersedia menemani; “Anna” yang tidak akan meninggalkanku mati membeku.
Perjalanan masuk kembali dan menguak masa lalu memang sulit. Diperlukan keberanian yang cukup, “jiwa besar dan hati rela berkorban” untuk bisa berhadapan kembali dengan mereka; memori, pribadi, dan peristiwa-peristiwa yang membentukku hingga saat ini. Namun, seperti Elsa mendapati dirinya sebagai pribadi yang baru, aku pun akan menemukan diriku sebagai pribadi yang baru ketika aku berhasil berdamai dengan masa lalu itu. Aku yang baru, aku yang lebih kuat, aku yang bisa memeluk luka-lukaku, dan aku yang bisa menerima diriku serta masa laluku dengan hati damai.
Perlahan aku sadar bahwa memang ada satu hal yang tidak akan berubah di dunia ini: CINTA. Cinta yang tulus dari teman, keluarga, sahabat dan Tuhan akan dengan sabar menuntunku keluar dari “hutan ajaib berkabut” itu. Cinta itu juga yang akan melunturkan kabut, membiarkan sinar mentari menyeruak kembali dan menerangi hari. Seperti Anna, yang tidak pernah meninggalkan Elsa berjuang sendiri, itulah cinta. Cinta tidak pernah berkesudahan. Terlebih cinta Allah kepada manusia.
Cinta selalu sembuhkan luka,
Karena dirimu sungguh berharga.
Felicia